webnovel

Pengendali

Masa orientasi sekolah atau ospek telah usai, siswa siswi di SMU Negeri Juang merayakan kemenangan akan terbebas akan jebakan-jebakan tak terduga sebelumnya. Tetapi hal itu tentunya adalah awal bagi murid baru untuk tingkat kelas sepuluh nantinya.

Kegiatan yang melibatkan semua organisasi menjadi satu, Randu yang sudah dua hari tidak mengikuti acara cukup ketinggalan namun siapa sangka untuk terakhir kali penutupan ospek dirinya menghadiri.

Tito sang sahabat sangat bergembira karena tak pernah Randu mau akan urusan berkemah, terlebih jika berbau akan organisasi.

"Weh, ini bro buat besok. Secara juga brosur ini bakalan dihadiri banyak cewek, tapi gue jamin seratus persen lo itu gak bakalan ikut. Secara lo itu paling anti urusan kemah, organisasi. Iye kan?"

"Ngawur, dulukan masih bocah aku jadi ya nggak berani kalau urusan megenai kemah. Tapi tunggu, beneran banyak cewek?"

"Iyalah, kelas IPA sama IPS dicampur. Beda kali bro sama pas ospek kemarin itu dibatasi karena gak bakal muat itu aula."

"Tumben kau gak kolot? Makan menyan yak?"

"Dasar lidah gak disekolahin, main nyelonong aja."

Tito yang usai di rumah Randu untuk memberitahukan kabar dan memberikan brosur kemah terakhir itupun mengambil kesempatan, ketika dirinya mengantar sahabatnya hingga ke depan pintu gerbang rumah ada cukup banyak orang telah berkerumun mengendarai kendaraan maupun berjalan kaki.

"Tumben rame amat jalan, ada apa sih?"

"Gak tahu juga bro, kayaknya kebakaran. Coba aku tanya."

Tito yang berjalan mencoba menanyakan kepada salah satu warga jalan kaki itu melihat rekontruksi gudang tua namun pintu tak bisa terbuka, dia yang bergegas memberitahukan kepada Randu membuatnya tanpa lama-lama mengikuti kerumunan itu juga.

"Dasar mirip bocah, kayak gitu aja ditonton. Gak berfaedah, lebih baik gue pulang daripada capek-capek nonton."

Tito yang akhirnya pulang meninggalkan Randu sendirian untuk melihat gudang tua itu, banyak para lelaki tua maupun pejaka dan berbagai alat berat dikerahkan untuk merobohkan pintu gudang belum juga roboh.

Randu yang seperti mengalami beberapa serangan itupun tiba saja kesandung batu kecil dan membuatnya langsung ditertawai para warga, dia yang kesal itupun memberikan respon dengan mata memerah menyala-nyala.

Dia yang berlari menjauh dari kerumunan warga itupun mencoba menjilat ajian cincin merah delima itu, tak lama kemudian dengan sombongnya Randu menghadap.

"Aku bisa membukanya dengan tangan kosong, minggat. Minggat kabeh."

Semua orang yang ketakutan akan ucapannya tak ada yang berani mendekat satu sentimeterpun, dengan kekuatan segala sumber dari para warga ia serot hingga pada tersungkur menunduk terhadapnya.

"Buka jroning naning tanpa montang manting, buka o." Ketus Randu dengan menendangkan kakinya menuku ke pintu.

Pintu yang sangat sulit dibuka itu akhirnya terbula cukup lebar, para warga di depannya sangat kagum dengan dirinya. Tentunya berkat kemampuan cincin merah delima yang ia kenakan itu semua dihitung tidaklah gratis.

"Terima kasih, tuan. Memang tuan kekuatannya luar biasa, izinkan kami para warga membayarnya akan jasa tuan berikan."

"Aku tidak meminta apapun, hanya cukup daging mentah biar aku olah sendiri di rumah."

"Baiklah, tuan. Kami akan berikan sebagai ucapan terima kasih, dan sekali lagi kami terima kasih."

"Tenang, sing tenang. Yen pengen luwih cepet pekaramu gantungen daging-daging kanggo aku kuwi mau ning ngarep-ngarep omah para prawan."

"Siap, lanksanakan tuan. Tuan ini dari desa mana?"

Ketika dirinya hendak ditanyai mengenai tempat tinggal seketika itu juga Randu kembali berlari menyingkir dan menampilkan wujud nyatanya lagi, para warga yang hendak mengikuti ke mana dia pergi tak sanggup dengan kecepatan tersebut.

Pengendalian pada jiwa maupun raga Randu kinipun semakin menebal, kekuatan-kekuatan telah ada dalam dirinya. Ketika itu juga dia mendapati dua korban sebagai santapan malam dan diikutinya.

Petang itupun telah tiba, para warga laki-laki tentunya masih membantu akan proses pembuatan gudang untuk produksi kembali tetapi untuk kaum perempuan di rumah memberikan sebuah jamuan sang suami apabila sudah pulang.

Randu yang selalu berkeliaran di petang hari itupun untuk mencari camilan darah bayi gadis perawan itupun tak sengaja ditabraknya di jalan saat ia hendak ke mini market, cincin merah delima itu hendak menyerang namun berhasil dikendalikan dirinya.

"Maaf tadi gue gak sengaja, lah suaminya ke mana mbak?"

"Jangan panggil mbak, mas. Saya masih usia lima belas tahun. Suami kerja dan kebetulan juga sendiri."

"Maaf gue gak tahu Sudah berapa bulan, mbak? Eh dik."

"Sudah mendekati kelahiran saja kok mas, makasih ya sudah dibawain belanjanya. Mau mampir ke dalam? Saya bikinkan teh hangat, ya sebagai ucapan terima kasih tentunya."

"Boleh, jika gak keberatan."

"Ya enggak mungkin toh, mas e ini juga ganteng dan baik lagi. Duduk, mas."

Perempuan itu telah mengizinkan Randu untuk masuk ke dalam rumahnya dan dibikinkan air teh hangat, tentunya dia sangat tertarik akan penampilan wibawa Randu.

Tak lama berselang dirinya berpura-pura untuk merasakan masih kepahitan pada tehnya, tentunya perempuan itu kembali ke dapur untuk menambahkan manis gula.

"Celupkan cincin merah delima itu ke teh untuk dirinya, celupkan."

Randu yang seketika itu juga mencelupkan cincinnya berulang kali tiba saja langsung memancarkan cahaya terang, perempuan itu nyaris saja mengetahui akan perilaku tersebut.

"Maaf lama, kelamaan banget ya. Ini minumannya, kalau masih kurang manis bisa kok he he... Jilat adik."

"Bisa aja ngegombalnya, ya udah kita sruput bareng-bareng ini minumannya. Kalau dinginkan gak enak nantinya, sayang bangetkan yang bikinin cantik masak gak dihabiskan."

Randu yang menggesekkan tangan kirinya ke arah paha terlihat terangsang oleh perempuan itu, tiba saja dirinya merambat ke arah paha perempuan dan membuatnya mendesah pelan.

Dia yang terbujuk akan rayuan mengikuti menuju ke kamar mandi, tentunya juga semakin memperpanas adegan konten dewasa yang mereka lakukan.

Suara desahan perempuan itu semakin keras dan membuatnya tiba-tiba memukul-mukul ke arah perutnya, ia yang tak menyadari kehamilannya meminta Randu untuk menumpanginya.

"Pukulan kurang keras, ayo lagi. Sekarang kamu berdiri saja."

"Ah... aku bakal lakuin apapun keinginan mas, apapun itu."

Perempuan itu yang terus memukul-mukul semakin lama semakin kuat membuat desahan justru memelan, dia yang masih terpengaruh itu melakukan berulang-ulang.

Tak lama dengan pukulan itupun keluarlah cairan bening keluar cukup deras tiba-tiba dan disusul dengan cairan darah, Randu yang mempercepat akan kelahiran itu menendang perut perempuan itu.

Perempuan itu yang memukul dan meremas perutnya sambil mengedan kesakitan, nafas yang ngos-ngosan ternyata sudah terlihat kaki sang jabang bayi. Seketika itu juga Randu menarik tanpa pandang bulu, akhirnya dengan banjir ketuban dan darah bayi itu lahir.

Cincin merah delima yang kembali terang itu mengeluarkan kepulan asap dan membunuh bayi secara tragis, Randu yang mencolok mata bayi dengan pisau dan tangan telah dialihkan untuk pembuaian perempuan itu.

Randu yang langsung pergi meninggalkan tempat tersebut tanpa sedikit menoleh terus berlari hingga rumah, dia yang basah kuyup terkena cairan ketuban maupun darah langsung dicucinya.

"Kerja bagus, aku puas hari ini. Darah segar itu sangatlah nikmat, berharap santapan tidak hanya ini saja."

Randu yang selesai dari situ tidak berhenti melakukan kegiatan dirinya masih menyantap daging mentah yang dibelinya tadi, dengan cukup lahap seketika itupun juga tak ada sisa daging tertinggal.

Nächstes Kapitel