webnovel

Chapter 21. MULAI DITEROR

"Mama! Pulang sekarang!" Perintah Arlan tak bisa dibantah lagi. Mirna terpaksa meninggalkan Dave yang sudah babak belur oleh pukulan-pukulan Arlan yang membabi buta dan digelapkan oleh kemarahan.

Arlan menjalankan mobilnya seperti orang kesetanan. Dengan kecepatan tinggi dua mengemudikan mobilnya ke rumah papanya.

"Arlan! Mama mohon jangan ngebut-ngebut." Arlan tak mempedulikan sama sekali ucapan mamanya. Dia terus melajukan mobil itu dengan cepat.

Saking takutnya Mirna berpegangan pada tuas pintu mobil dan menaikkan kedua kakinya. Tubuhnya menggigil melihat mobil itu melaju dengan kencangnya seolah Arlan tidak takut ada bahaya yang datang mengancam.

Hampir beberapa kali mau menabrak pejalan kaki dan juga pengendara yang lain. Sampe di sebuah perumahan mewah yang seperti tak berpenghuni mobil Arlan menikung dengan tajam bak pembalap Valentino Rosy.

Brakkk!

Pintu mobil di banting dengan kencang hingga menimbulkan bunyi dentuman yang dasyat. Arkan menarik lengan mamanya dengan kuat. Membawanya ke sebuah kamar yang berpenghuni satu orang.

Sesampainya di kamar itu dengan keras Arlan menghempaskan tubuh mamanya tepat bersimpuh di kaki papanya.

Pria tua yang sedang duduk bengong seorang diri itu menunjukkan reaksi terkejut mana kala ada perempuan tiba-tiba bersimpuh di kakinya.

Arlan masih dengan amarah di ubun-ubun mencoba menenangkan napasnya yang turun naik tak karuan.

"Minta maaf di kaki Papa, Ma! Mama sudah banyak menyakiti Papa selama ini. Papa yang sudah membuatkan mama rumah mewah dan keluarga yang harmonis. Kenapa ketika Tuhan memberikan cobaan Mama meninggalkan Papa. Tak satu pun, Ma. Ada yang mau seperti Papa!" Suara tinggi bariton itu menggema diruangan kamar Vandish.

Pria tua itu hanya menatap kosong ke depan seolah tak mendengar teriakan terikan dan air mata mamanya. Wajah tua yang sekarang terlihat polos itu sesekali menatap wanita yang bersimpuh dengan isak tangis dan air mata membasahi pipinya.

Tapi wajahnya berubah ceria ketika Arlan menyentuh punggung tangannta lalu menciumnya. Vandish menggerakkan tangannya untuk mengelus pipi dan rambut Arlan.

Seketika air mata Arlan menetes. Pria muda itu dengan haru menghambur ke arah papanya. Tak disangka pria tua yang seperti tak punya akal sehat itu mrmeluk dan menepuk pundak Arlan dengan pelan.

"Arlan," bisiknya lirih lalu tiba-tiba tubuh ringkih itu mengejang-ngejang kuat.

"Pa! Papa kenapa?" teriak Arlan dengan panik panik kemudian menggendong tubuh ringkih itu ke dalam mobil untuk dibawa ke rumah sakit.

Sedang Mirnawati masih bergeming di tempatnya bersimpuh. Dunianya menggelap seketika. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Tapi untuk ikut ke rumah sakit, saat ini Mirnawati tidak menginginkan itu.

Dengan segera Mirna bangkit. Sepertinya dia tahu harus ke mana sekarang. Dengan taksi online Mirna menuju ke apartemen seseorang.

"Apa! Tante ketahuan sama Arlan?" Reaksi Eudrie saat membukakan pintu buat Mirnawati. Wanita yang sudah berumur itu kemudian dduduk di sofa ruang tamu apartemen Eudrie.

"Terus keadaan Om Vandish bagaimana sekarang?" Mirna menggeleng pelan.

"Seharusnya dalam keadaan seperti ini, Tante mendampingi Om Vandish. Itu juga agar Arlan mau memaafkan Tante. Kalau Tante kabur yang ada Arlan akan berbuat nekat nanti."

Mirna mendengarkan kata-kata mentah Eudrie. Ada benarnya kata-kata gadis muda itu. Kalau dirinya kabur yang ada Arlan semakin curiga dan bisa-bisa menghentikan dana pribadi yang dia terima atas nama diminta. Bisa saja Arlan nanti memblokir semua fasilitas termasuk kredit card yang dia punya.

****

"Apa yang terjadi sampe Om Vandish kolep begini?" tanya Banin yang saat ini sudah ada di rumah sakit menemani Arlan. 10 menit yang lalu Arlan sengaja menelpon Banin untuk datang menemaninya karena dirinya sedang panik dan tak bisa fokus sama apapun.

"Nanti saja ceritanya. Kita nunggu kabar kondisi papa," jawab Arlan sambil mondar-mandir di depan ruang ICU. Dia tak melihat mamanya ikut datang. Hatinya terasa pedih dn sakit. Ternyata mamanya selama ini begini sifatnya.

"Arlan, Tante Mirna nggak ada. Apa dua tahu kondisi Om Vandish?"

"Nggak usah bahas dia Banin." Banin cukup cerdas dalam membaca situasi dan kondisi. Jawaban Arlan sudah cukup buat Banin.

Dia paham benar apa yang terjadi dengan keluarga sepupnya itu. Tak perlu banyak ditanya, Banin sudah cukup mengerti kondisi seperti apa yang sekarang dia alami Arlan dan papanya. Mengingat beberapa hari yang lalu dia melihat Tante Mirna dengan laki-laki seumuran dengan Arlan berpelukan mesra. Mungkin saat ini itulah yang terjadi.

"Arlan!" suara seseorang itu membuat Banin dan Arlan menoleh. Tak jauh dari ruang tunggu itu berdiri Eudrie dengan wajah yang sulit diartikan karena minimnya lampu penerangan koridor timah sakit.

Banin bangkit berdiri dan menghampiri gadis cantik itu. Sedang Arlan hanya menatap sekilas ke arah Eudrie. Hatinya sungguh terkejut ketika gadis itu dengan berani mendatanginya di rumah sakit. Ada rasa bersalah kepada Banin, pasalnya Eudrie adalah pasangan Banin.

"Kenapa kamu ada di sini, Eudrie? Dari mana kamu tahu kami di sini?" wajah Eudriememicat mendengar pertanyaan Banin. untuk sesaat dia bingung mau jawab apa. Sedang dari kemarin Arlan sudah wanti-wanti untuk menjaga tentang privacy mereka.

"Ee ... tadi, A-aku tak sengaja lihat kalian makanya aku menghampiri kalian, soalnyaxaku sedang nganterin teman check-up." Banin yakin itu adalah jawaban bohong yang dikarang oleh Eudrie. Tapi, masa bodohlah! Banin nggak mau ambil pusing soal Eudrie. Dia tinggal nunggu waktu yang tepat untuk berbicara pada gadis itu tentang surat wasiat orang tuanya dan juga mengenai masalah saham, Banin bisa mengembalikan 50% kepunyaan keluarga Eudrie.

"Keluarga Vandish!" Arlan dengan tergesa menghampiri perawat itu.

"Saya putranya, Sus. Bagaimana keadaan papa saya?" Suster itu tersenyum ramah.

"Bersyukur ya, Pak. Pak. Papa Anda sudah melewati masa kritis. Lain kali tolong dijaga jantung papanya agar tetap stabil dan jangan sampai kolep lagi.

"Terima kasih ya Tuhan!" Arlan mengangguk dengan mata berkaca. Perasaan takut yang tadi menggrogotinya sekarang sudah terasa lega. Tiba-tiba tubuhnya merosot ke bawah tanpa diminta. Arlan merasakan gelap dan lemas.

"Arlan! Arlan!" Banin tersentak sesat mendengar kepanikan Eudrie. Gadis itu berlari kesetanan memburu tubuh Arlan yang sudah terkapar di lantai koridor rumah sakit.

Banin tercengang melihat reaksi Eudrie yang begitu ketakutan terjadi sesuatu pada sepupunya itu. Dari sini sepertinya Banin dapat menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi.

Sementara di Rumah Banin,

Sea melirik jam yang ada di atas nakas. Hampir jam 12 malam tapi Banin belum juga kembali. Ketika terdengar suara seperti orang yang sedang menutup mobil gadis itu berlari membuka pintu tapi anehnya nggak ada siapa-siapa.

Lalu Sea kembali masuk ke rumah. Hatinya tercekat dan tubuhnya membeku ketika dilihatnya sesosok bayangan hitam itu ada di ditengah-tengah ruang tamu.

Sosok orang berbaju serba hitam-hitam menatapnya bergeming dengan sorot tajam seperti pembunuh. Sea menyingsut mundur ke belakang. Ada ketakutan yang tiba-tiba menjelma fi hatinya. Tiba-tiba bayangan-bayangan yang tak dia mengerti selintas seperti kilasan-kilasan nggak jelas.

Tubuhnya menggigil dan bergetar hebat. Ingin rasanya dia berlari dan berteriak ketika sosok hitam itu oetlahan menghampirinya.

***

BERSAMBUNG

Nächstes Kapitel