webnovel

BAB4

Awal yang akhirnya membuatku dan tiga sahabatku menjadi erat seperti saat sekarang ini. Kami berempat adalah mahasiswa senasib. Hasil dari bully-an senior. Iya, kalau diingat rasanya masih ada rasa kesal. Namun, aku tidak ingin membalasnya. Biarlah dia merasakan sendiri balasan perbuatannya terhadapku dan orang-orang yang pernah dia bully.

Dia melihat ke arahku, tetapi tidak bicara apa-apa. Mungkin dia lupa kepadaku, atau dia memang sengaja seakan-akan lupa. Memperhatikannya seperti ini, aku semakin paham, senior yang sok galak kepada juniornya itu tidak lebih hanyalah seorang pengecut yang tidak akan pernah berani maju sendirian.

Daripada mendengar ocehan-ocehan yang semakin tidak jelas di Warung Bude Meri, maka aku pun meninggalkan tempat itu. Aku menuju lokal sekolah lain yang dimana para siswa-siwanya sedang mempelajari kesenian, yang terletak di bagian sayap kanan sekolah. Terpisah oleh lokal lain yang dari lokalku. Dari Warung Bude Meri bisa ditempuh dengan waktu 10 menit dengan berjalan kaki, melewati jalan belakang sekolahku, kemudian melalui jalanan yang membelah lokal sekolah lain. Aku pun pamit kepada Bude Meri setelah membayar sarapanku. Sebentar lagi Neti akan keluar dari kelasnya.

Dua hari sudah kekasihku tidak memberi kabar dan tak membalas pesan singkatku. Apa dia sebegitu marahnya kepadaku?

Aku menunggunya di halaman depan sekolah. Hari ini, Neti medapatkan jam tambahan belajar. Aku berharap bisa segera bertemu dengannya, aku tidak tahan kalau lama-lama dia diamkan begini. Aku tidak suka bertengkar lama-lama. Aku akan menyelesaikan semuanya sesegera mungkin—meski beberapa kali aku harus mengakui akulah yang salah kepada Neti, sementara sebenarnya hatiku tidak berkata begitu.

Namun, lelaki terkadang memang harus menjadi seperti itu agar perempuannya menjadi seperti yang biasanya. Sering kali, perempuan pun lebih senang diperlakukan seperti itu. Mereka seolah lebih suka melihat lelaki menggombalinya meski tahu itu hanyalah sebuah gombalan. Termasuk Neti, tak dimungkiri, dia senang hal seperti itu, tetapi aku adalah tipe pria yang tidak suka menggombal. Aku bukan Doli, lelaki yang jago merayu perempuan. Aku hanya bisa menyayangi Neti, dengan tidak mencintai perempuan lain sejak bersamanya.

Tiga puluh menit lebih aku menunggu di bangku taman depan sekolah. Namun, wajah Neti belum juga terlihat. Aku masih berdiam memperhatikan anak-anak yang sangat bersemangat belajar seni. Di sini, seolah semua ekspresi adalah seni. Beberapa laki-laki berambut gondrong berkumpul di hadapanku. Dari tampangnya, aku tahu, mereka adalah bangkotan sekolah. Yang belum lulus-lulus, yang sibuk dengan seninya.

Barangkali orang-orang seperti ini hanya orang-orang tersesat. Mereka sebenarnya tidak ingin belajar seni dan memilih Pelajaran Seni sebagai pilihan kesekian—atau dengan kata lain pilihan cadangan. Seperti apa yang kulakukan pada Pelajaran yang sedang aku jalani kini. Dan sialnya, mereka lulus di Pelajaran ini. Bisa jadi seperti itu sehingga mereka berkeliaran di sekolah dan bergerombol tanpa karya nyata. Hanya bermodalkan gaya urak-urakan.

Namun, seniman bukan hanya sekadar menampang identitas tanpa berkarya. Rapi atau urak-urakan hanya soal selera. Berkesenian bukan hanya perkara karena menjalani pendidikan formal di bidang seni saja, melainkan sesuatu yang berasal jauh dari dalam jiwa. Di daerahku ini, banyak seniman yang menekuni kesenian, bahkan tidak "bersekolah'. Namun, soal karya, jangan ditanya, mereka pandai bermain musik bahkan memainkan musik asal ranah minang seperti basaluang?, barabab", badendangs, barandai, dan sebagainya. Identitas mereka bukan gaya ataupun pendidikan formal di bidang seni dan sastra, melainkan karya. Karya yang nyata.

Aku berpikir, apakah aku bisa berkarya di bidangku? Aku sendiri sebenarnya ingin memilih Jurusan Bahasa Indonesia. Sayangnya, nasib itu tidak berpihak kepadaku. Aku lulus di Jurusan Manajemen Pendidikan. Jurusan yang seakan menjadi "pembuangan" bagiku. Bukan hanya aku, tiga sahabatku pun seperti itu. Mereka adalah orang-orang yang "tersesat". Namun, kami tetap punya tujuan masing-masing. Santi bercita-cita ingin menjadi jurnalis di media nasional dan berniat memburu beasiswa ke luar negeri, karena itu dia aktif di organisasi koran sekolah. Panjul ingin menjadi gamer profesional—dia juga ingin membuat game, katanya. Sementara Doli, ia ingin menjadi aktor, menurutnya ketampanannya bisa menjadi modal. Aku percaya saja, toh selama ini Doli telah menunjukkan semua itu. Dia sempat beberapa kali menjadi model klip lagu Daerah. Di lagu Mak Inang Pulau Kampai", misalnya. Sementara, tanpa aku sadari Neti sudah berdiri di hadapanku.

"Yogi." Sebuah suara membuyarkan lamunanku.

Aku bangkit dari tempat dudukku. Baru sadar bahwa sejak tadi aku disibukkan oleh pikiran tentang orang-orang yang tidak seharusnya aku pikirkan. Sekarang, aku punya masalah dengan kekasihku. Dan, harus segera menyelesaikannya. Namun dari raut wajahnya, Neti tampak tak senang aku menungguinya.

"Neti," balasku, "aku mencarimu."

"Kenapa baru sekarang?" Neti beranjak melangkah. Aku mengekor.

"Dua hari ini, aku sibuk mengurusi jadwal Pelajaran ssekolah, Neti. Ini kan awal semester." Diskusi dengan guru pembimbing tentang ulangan juga cukup memakan waktuku belakangan ini.

"Sepertinya, aku emang udah nggak penting lagi untukmu." Neti berhenti, menatap mataku tajam. Aku tidak melihat cinta seperti biasanya di sana.

"Neti, kamu itu penting untukku." Aku berusaha meyakinkan. Beberapa orang memperhatikan kami, mendengar suaraku yang sedikit meninggi. Neti hanya diam. "Kita bicara di tempat biasa saja. Yuk, motorku ada di parkiran," ajakku.

"Aku bawa mobil. Kamu duluan saja. Aku nyusul," ucapnya datar.

Baiklah, ini bukan waktu yang tepat untuk mengajak Neti berdebat. Aku melangkahkan kaki terlebih dahulu. Meninggalkan Neti yang seperti terpaksa mengikutiku.

Aku duduk di kursi dekat pohon beringin besar di alun-alun yang berada dekat Kampus Kapiten Patimura. Kampus yang terletak di kawasan Pasar Kodhim itu hanya berjarak kurang lebih dua kilometer dari sekolahku. Tempat makan yang juga sering dijadikan tempat santai saat sore datang oleh anak muda sekitar kota. Aku menatap langit pada sore yang tidak begitu panas. Menunggu Neti datang.

"Pak, pak, pesan satu kopi susu dingin, susunya di banyain ya." Aku memesan minuman dan sengaja tidak memesankan untuk Neti. Khawatir pesananku salah. Saat seperti ini, lelaki akan menjadi serba-salah di mata perempuan.

Beberapa menit kemudian, Neti datang dengan mobil sedan hitam miliknya. Sebenarnya, dia jarang membawa mobil ke sekolah. Meski dari keluarga berada, dia lebih senang naik kendaraan umum. Itulah yang membuatku menyukainya. Dia tidak membanggakan harta keluarganya. Terkadang, dia dijemput adik atau ayahnya. Tak jarang pula, aku yang mengantarnya pulang dengan motorku. Meski tidak pernah sampai ke depan rumahnya, dia justru memintaku mengantarnya sampai di gerbang perumahannya saja.

Aku meneguk kopi susu yang baru saja sampai di mejaku. Angin sore berembus pelan, menerpa pipiku. Kafe di dekat kampus ini cukup ramai oleh anak muda, mungkin banyak siswa-siswa sekolahku juga. Namun, tidak ada satu pun orang yang kukenal. Ya, selain tiga sahabatku yang >>

Nächstes Kapitel