webnovel

Penyakit Aneh

Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Venus dari layar ponselnya. Senyum tipis dia berikan untuk Indira bersama pria paruh baya yang memakai setelan berwarna hitam dan biru. Kacamata bulatnya itu membuat Venus mengernyit, terasa tidak asing, tapi dia tidak tahu pernah melihat kacamata itu di mana.

Mungkin di jalan, atau mungkin ketika berada di mall. Tidak hanya pria itu yang memiliki kacamata bulat, ada banyak orang yang memilikinya. Seharusnya dia tahu hal itu sejak awal, berpikir beberapa menit telah membuang-buang waktu berharganya.

"Tensi darahnya rendah, kamu harus makan yang banyak supaya darahnya normal ya!" ucap pria yang sekarang duduk di samping ranjang Venus.

Sementara Indira memberikan ekspresi khawatir yang lagi-lagi membuat Venus kesal. Dia merasa baik-baik saja, ini hanya sakit biasa yang akan sembuh dalam beberapa hari. Seharusnya sang ibu tidak khawatir seperti ini.

"Ini sakit ringan, gak perlu khawatir."

Mendengar kalimat yang keluar dari bibir dokter membuat Venus bernapas lega. Sesuai dugaannya, dia hanya sakit biasa.

"Saya resepkan paracetamol, di minumnya tiga kali sehari ya. Kalau udah ngerasa gak demam, gak perlu di minum obatnya! Terus... ada vitamin juga di minumnya tiga kali sehari sesudah makan, udah ini aja obat yang saya kasih selebihnya harus istirahat sama makan makanan yang sehat ya!"

Venus mengangguk mengerti ketika dokter memberikannya senyum yang begitu lebar. Pria itu beranjak, diantar Indira untuk keluar sembari memberikan bayaran.

Helaan napas panjang Venus keluar begitu saja. Dia merasa bosan di kamar selama dua jam ini, tidak ada yang bisa dia lakukan selain melihat ponselnya. Tidak ada kegiatan, dan hanya bisa diam di atas kasur. Denting jam yang menemaninya sejak tadi, dan sekarang suara percakapan ibu dengan dokter ikut menemaninya untuk beberapa menit.

Suara langkah kaki mendekat membuat Venus menoleh ke arah pintu kamar. Indira kembali masuk, dia duduk di samping Venus sambil mengelus rambut panjang anak gadisnya dengan penuh kasih sayang. "Mama ke sini cuman buat antar dokter, tadinya pengen di rumah sama kamu, tapi pekerjaan di kantor gak bisa mama tinggal."

"Padahal yang kerja papa kan ya? Kenapa Mama ikutan sibuk?" sahut Venus dengan kening yang bertaut bingung.

"Iya, emang bener ini pekerjaan papa. Cuman kan papa butuh tenaga tambahan buat ngerjain bagian dokumen. Peran mama penting di sana, sementara peran papa penting di lapangan. Meskipun mama gak terikat kontrak, tapi ada banyak dokumen penting yang harus mama tanda tangani di kantor." Indira memanyunkan bibirnya sedikit, sedih melihat anak gadisnya harus sendirian di rumah. "Maaf ya Venus, mama gak bisa ngasih banyak kasih sayang ke kamu waktu kamu sakit."

"Dateng bareng dokter aja udah cukup buat aku kok."

"Nanti kamu mau mama bawain apa buat makan malam?"

"Hm... gak tau, menurut Mama apa?"

"Hm, Mama juga bingung. Mau buah? Anggur, apel, alpukat, stroberi, kiwi, atau... buah yang lain?"

"Apa aja deh yang penting enak!"

Indira tertawa kecil mendengar jawaban Venus. Gadis itu memang tidak pernah bisa memilih. Entah kenapa selalu saja menjawab 'terserah', atau 'apa saja', padahal Indira bisa mewujudkan semua keinginan Venus detik ini juga.

"Ma?" panggil Venus, ekspresinya nampak ragu.

"Kenapa? Mama masih ada waktu sepuluh menit kalau kamu mau ngobrol."

"Ini pertanyaan soal mimpi. Aku gak tau Mama bakalan tau atau engga, tapi aku ngerasa kalau aku harus cerita sama Mama." Venus mencoba untuk berpikir, memilah kata yang tepat untuk awalan dari kalimat yang akan dia keluarkan. "Aku... mimpi rumah kita di kepung sama banyak ular. Halaman rumah yang luas itu penuh sama ular Ma. Tapi anehnya pintu kamarku pas di buka itu langsung halaman depan, padahal kan engga kaya gitu. Terus tiba-tiba aja ada singa sama anjing yang ngejar aku."

"Anjing sama singa?" kening Indira bertaut. "Hm... Pantesan kamu sakit. Kata nenek sama kakek dulu kalau di kejar sama hewan buas emang bakalan sakit. Tapi pertanyaannya, kamu ketangkep atau engga?"

Venus menggeleng, dia ingat sekali jika tidak digigit ataupun tertangkap. "Kalau ularnya?"

"Mama gak tau sih, soalnya di cerita kamu aja ularnya diem. Gak ada kegiatan kan ularnya? Kalau dia gigit kamu artinya sih ada cowok yang naksir kamu."

"Lah! Kok malah cowok sih? Orang ini hewan berbisa, harusnya mah ada yang lain."

"Astaga, kamu ini malah pengen yang lain." Indira mencubit pipi anaknya sambil terkekeh. "Udah ya, mama ada rapat sama atasan satu jam lagi. Makanan udah ada di dapur, kamu istirahat aja, jangan ke mana-mana ya!"

"Iya," sahut Venus pelan.

"Nanti naratama bakalan pulang cepet kok katanya, mungkin jam setengah tiga. Terus edgar pulang malam sih katanya karena ada lembur. Kalau papa sama mama sih masih gak tau ya, tapi nanti mama usahain buat pulang cepet ya. Sebelum jam lima sore pokoknya udah sampe di rumah supaya kamu bisa makan." Indira memberikan senyum hingga kedua matanya menyipit. Lagi-lagi puncak kepala putrinya dia elus dengan lembut.

"Mama pulang jam delapan atau sepuluh malem juga gapapa. Yang penting mah ada naratama sama ada uang," sahut Venus. Dia terkekeh ketika melihat ekspresi kesal Indira, "Mama jangan kesel dong, kan aku bener biar papa sama Mama gak keburu-buru!"

"Hahaha! Iya, mama gak kenapa-kenapa kok. Istirahat ya, makan yang banyak, jangan lupa minum obat! Mama ke kantor sekarang, kalau ada apa-apa telepon mama ya!"

Venus mengangguk mengerti, memberikan lambaian tangan sebelum sang ibu benar-benar menghilang dari balik pintu kamarnya. Keheningan kembali menyapa ketika pintu kamar tertutup rapat, Venus kembali sendiri.

Namun, ada yang mengganjal untuk Venus. Dia yakin sekali ada arti lain di balik kemunculan ular di dalam mimpinya. Tidak mungkin ada ratusan ular, dan artinya tentang cowok yang menyukai dia. Itu tidak masuk akal.

Meskipun dia tidak bisa menerima jawaban dari Indira, tapi Venus juga tidak bisa mendapatkan jawaban yang dia inginkan. Entah ini hanya keinginannya yang harus di kabulkan, atau karena memang masih ada jawaban yang harus dia dapatkan dari mimpi. Venus tidak tahu, dia harus mendapatkan jawaban dari sang ahli, tapi tidak tahu juga siapa.

Venus menghela samar, dia kembali menoleh ke arah pintu keluar. Keinginan untuk keluar dari kamar ini begitu menggebu-gebu, tapi anehnya tiba-tiba saja Venus merasa lemas. Kedua kakinya terasa lemas sekali, bahkan dia tidak memiliki tenaga hanya untuk mengangkat sedikit. Seakan-akan dia memiliki penyakit serius. "Gak guna banget anjir kaki gue kalau sakit kaya gini."

Nächstes Kapitel