webnovel

Tembok Dengan Suara

Venus menelusuri hampir semua artikel yang ada di dalam layar. Hampir semuanya memberikan isi yang sama, tapi Venus mencoba untuk menyaring semua informasi yang dia dapat, tak hanya membaca, tapi juga dia catat. Bahkan dia juga mencari berapa gaji untuk posisi yang dia inginkan di masa sekarang, dan dia yakin di masa depan jumlah uangnya akan bertambah. Seseorang pernah mengatakan jika nilai uang akan bertambah seiring berjalannya waktu.

Hal itu dia ingat selalu, dan dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa masa kini dengan masa lalu. Ketika orang tuanya masih kecil, uang yang mereka pegang pun hanya lima ratus rupiah, tapi bisa membeli banyak barang. Jika di samakan dengan masa kini mungkin nominalnya lima ribu rupiah. Nominal yang semakin besar membuat harga bahan baku pun ikut meroket.

Gadis itu bersandar di punggung kursi sambil menghela napas panjang. Latar komputernya mulai mati secara perlahan, tak ada lagi yang ingin dia lakukan. Venus hanya diam di tempatnya, memikirkan masa depan yang begitu indah. Pekerjaan yang sesuai dengan keinginannya, perusahaan besar dengan gaji yang besar pula, hidup dengan nyaman tanpa ada hambatan. Itu adalah hidup dambaan semua orang tanpa terkecuali.

Suara jarum jam mulai terdengar begitu nyaring, malam ini begitu hening. Padahal baru jam sembilan malam, biasanya dia masih mendengar suara TV menyala, tapi hari ini tidak. Sepertinya Atmaja kelelahan dengan pekerjaannya, bagaimana tidak? Hampir setiap hari ayahnya lembur, pulang larut malam, berangkat di waktu subuh. Venus selalu merasa kasihan, tak enak hati dengan ayahnya yang bekerja begitu giat. Bahkan wajahnya pun tak nampak kelelahan, sangat bahagia, dan semangat.

Venus jadi berpikir apakah dia bisa seperti ayahnya ketika sudah dewasa nanti atau mungkin tidak? Venus tak pernah bisa menjawab pertanyaan yang dia buat, rasanya belum waktunya untuk bisa dia jawab sebelum mencoba untuk bekerja.

Venus menghela samar, dia mulai beranjak. Pindah ke tempat tidurnya yang begitu empuk, untungnya Atmaja sudah mengganti kasur kapuknya dengan kasur lama yang sangat empuk. Di tambah dengan seprai putih bersih yang cukup tebal, tempat yang membuatnya nyaman, dan enggan untuk berpindah.

Grup whatsApp, Venus mengernyit bingung karena ini kejadian yang cukup aneh. Tidak, mungkin saja memang sekolahnya mulai memberikan ruang diskusi untuk semua siswanya di dalam grup sesuai dengan kelas masing-masing. Venus mencari nomor Arka, dan Ria, tapi tak di temukan. Tak ada nama Arka dan ria di sini, mungkin mereka membuat nama samaran atau semacamnya agar tidak ada yang menghubungi mereka. Bagi Venus itu hal yang cukup aneh untuk dilakukan.

Lagi-lagi Venus menghembuskan napasnya, ponselnya dia letakan di atas nakas. Mematikan lampu kamar sebelum akhirnya menutup tubuh dengan selimut tebal. Kedua netranya mulai terpejam, tapi tidak tidur dengan benar. Ada suara ketukan dinding yang tiba-tiba terdengar, suaranya jelas dari kamar sebelah. Kamar Naratama. Cowok itu selalu membuat ulah, tidak pernah tahu waktu, dan kondisi tetangganya.

Venus mencoba untuk tidur dengan menutup kedua telinganya, tapi usahanya sia-sia. Rahangnya mengeras ketika bangun, "Tama, lo bisa diem gak sih?" teriak Venus dengan mata yang masih tertutup, tapi keningnya bertaut.

Suara bising itu tidak berhenti, malahan semakin menjadi-jadi. Seakan-akan orang sebelah membenturkan sesuatu dengan sangat kencang. Venus yang sudah tidak bisa menahan emosinya beranjak dari tempatnya, mengetuk pintu kamar Naratama yang ternyata tidak di kunci. Tak ada siapa pun disini, kamarnya masih rapi dengan lampu yang mati.

Venus menatap bingung dengan situasi kamar saat ini, dia memilih untuk pergi. Menuju dapur yang juga tak ada siapa pun, kamar Edgar pun kosong. Tak ada siapa pun di tempat ini, tapi samar-samar dia mendengar seseorang tertawa kecil. Venus melangkah tanpa suara, raut mukanya begitu serius. Langkah demi langkah dia ambil sampai berhenti di depan kamar orang tuanya.

"Ma, Pa?" panggilnya sambil mengetuk pintu, dan kemudian dia dorong sedikit.

"Iya, kenapa Ven?" sahut Atmaja.

"Kak Naratama gak di sini?"

"Keluar tadi abis makan sama Edgar. Katanya mau beli apa gitu papa juga gak tau, gak nanya juga. Kenapa emangnya?"

Venus menggeleng dengan senyum, segera dia tutup kembali pintu itu. Ini aneh, ada sesuatu yang aneh di kamar Naratama. Namun, sepertinya sesuatu yang aneh ini ada kaitannya dengan yang di ceritakan Arka, dan Ria, atau mungkin memang benar soal kematian kakeknya membuat semua makhluk di sini menjadi leluasa untuk melakukan apa pun karena tak ada lagi larangan.

Itu kamar gue, ini juga rumah kakek yang artinya rumah gue. Jadi gak boleh takut! - batinnya sebelum melenggang pergi.

Venus kembali ke kamarnya, dia matikan lagi lampu kamarnya sebelum menutup seluruh tubuh mungilnya dengan selimut. Dalam hitungan ke lima, suara ketukan itu kembali terdengar, Venus tidak tahu kenapa harus ada lagi padahal biasanya tak akan ada keanehan setelah pemeran utama melihat keadaan di luar.

Hantu di sini emang gak tau diri - pikir Venus, kedua netranya mulai memejam secara perlahan. Namun, suara ketukan semakin terdengar brutal. Venus terbangun dengan wajah jengkel, selimutnya dia buka setengah, "Heh! Bangsat bisa diem gak sih?!" teriaknya.

"Wah! Gila, giliran di teriakin malah diem lu pada," ucapnya lagi, ekspresi Venus begitu terkejut. Tak percaya dengan reaksi hantu rumahnya. Suara ketukan langsung lenyap, suasana di kamarnya pun tak setegang beberapa detik yang lalu, tapi hal itu tak membuat Venus lega. Dia masih merasa takut, ponselnya berdering secara mendadak, hampir membuatnya kaget.

Segera dia raih benda pipih yang menampilkan nomor tak di kenal menghubunginya, "Hallo!"

"Hallo! Ven, ini gue Arka."

"Daritadi gue cari nomor lo gak ketemu tau."

"Masa iya? Perasaan pake nama asli deh."

"Oh ya? Gak ada tapi, jadinya gue gak bisa chat buat minta save back. Eh tapi kenapa telepon?"

"Nanya kabar aja sih, sama... ada gangguan?" sahut Arka dengan suara yang terdengar ragu-ragu.

"Kok lo... bisa tau sih? Jujur aja sih barusan ada suara ketukan di samping kamar, jadi posisinya samping kamar gue ini kamarnya Naratama abang gue kan. Doi emang suka rusuh, jadi gue datengin tuh, lah anjir gak ada dong anaknya." Venus menghembuskan napas untuk yang kesekian kalinya, "Terus udah gitu gue tanyain bokap soal doi juga katanya udah pergi daritadi, jadi gue pergi lagi ke kamar meskipun takut. Ada suara itu lagi dong, pas gue maki baru minggat," lanjut Venus kesal, dia kembali melihat ke arah tembok yang tadi berbunyi. Tak ada yang aneh dengan temboknya, padahal Venus yakin ada yang membenturkan sesuatu di dalam kamar Naratama.

"Mereka kepanggil Ven."

Nächstes Kapitel