webnovel

Tidak Percaya

"Setelah itu, Bang Siji juga ikutan nyemplung buat nolongin Adek Yuji, Pa. Saat Abang juga berada di bawah, Abang takut banget karena Adek Yuji nggak gerak. Bahkan, Abang ngira jika Abang ini sudah membunuh adeknya sendiri. Adek Yuji pingsan hampir 2 jam, Pa. Papa pasti tidak akan bisa membayangkan betapa takutnya Abang saat itu."

Saat mengatakan kalimat itu. suara Siji terdengar bergetar. Entah karena ketakutan atau karena menahan tangis.

"Ma-maksud Abang, di tempat aneh itu ada suatu mekanik dan Abang tidak sengaja menginjak mekanismenya, membuat Adek Yuji celaka. Begitu, Bang?!" Tuan Yudha hampir berteriak saat mengucapkan kalimat ini. Ia bahkan bangkit berdiri saat ini. Dia kira jika ceritanya tentang monster dan sejenisnya itu hanya bualan, tapi sepertinya saat ini Siji bercerita yang sebenarnya.

"Abang berteriak seperti orang gila, agar ada seseorang yang lewat dan menolong kami. Tapi, itu sungguh tidak mungkin, Pa. Bangunan kuno itu sangat jauh dari pemukiman." Siji menyeka air matanya, kasar.

"Abang beneran takut Adek Yuji kenapa-napa, Pa. Abang terus melakukan segala cara hingga Yuji tersadar. Tapi, syukurlah setelah hampir 2 jam, Yuji bisa tersadar. Tubuh Abang sudah gemetaran saking takutnya pas itu," sambung Sii. Wajahnya kini tertunduk. Air mata tidak berhenti turun, dan kini membasahi celana jeans-nya bagian paha.

"Ahahaha, apa kau sedang mencoba menjadi pengarang, Bang? Mana ada hal semacam itu, Abang? Jangan-jangan Abang ini keseringan nonton donghua Doumu Biji ya? Makanya sampai bisa mengarang cerita seekstrim itu?"

Tuan Yudha tersenyum meremehkan. Ia belum bisa percaya dengan racauan anaknya baru saja. "Selain ingin menjadi aktor, sepertinya abang juga ingin menjadi penulis skenario, ya? Bercandamu itu benar-benar tidak lucu, Nak." Tuan Yudha terlihat begitu kecewa.

"Abang tidak bercanda, Papa. Papa yang hidup sebagai anak rumahan sejak lahir, mana tahu rasanya kekejaman hidup di luar, eum?!"

Siji menaikkan nada bicaranya. Ia saat ini bukan sedang marah pada papanya. Tapi, ia marah pada dirinya sendiri. Dirinya yang lemah dan tidak dapat melindungi adik-adiknya, hingga kedua adiknya mengalami nasib buruk.

Tuan Yudha menggeleng cepat. Ia masih belum bisa memercayai apa yang diucapkan anaknya baru saja. Ini bukan drama tentang pencuri makam, 'kan? Kenapa ada kisah aneh semacam itu? batin Tuan Yudha.

Tuan Yudha mengela napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan napas perlahan. Ia butuh waktu untuk mencerna semua ucapan anaknya yang terdengar seperti cerita dalam sinema Xianxia itu.

Lalu, endingnya pasti kedua anaknya itu bertema dengan sang penyelamat.

"Maka dari itu, Abang berjanji untuk melindungi adek-adek mulai sekarang, Pa. Dan peta yang papa bawa itu ada hubungannya dengan keselamatan adek-adek. Jadi, berikan peta tadi ya, Pa?"

"A-apa maksudmu, Nak! Jangan mengerjai papa seperti ini! Kamu pasti ingin menarik simpati papa dengan bercerita menyedihkan seperti itu, bukan?" tuduh Tuan Yudha. Entah kenapa matanya juga terasa memanas mendengar cerita Siji yang sepertinya baru pembukaan cerita itu.

Siji memaksakan senyum. Ia seperti menghantarkan energi positif bagi siapa pun yang melihat senyumnya. Namun, sayangnya itu tidak berlaku bagi papanya. Senyum yang ditampilkan Siji saat ini malah membuat Tuan Yudha khawatir.

"Kenapa kamu masih sempat tersenyum menjengkelkan begitu, Abang?" bentak Tuan Yudha.

Nächstes Kapitel