webnovel

8. Di Jemput Ridho.

Bab 8. Di jemput Ridho.

Aku mendengar mobil berhenti. Itu pasti Ridho tebakku, menyibak korden dari jendela kamarku , dan ternyata benar. Ridho turun dari mobil. Raut wajahnya terlihat kesal, ia melangkah masuk ke Rumah. Aku Menutup korden

kembali merebahkan diri di bed pura- pura tidur saja.

Ayah menyambut Ridho di ruang tamu,

"Assalamualaikum Ayah," Sapa Ridho

"Walaikum salam, jawab Ayah hangat. Ayah sudah menganggap Ridho seperti anak sendiri kehadirannya selalu di sambut hangat, Ridho takut aku mengadukan perlakuannya pada Ayah, takut hilang kasih sayang darinya.

" Silakan duduk nak Ridho," ucap Ayah. Ridho duduk di ruang tamu, ia gelisah. Netranya terus memandang ke dalam, kamarku di tengah.

"Ayah, Rania mana ?Tanya Ridho, suara nya terdengar hingga ke kamar. Aku menguping dari balik pintu.

"Di kamar. gimana kabar kamu, Nak Ridho?

"Alhamdulilah baik, Ayah,"

"Jangan terlalu kerja keras Ridho, biar kalian cepet punya anak, Ayah juga kan pingin punya cucu," ucap Ayah.

Ridho menelan ludahnya sendiri, perasaan bersalah menghinggapi hati. Selama ini hanya bisa cuek pada istrinya.

Aku sedih mendengarnya, bagaimana bisa punya anak? Dia menyentuh ku juga tidak? Suara langkah mendekat ke pintu.

"Tok... Tok Rania! Ridho datang menjemput,"

Aku diam saja, sengaja telingaku pasang headset agar tak mendengar Suara Ayah.

"Rania! Panggil Ayah sekali lagi," Kali ini suara Ayah lebih keras. Dengan malas aku membuka pintu, Ayah berdiri di balik pintu dengan wajah datar.

"Itu Ridho datang, temui dia! Apa Ayah suruh masuk aja!

"Jangan Ayah," tahanku sama Ayah.

"Rania? apa kamu ada masalah dengan Ridho? tanya Ayah menatapku lekat. Aku terdiam dan mengalihkan pandanganku.

Aku mengeleng pelan tanpa melihat wajah Ayah.

" Ya sudah temui Ridho di depan," Ayah keluar kamarku. Aku malas menemui Ridho di depan. Lebih baik membaca novel online saja. Lalu Ibu masuk ke dalam, heran melihatku masih di kamar sedang suami datang menjemput.

"Rania! Itu ada Ridho malah main ponsel ? Temui suami kamu!"

Ibu menarik tanganku, agar segera turun dari bed.

"Bu tolong, aku lagi pusing. Pingin istirahat," Menahan tangan Ibu.

Ibu kemudian meraba kening ku yang kebetulan hangat. Aah terselamatkan tadi sempet mengoleskan minyak kayu putih di kening.

"Baiklah, biar Ridho yang masuk ke sini." Ultimatum ibu, aku tak bisa membantah.

Deg.

Terdengar Ibu menyuruh Ridho masuk ke kamarku.

Suara langkah kaki mendekat. Ia menutup pintu. Wajahnya menahan amarah, rahangnya mengeras, tangannya mengepal. Aku tau di hatinya, emosi dan marah. ia ingin membentakku seperti yang ia lakukan di rumah.

"Rania! Ayo pulang!" Ridho menekan suaranya agar tak terdengar Ayah dan Ibu.

" Nggak mau! Jawabku ketus.

Ridho menarik tanganku untuk segera turun, aku mengibaskannya.

"Rania Maharani!" Bentak Ridho dengan suara lirih. Aku lalu bangkit berdiri pasang badan menantangnya.

"Kenapa Mas Ridho, bentakannya nggak sekeras saat di rumah??Takut terdengar Ayah dan Ibu heh!" Ucapku sembari menatap nyalang suamiku. Ridho hampir melayangkan tamparan di pipiku. Aku memejamkan mata siap menerima tamparannya. Yah kalau ia menamparku aku akan meminta cerai. Janjiku dalam hati.

tapi Ridho tak jadi menamparku ia menurunkan tangganya.

Napasku turun naik, takut menguasai hati. Jantungku turun naik, mencoba menenangkan diri. Ia juga duduk di pinggir Bed menenangkan emosinya yang memuncak, matanya terus menatapku, ia merasa kasihan padaku. Ciih ... aku tak mau di kasihani. Aku mengalihkan wajahku tak sudi di tatap seperti itu.

Setelah tenang, aku berniat berpisah dengannya.

"Mas, ceraikan aku! Kau bebas melakukan apa saja," Ucapku menahan air mata yang ingin tumpah.

Ridho terdiam, sepertinya ia masih ingin menahanku demi Ayahnya. Aku tau itu.

"Maafkan aku Rania! Ayahku sakit jantung. Aku tak mau dia shock mendengar kabar kita berpisah, ku mohon saat ini jangan minta itu padaku," ucap Ridho sendu wajahnya memelas tak seperti tadi garang.

"Tapi sampai kapan kau akan cuek padaku? Aku seperti patung bernyawa di rumahmu!"

"Maafkan aku Rania, mulai saat ini aku akan coba menerima mu,"

Apa dia merasa bersalah?

Huhhf... Aku tak peduli itu.

Ridho mendekat, ia mencoba meraih tanganku. " mulai sekarang aku tak melarang kau menyiapkan baju, juga menyiapkan makananku tapi pulanglah ku mohon," ucap Ridho menghiba. Karena selama menjadi istrinya aku tak boleh menyentuh barangnya.

Aku berpikir sejenak, melihat raut wajahnya yang menghiba, kasihan melihatnya. sudahlah ini demi Ayah. Pikirku

"Baiklah, aku ikut pulang," ucapku tersenyum mencoba menerima semua ini. Bagiku ini adalah ujian rumah tangga. Bukankah rumah tangga akan di uji dulu sebelum mencapai rumah tangga sakinah, mawadah warohmah.

"Makasih Rania," ucap Ridho tersenyum manis.

Sejenak tersihir dengan senyuman Ridho. Astaghfirullah, aku tak boleh jatuh cinta denganya batinku. Ridho meraih tanganku aku malu mengulurkan jemariku.

Aku keluar kamar bersama Ridho, Ayah dan Ibu tersenyum bahagia melihat kami berdua akur. Untungnya mereka tidak tau pertengkaran kami. Selama ini Ayah dan Ibu tidak tau kalau hubungan kami tidak seperti suami- istri lainya.

"Ayah, Ibu. Kami pamit pulang dulu," Ucap Ridho sembari mencium tangan Ayah dan Ibu.

"Iya, Hati-hati Nak Ridho," Ayah dan Ibu mengantar kami sampai depan pintu. Ridho membukakan pintu mobil untukku. Aku duduk di bangku depan.

Melambaikan tangan pada Ayah, Ibu. mobil kemudian melaju meninggalkan rumah orang tuaku.

Sampai di rumah, Ridho membukakan pintu mobil untuk ku. Ada perasaan tenang menjalar di hati, aku tak tau itu. Senang saja di perlakukan seperti ini. Aku akan mencoba menerima semua takdir ini, ya Allah kuatkan aku menghadapi apapun nanti di depan. Ucapku dalam hati.

Aku melangkah masuk, Ridho memasukan mobil di garasi. Tapi kenapa dia tak masuk- masuk? Aku penasaran sedang apa dia luar. Aku mendengar Ridho sedang berbicara dengan seseorang, Hatiku kembali memanas sambil memegang dadaku.

"Astaghfirullah," Gumam ku.

Ridho mendengar suaraku langsung mematikan ponselnya. Wajahnya tampak gugup seakan ada yang ingin di tutupi.

"Eeh ini, ada panggilan dari Andi, besok ada kiriman mebel datang," tampak Ridho salah tingkah dan memasukan ponsel di sakunya.

"Yang telepon pasti pacar mas Ridho," Batin ku perih.

"Yuk masuk, udara malam tidak bagus untuk kita," ucap Ridho kemudian menutup pintu. Ia merangkul pundakku membimbing masuk ke dalam, merasa heran dengan perlakuan manisnya ini.

"Rania, minta tolong bikin kan mie goreng dong," Permintaan Ridho sangat manis, sedikit janggal menurutku tapi aku akan melakukanya.

"Oke," Aku melangkah ke dapur, saat ini mbok Yem sudah tidur, tak tega membangunkannya hanya minta di masakin mie goreng, aku juga bisa melakukan sendiri.

****

Pov Ridho.

Setengah berlari aku membuka pintu kamar dan menelepon Arini.

["Kenapa sayang?] Tanyaku mesra. Aku tadi tak ingin Rania mendengar, kami baru saja berbaikan.

["Mas Ridho, aku hamil,"]

Deg.

["Apa!!"] tanyaku tak percaya dengan berita ini.

["Iya Mas, aku hamil!] Teriak Arini girang. Aku binggung, jujur hati merasa senang tapi bagaimana kalau Rania tau?

[" Mas Ridho tidak senang dengan kehamilan ku?"]tanya Arini ketus.

["Mas senang sayang, nanti aku hubungi lagi ya, aku sedang masak mie goreng,"]

ucap bohong, aku tak mau Rania mendengar aku menghubungi Arini.

["Baiklah, besok aku tunggu ya mas,"]

["Iya sayang,"]

Aku menutup panggilan, memasukan ponsel ke saku. Tak lupa mematikan data ponsel Takut Arini telepon lagi.

"Mas Ridho, ini mienya udah matang," Panggil Rania dari balik pintu.

Aku membuka pintu, mencoba tersenyum menutupi kegugupanku.

Bersambung.

Nächstes Kapitel