webnovel

Terror Asrama

"Terkadang, apa yang kuceritakan hanya kulitnya saja. Sementara dagingnya akan kusimpan untuk bisa kalian pikirkan."

***

Aku sudah sampai.

Di area gedung asrama. Gerbang yang sudah berkarat, ditambah jeruji besi tergeletak berserakan seperti ada yang masuk dengan paksa. Terpotong meninggalkan goresan yang tak simetris.

Aku keluar mobil. Empat mobil avanza dan belasan motor terparkir di luar pagar. Sepi dan senyap, jalanan ini hanya diterangi oleh lampu setapak empat meter dari sini. Pagar yang melingkar membatasi area asrama dengan jalan tampak begitu bersebelahan. Aku sekilas menengok bagian dalam sebelum masuk.

Sepi. Di balik jeruji pagar hanya siluet gedung yang terlihat.

Aku tidak melihat adanya tanda-tanda mereka. Maksudku, teman-temanku. Bukan 'mereka yang tak terlihat' hanya rumput tersisir ke sampinglah bisa menjadi bukti mereka sudah memasuki area asrama lebih dalam.

Aku mengintip kaca mobil sebelahku, kosong.

Test!!

"Aduh."

Hujan mulai turun, astaga. Aku buru-buru mengambil jas hujan dari mobil, memakainya dan oh iya jangan lupakan senter. Ya benar. Senter adalah satu-satunya sumber pencahayaan disini. Walaupun dari ponsel juga bisa tapi aku ingin menghemat baterai ponselku. Lebih baik mempersiapkan sesuatu yang kita tidak tahu pasti akan terjadi apa di balik kegelapan sana.

Aku sudah siap.

Sekali lagi aku memeriksa sekitar. Tidak ada orang satupun. Akupun mengunci mobilku, bergegas masuk tanpa ada masalah melalui celah pintu. Gerigi karatan ini berbahaya kalau menggores kulit. Aku dengan hati-hati melewatinya. Berada di apitan dua gedung berlawanan arah, suasana mulai hening. Aku mengarahkan senterku ke segala arah. Menyusuri jalan yang becek karena air hujan.

Dari lantai atas masih tidak kelihatan apakah ada seseorang atau tidak.

Teman-teman.

"Dimana kalian." Kataku pelan.

Atau jangan-jangan aku sengaja dijebak, ingin menakutiku lalu detik selanjutnya akan ada lampu menyala mengitari bangunan dan ucapan selamat datang dari arah belakang. Suasana pecah dan aku lega di detik itu.

Tapi tidak ada apapun. Cahaya senter hanya menampakkan batang pohon yang rindang. Guratan retakan dinding, wastafel di sebuah pilar yang ditumbuhi rumput liar, tanaman yang merambat di sela-sela bangunan. Masih tidak ada tanda-tanda mereka. Tidak ada kejutan, tidak ada pesta berlangsung.

"Kurasa sembunyi." Kataku.

Udara semakin dingin karena ini sudah tepat tengah malam.

Sekelibat bayangan berjalan melewatiku.

Aku melihatnya, langsung kuarahkan cahaya senter mengikuti gerakan suara di belakangku. "Hei!! Tunggu!!" kataku berteriak. Bayangan itu menghilang di balik dinding. Aku segera mengejarnya,

Arahnya mungkin menaiki gedung ini. Lewat pintu belakang terdapat tangga menuju lantai atas. Bekas becek tapakan kaki itu membuatku yakin kalau orang tersebut naik tangga.

"Is, ngapain juga kejar-kejaran." Aku menaiki tangga. Naik ke balkon, mengarahkan cahaya senter ke dinding gedung ini. Ponstur orang tersebut tidak terlalu tinggi juga tidak pendek. Mungkin seumuran. Tapi ada yang aneh.

Ia lari seperti dikejar sesuatu. Ketakutan.

Lantai kotor, cat yang sudah pudar, lorong yang gelap. Aku menelan ludah karena di segala arah gelap gulita.

Sekarang aku berdiri di ujung lorong koridor bangunan asrama 1. Area asrama ini terbagi menjadi berberapa bagian, total jumlah asrama ada 10, yang pertama dan paling awal adalah bangunan dekat gerbang masuk. Tempat yang sekarang ini kuinjak.

Di depan sangatlah gelap. Aku menyenterkan pintu masuk ini dan bum!

Cahaya menyorot secara perlahan, lorong sepi tak berpenghuni, lantai yang sudah ditutupi rerumputan liar juga daun-daun yang berserakan, di setiap kanan kiri dibuat kamar yang saling berhadapan satu sama lain. Satu kamar bisa muat enam orang, dan jumlah kamar di setiap lorong total ada enam. Dalam bangunan ini ada tiga lantai. Yang berarti satu gedung asrama bisa menampung seratus orang lebih.

Sialnya, jika aku harus mengejar orang tersebut menyusuri satu persatu ruangan. Maka, aku akan menghabiskan delapan belas ruangan secara total. Hanya untuk kuselidiki siapa yang berlari di belakangku tadi. Tunggu,

Bagaimana aku bisa mengetahui?

Pertama, aku menyorotkan cahaya senter dari ujung koridor ini, ada enam kamar, aku sekarang berada di lantai dua, dan masih ada lantai tiga. Kemungkinan jumlah kamar akan sama persis seperti lantai satu dua. Karena bangunan ini berbentuk balok yang setiap incinya ada jendela. Jadi sebelum masuk aku sudah mengetahuinya.

Oh, astaga. Perlukah aku menjelaskan semua ini? Kupikir anak sd bisa menyadari hal ini.

Aku mulai fokus, melangkahkan kaki dengan perlahan, memasuki lorong lantai dua. Aih!! Suasananya mencekam banget. Hawa dingin yang kurasakan serasa memacu detak jantungku. Takut? Jelas aku takut. Apalagi sekarang aku sendirian.

Hujan diluar terdengar sibuk sekali mengganggu konsentrasiku, aku menelan ludah. Menyoroti setiap bagian lorong, pintu yang rusak, fentilasi atas pintu juga tertutup tanaman yang merambat, satu dua batu tergeletak berceceran di lantai koridor.

Aku benci hal ini, setiap aku melangkah selalu saja tersandung batu hingga berulangkali hampir jatuh.

Sekilas aku melihat dalam ruangan kamar, menyenteri segala sisi agar tidak tertinggal. Ruangan ini kosong dengan langit langit bocor, asbes yang berlubang, lantai yang kumuh dan berdebu, aku memberanikan untuk mengecek kamar mandi.

Setiap kamar dilengkapi satu kamar mandi. Kalian bisa bayangkan betapa emannya (ruginya) tidak ada yang berani mengalih fungsikan bangunan ini. Bisa dengan memperbaikinya atau menjualnya daripada menjadi gedung terbengkalai seperti ini. Apalagi jumlahnya ada sepuluh gedung.

Kosong.

Tidak ada yang aneh. Hanya bak mandi berisikan tumpukan batu kusam, berdebu dan kloset tidak layak pakai.

Aku menghela nafas.

"Tidak ada yang perlu dicemaskan." Batinku.

Kamar depannya juga demikian, tak jauh beda dengan kamar sebelumnya. Tidak ada tanda-tanda seseorang datang ke tempat ini.

Aku melanjutkan pencarian.

Brakk!!!!

Sesuatu memukulku dengan keras dari belakang, benda tumpul yang kurasakan mengibas habis belakang kepalaku. Begitu cepat dan sakit sekali rasanya. Pandanganku kabur. Tubuhku ambruk. Aku jatuh pingsan.

***

Semua gelap. Dan sekarang kepalaku terasa sakit.

Perlahan tapi pasti kesadaranku mulai kembali. Nafasku sedikit tersenggal karena debu. Batuk. Pandangan masih kabur, tubuhku mulai terasa berat seperti ada yang membebani. "Wedhus, kenapa sekarang." Kataku lirih.

Aku berada di sebuah ruangan kosong. Mungkin ini kamar. Aku mengenalinya karena sama persis seperti kamar lainnya yang sudah kujumpai sebelumnya. Kuraba sekitarku, hanya tanaman liar yang merambat melalui jendela yang rusak. Udara masuk ke dalam ruangan. Membuatku tersadar kalau terakhir kali aku dipukul seseorang dari belakang.

Aku segera mencari sosok tersebut.

"Sebaiknya lo diam, atau kepala lo tambah sakit." Suara seseorang tiba-tiba terdengar.

Aku terkejut bukan main.Dari mana sumber suara tersebut. Aku teringat kembali kalau senter yang ada di genggamanku sekarang tidak bersamaku lagi.

Aku disorot cahaya, tepat mengarah ke wajahku. Silau dan membuatku menyipitkan mata. Terngiang-ngiang lagi suara itu. Bagian belakang kepalaku masih terasa sakit saat kugerakkan sedikit cepat. Spontan aku menghalangi sorotan cahaya dengan tangan kananku, sedangkan tangan kiriku memegangi bagian belakang kepala.

Sosok itu mengambil senter milikku. Bergerak mendekatiku. Aku mencoba menatapnya, berharap mengenali siapa yang tega melakukan hal ini terhadapku. Ia mengenakan sweter hitam dengan celana jeans sobek dibagian tumit kaki kanannya. Dia seorang pria.

Bukan waria.

Berdiri tepat di hadapanku membuatku harus mendongak ke atas untuk bisa melihatnya lebih jelas. Aku kenal orang ini. Royyan. Ketua angkatanku. Anak Mipa sama sepertiku tapi beda kelas. Ia Mipa 3 aku Mipa 2. "Iqbal bukan?" tanya Royyan.

"Sebelum tanya, singkirkan dulu senter itu." Kataku mengalihkan pandangan.

Rayyan mematikan senternya, ia menghembuskan nafas panjang lalu duduk di depanku. "Sorry Bal, gue cuma mastiin." Kata Royyan.

"Mastiin kalau lo nggak bunuh orang?" mendadak aku naik pitam. Yang memukulku dengan keras tak lain dan tak bukan adalah Rayyan.

"Salah satunya itu."

"Stres lo."

Aku mengusap-usap bagian belakang kepalaku, aduh. Mungkin kepalaku retak. Hantaman benda tumpul tersebut sukses membuatku parno. Bisa gawat kalau gini. Mataku masih mencoba melihat sekitar. Berharap tidak ada masalah dengan penglihatanku.

Rayyan mengusap wajahnya, sedikit ada penyesalan dari dalam dirinya.

"Mastiin kalau lo bukan Joe."

Aku menoleh tidak paham.

"Joe?" tanyaku.

"Arwah." Kata Rayyan singkat.

"Yan, sumpah. Ini nggak lucu sama sekali." Aku mendadak malas memikirkan hal-hal itu. Ketika Rayyan mengatakan dengan jelas 'Arwah' di depanku tanpa sadar bulu kudukku berdiri. Nggak lihat apa sekarang lagi ada di mana? Sebaiknya jangan membuat suasana tambah parah.

"Lo sebaiknya nggak ke sini Bal." Kata Rayyan. "Lo seharusnya nggak datang ke tempat ini." Nada Rayyan berubah pasrah, raut wajahnya terlihat lelah. Sambil menyalakan lilin yang dibawanya Rayyan merebahkan tubuhnya ke lantai.

Sekarang ruangan ini ada pencahayaan. Tapi perkataan Rayyan barusan tidak kupahami. Aku dilarang datang ke acara reuni? yang benar saja.

"Gue nggak paham lo ngomong apa." Kataku.

Ia tidak menjawab. Rayyan malah bangkit dan mengintip keluar jendela, aku memperhatikannya. Dengan hati-hati Rayyan mengawasi area luar. Ia berdiri dan beranjak ke depan pintu, mengintip keluar lagi. Kepalanya sedikit demi sedikit memperhatikan lorong yang sepi. Percuma, tidak ada yang bisa dilihat selain kegelapan sepanjang lorong.

"Gue ke sini buat jemput Mei-"

"Ya gue tau." Sela Rayyan memotong kalimatku.

Wajahku sedikit meninggi.

"Meira kan?"

Aku mengangguk. Rayyan mengerti maksud perkataanku. "Dengar, gue terpisah dengan rombongan yang lain. Semenjak permainan ini dimulai semua orang langsung lari. Tanpa terkecuali. Masing-masing dari kita dibekali satu lilin ini." Rayyan menunjuk lilin yang menyala.

"Kita nggak akan nyelesaiin permainan ini jika nggak ada satu orang pun memenangkan permainan."

"Tunggu, tunggu dulu. Gue masih nggak ngerti lo ngomong apaan. Maksud lo apaan si? pertama kali ketemu udah buat gue pingsan, sekarang elo malah nyerocos nggak jelas tentang permainanan, tentang arwah. Eh, cuy yang bener aja dong, gue ke sini karena gue dikabari Meira. Bukan ikut permainan sinting ini." Tanyaku menjelaskan apa maksud perkataan Rayyan.

"Ini acara reuni kan?" Tanyaku kembali.

Rayyan tidak menjawab.

Dalam keadaan begini kami lebih tampak seperti dua orang baru pubertas mempermasalahkan sebuah permainan.

"Lupakan reuni. Itu udah selesai satu jam yang lalu." Kata Rayyan

"Sekarang situasinya berbeda."

Aku tertawa tidak percaya. Mebuang wajah ke samping.

Sekali lagi aku masih berpikir bahwa semua ini hanya akting Rayyan. Ia berlagak serius tentang permainan sedari tadi ia bicarakan, memenangkan permainan lah, apalah, lilin lah. Entahlah. Mungkin di kafe dia minum terlalu banyak.

"Lo mabuk?" kataku.

Sorot mata Rayyan langusng menatapku tajam.

Dengan nada sedikit membisik. "Apa mata gue kelihatan bercanda, hah?!" ia sambil menunjuk mata kanannya.

Dalam situasi tegang tiba-tiba Sssttt!!!

Nyala lilin padam seketika. Seperti ada yang meniupnya.

Aku kaget. Rayyan juga demikian. Kegelapan kembali menyeruak. Detak jantungku berpacu cepat. Kami saling pandang. Rayyan mengambil senter dan menyalakannya.

Suasana lenggang. Aku masih diam mematung. Tidak ada angin atau apapun lalu tiba-tiba Ssstt!! Padam. Dengan buru-buru Rayyan mengeluarkan korek api dan menyalakan lilin kembali. Ia mengendap-endap bergerak di bawah jendela melihat ke arah luar.

Tangannya bergetar.

Aku juga melihat keluar jendela. Tidak ada apapun, Hanya rerumputan dan berberapa patung rusak. Tidak ada yang aneh hingga sampai cahaya senter yang dipegang Rayyan mengarah ke depan pintu.

"Y-ya-an." Suaraku bergetar.

Cahaya itu menerpa seorang gadis berambut panjang teruntai ke bawah menutupi wajahnya. Dengan jelas aku melihatnya, gadis tersebut berdiri dengan kulit pucat pasi. Astaga apa yang tengah kulihat kali ini. Rayyan menoleh. Gadis itu menghadap ke arah kami. Tidak bergerak sama sekali seperti patung. Sikut kedua tangannya berwarna merah. Pikiranku pertama kali melintas adalah darah. Rona merah tersebut keluar dari borok-borok yang menempel.

Kali ini kami melihatnya. Rayyan menyorot gadis itu lebih jelas. Tubuhnya terlihat sedikit pendek. Pakaiannya lusuh kotor. Wajahnya menyeramkan dengan luka sayatan di dahi dan pipi. Dari mulut hidungnya keluar darah. Dia bukan manusia,

Rayyan melemparkan korek api padaku. Dengan gerakan terbata-bata Rayyan melangkah mundur. "Kalau lilin mati, cepat nyalain dengan korek itu Bal." Kata Rayyan.

Aku tidak mengerti perkataannya tapi kali ini aku menurutinya.

Aku menggenggam erat korek api di tangan kananku. Bangkit dari jongkok aku mengambil lilin terebut, mencoba melindunginya.

"Kita keluar dari ruangan ini." Kata Rayyan.

"Asem!" batinku.

Itu ada orang di depan kita!!! Dan kita harus keluar? jalan satu satunya ya melewati perempuan itu. Aku hampir saja menepuk jidatku. Keringat dingin udah mulai terasa sekarang. Mendadak hawa sekitar berubah semakin mencekam.

Rayyan mengambil balok kayu yang ia sandarkan, itu pasti kayu yang ia gunakan untuk memukulku.

Aku menelan ludah. Apa yang ia rencakanan? Menyerangnya?

"Sini." Kata Rayyan berbisik padaku. Aku mendekat, sorot cahaya senter kini semakin memperjelas siapa yang berdiri di depan pintu itu.

Aku melihatnya, berseru tertahan. "Itu Haniyyah!!"

"Ssstt!!" Rayyan menyuruhku untuk diam. Kepala gadis itu terangkat.

Menghadap persis melihat kami.

Perlahan dengan terbatah-batah wajah menyeramkan itu menatap mengikuti arah gerak kami.

Aku menelan ludah.

Kami berdua berusaha tidak menghiraukannya. Tidak bisa! bayangan gadis dengan bola mata putih sepenuhnya, wajah kusam dengan mulut penuh darah. Tatapannya kosong. Sekarang ia bukan lagi tampak seperti Haniyah temanku.

Tapi satu hal yang aneh. Ia masih berdiri mematung. Tubuhnya tidak bergerak.

Rayyan melangkah perlahan. Aku di belakangnya mengekor. Lilin yang kubawa terombang ambing karena langkahku. Kupastikan kalau lilin ini masih menyala terang.

Dengan langkah pasti kami sudah mendekati pintu. Waktu serasa melambat. Langkah kami pun ikut melambat. Tapat di hadapan gadis itu Rayyan sudah menyiapkan balok kayu di genggamannya. Bersiap akan memukul jika Haniyah bergerak menyerang kami.

Aku tidak tahu harus melakukan apa. Tapi jantungku berdebar sangat cepat ketika melewati tubuh Haniyah. Bergerak di hadapan tatapan kosong menyeramkan itu. Bola mata putih tanpa pupil, urat-urat yang tampak disekitar bola mata. Astaga begitu mengerikan ketika aku memalingkan pandangan.

Kami melewatinya.

Ssstt!!

Lilin padam ketika aku sudah melewatinya.

Aku menelan ludah.

Grrrhhh!!!

Haniyah melemparku ke belakang hingga membentur dinding. Rayyan dengan sigap memukul Haniyah kencang sekali hingga terdengar di telingaku. Aku berusaha berdiri. Apa yang terjadi barusan, tapi mustahil gadis bisa melempar seorang pria dengan kencang hingga aku terbatuk.

Tidak roboh, Haniyah langsung menyerang Rayyan. Tangannya menerkam bahu Rayyan hingga terjatuh di atasnya. Rayyan berusaha menahan dengan balok kayu. Haniyah hendak menggigit tapi tidak bisa.

"Bal!!!" teriak Rayyan.

Aku bangkit sepenuhnya. Berlari dan mendorong Haniyah sekuat tenaga.

"Lilinnya!!?" kata Rayyan. Aku baru sadar.

Astaga aku lupa untuk menyalakan lilinnya.

***

Nächstes Kapitel