webnovel

Chapter 6 - Rasa Cemburu Yang Tak Memiliki Tuannya

Refleks aku mendorong Steven. Dia terkejut sama sepertiku ketika dia menciumku. Bibir yang baru saja ia cium adalah bekas Hendrick dan aku sedikit emosi karena tergantikan olehnya.

"Ada apa, Mayleen? Apa kau tidak menyukainya?" tanya Steven.

Aku diam di tempatku. Ada keinginan untuk mengutuknya dengan berkata-kata kasar, tapi bukankah berciuman itu hal yang wajar untuk pasangan kekasih? Atau mungkin karena aku belum terbiasa dengan orang baru.

Aku menggelengkan kepalaku pada akhirnya. "A-aku hanya terkejut. Maaf. Aku masih belum terbiasa karena kita baru berpacaran."

Tatapan Steven melunak. Dia kemudian maju lagi dan meraih pipiku. Sentuhannya terasa lebih lembut dari yang kuduga.

Aku akan siap jika dia menciumku lagi. Aku tidak akan mendorongnya dan bersikap kasar seperti tadi.

"Aku tidak akan menciummu jika kau tidak memintaku atau mengizinkanku," katanya.

"Cium aku..." tanyaku. "Cium saja aku, Steven..."

***

Aku pulang cukup larut. Biasanya jam dua atau empat sore aku sudah pulang, sekarang jam enam aku baru sampai di rumah. Aku tahu ini belum terlambat, tapi yah, aku hanya tidak terbiasa pulang kerja di jam seperti ini. Steven memaksaku untuk merayakan hari jadi kami. Kelihatannya konyol, tapi aku menikmatinya. Dan percayalah, aku cukup bisa mengurangi pikiranku tentang Hendrick.

Sekarang, di saat-saat aku sendiri seperti ini, aku kembali memikirkan Hendrick. Apa yang dia lakukan sekarang? Omong-omong, Hendrick adalah Bos dari kafe miliknya sendiri. Tapi dia jarang berada di kafenya kecuali ada urusan mendesak.

Aku juga tidak ingin memberitahunya bahwa aku sekarang berpacaran dengan Bosku. Aku akan membiarkan dia tahu dengan sendiri nantinya.

Aku mandi dan makan malam sendirian, seperti biasanya. Mom dan Dad masih belum pulang, tapi aku sudah sangat merindukan mereka. Ditinggal atau meninggalkan orang tua saat aku bahkan sudah terbiasa dengan keberadaan mereka adalah hal yang sangat sulit dari apa pun. Aku bahkan belum siap untuk menikah dan meninggalkan mereka sendiri atau aku yang ditinggalkan mereka.

Pintu rumahku terketuk ketika aku sedang memikirkan orang tuaku. Aku membukanya dan terkejut karena Demico-lah yang bertamu. "Apa yang kau lakukan di sini, Dem?" tanyaku.

"Bisakah kita bicara?" dia bertanya.

"Tidak. Kita sudah selesai, Demico. Kita tidak punya apa-apa untuk diajak dibicarakan."

"Dengar, Mayleen. Kau tahu aku mencintaimu, kan? Kenapa kau tidak memberiku kesempatan untuk memulai dari awal lagi?"

"Kau tahu, setiap temanku yang berbicara kepadaku tentang sikap burukmu di belakangku, aku selalu mengabaikan mereka dan meyakinkan diriku sendiri bahwa kau bukan tipe laki-laki seperti itu. Tapi ketika aku melihatnya, aku salah dan mereka benar. Aku… percaya padamu? Tidak lagi. Atau memberimu kesempatan? Aku yakin aku tidak akan melakukannya," aku menjelaskan padanya dengan tatapan serius.

"Kau tidak ingin aku kembali atau kau sudah punya penggantiku?" tanya Demico mengintimidasi.

Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku tidak tahu mengapa aku tidak melakukannya, tapi sebagian dari diriku merasa kasihan padanya. Bagaimana jika aku memberitahunya, dan itu lebih menyakiti hatinya? Meskipun Demico menyakitiku, aku tidak bisa melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan.

"Tinggalkan aku sendiri, Demico. Aku butuh istirahat," aku mengusirnya dengan halus.

"Mayleen... Please. Aku tahu apa yang aku lakukan fatal. Aku tahu aku salah, tapi aku sangat mencintaimu. Dia bukan apa-apa, tapi kau segalanya bagiku," katanya yang membuatku semakin sedih.

Aku perlahan menggelengkan kepalaku dengan tetap diam. Aku tidak ingin merasa kasihan padanya, karena aku tidak mau sampai diriku memberi kesempatan padanya di saat aku sudah bersama Steven.

"Tinggalkan dia sendiri, Demico."

Tiba-tiba, suara Hendrick terdengar. Demico dan aku sama-sama menatapnya. Dia bahkan dengan santai datang dan mengatakan itu kepada Demico, padahal alasan kecemburuan Demico adalah karena Hendrick dan aku memilih menghabiskan lebih banyak waktu daripada bersamanya.

Sebagian diriku merasa bahwa Hendrick sudah mendengar semua percakapan kami. Dia juga menatapku dengan tatapan serius yang belum pernah kulihat sebelumnya. Sial! Dia pasti mendengar bagian Demico bertanya padaku tentang kekasih baru, meskipun aku tidak menjawabnya.

"Kau yang membuat semua jadi begini, Hendrick. Kau membuat kami putus! Kau tahu, aku tidak akan berhenti mengejarnya," kata Demico dengan tatapan marah. Dia kemudian meninggalkan rumahku dengan mobilnya dan mengemudi dengan cepat.

Aku memegang pangkal hidungku dan duduk di teras rumah. Sebaiknya aku tidak menyuruhnya masuk ke dalam rumah karena sesuatu yang menggairahkan bisa saja terjadi. Aku tidak ingin dia dan aku bercinta lagi. Karenanaku akan merasa menjadi orang yang paling berdosa di belakang kekasihku.. Setidaknya aku harus menghargai Steven meskipun aku belum mencintainya karena aku percaya pada karma. Apa yang kau tabur, itulah yang kau tuai.

"Kau serius sudah memiliki pacar sekarang?" dia bertanya, mengikutiku duduk di teras.

"Hmm, ya. Seperti yang kau dengar."

"Kenapa? Sudah kubilang jangan punya pacar, Mayleen!"

Yah, melihat dan mendengar Hendrick marah tidak terlalu mengejutkanku. Tapi yah, aku bahkan sedikit terkejut karena dia jarang memarahiku.

"Kau tidak memiliki bagian dalam kehidupan cintaku, Hendrick. Kau sendiri sudah punya pacar, jadi kenapa aku tidak?"

"Jadi kau ingin aku putus dengan Sera? Well, aku akan melakukannya jika harus. Setidaknya kau tidak bisa punya pacar sebelum aku menemukannya untukmu."

Wow. Ini kejutan! Aku belum pernah mendengarnya bicara seperti itu. Dia akan putus dengan Sera hanya untukku, jadi aku tidak punya pacar? Sayangnya aku tidak ingin ia melakukan itu, karena aku yang akan bersalah di sini.

Aku menggelengkan kepalaku. "Tidak. Jangan putus dari Sera hanya untukku, Hendrick. Kita sudah besar dan tahu bagaimana kita menentukan masa depan kita." Aku menatapnya saat aku berkata padanya.

"Dengar, aku hanya tidak suka kau bersama pria lain, Mayleen. Saat kau bersama Demico, aku bisa menerimanya, tapi sekarang aku tidak ingin sahabatku dengan seseorang yang bahkan tidak kukenal," jelas dia dan aku terdiam.

Aku perlu mencerna setiap kalimat yang dia katakan padaku. Kurasa ia sekarang sangat egois. Aku nyaris tidak mengenalinya.

Saat itu, saat aku bersama Demico, dia bahkan tidak mempermasalahkannya. Tapi sekarang, dia terlihat jauh lebih berbeda dari biasanya.

Aku juga tidak bisa memungkiri bahwa aku merasa senang jika Hendrik seposesif ini terhadapku. Tapi kemudian aku menyadari sesuatu, bahwa cara posesifnya terhadapku itu salah. Dia bahkan sudah punya pacar.

Aku menatap matanya dengan mata polosku. "Kau egois, Hendrick," kataku.

"Aku egois karena aku tidak ingin kau terluka seperti saat kau bersama Demico!" serunya.

Salah satu alisku terangkat. Aku bahkan tidak merasa begitu terluka ketika akhirnya memutuskan untuk putus dengannya. Tiba-tiba aku curiga Hendrick memiliki perasaan yang sama padaku. Ada perasaan senang yang kurasakan di perutku seperti ada yang terbang dan membuatku melambung bahagia.

"Kenapa kau tersenyum?" tanyanya.

Hah? Aku tersenyum? Ya Tuhan! Aku bahkan tidak menyadari bahwa aku tersenyum hanya memikirkannya.

"Aku tidak tersenyum," jawabku membela diri.

"Ya, kau tersenyum."

"Tidak, Hendrick!"

Kami berdua mengerang kesal. Kemudian dalam beberapa menit, Hendrick dan aku terdiam tanpa sepatah kata pun. Aku tidak ingin berbicara dengannya terlebih dahulu, jadi aku akan tetap diam sampai dia mulai.

Tiba-tiba, ponsel Hendrik berdering. Dia berdecak dan menatap layar ponselnya sambil menatapku. Aku melihat ekspresinya, dan kemudian ia mulai menjawab panggilan dari seseorang yang aku pikir aku tahu siapa yang meneleponnya.

Ugh, aku tidak bisa menahan kecemburuan ini. Tiba-tiba, aku merasa mual, dan aku mencoba berdiri untuk menghirup udara di luar teras. Angin malam terasa sejuk saat aku menghirupnya. Meski dingin, rasa mualku langsung hilang.

"Mayleen," Hendrick memanggilku.

Aku bergumam dan tidak membalikkan tubuhku, tapi aku bisa merasakan Hendrick di belakangku. Karena tubuhnya tiba-tiba menghangatkanku, dan tentu saja karena ada bayangan tubuhnya yang terkena cahaya lampu malam.

"Aku harus pergi beberapa hari lagi," katanya padaku.

"Ke mana dan dengan siapa?" tanyaku penasaran. Ups! Kenapa sih, mulutku menanyakan sesuatu yang bahkan membuatnya besar kepala? Sial!

"Apakah kau juga harus tahu?" tanyanya. "Apakah kau akan memberitahuku siapa pacarmu dan semua yang akan kamu lakukan dengannya?"

"Lupakan saja. Kau bisa pergi sekarang, aku akan masuk," kataku, menolak untuk menjawabnya dan berbalik ke rumah.

Tiba-tiba tanganku di pegang dan membuatku berhenti melangkah, lalu dia membalikkan tubuhku. Kami kemudian saling berpandangan selama beberapa saat sampai napasku sedikit terengah-engah. Aku bahkan bisa merasakan napasnya ke arahku, yang kemudian aku hirup lagi.

"Aku akan pergi dengan Sera dan teman-temannya ke pantai. Kau tahu, Sera punya vila di pantai, kan? Dan kita akan berada di sana untuk beberapa waktu. Liburan," katanya dengan ekspresi dingin dan menusuk yang membuatku merasakan sakit di dadaku.

Nächstes Kapitel