webnovel

Bab 36

Malam telah larut, tetapi Marlon tidak kunjung datang menjemput.

Hutton kembali sejak setengah jam yang lalu, hal itu tentu membuat Belle segan, apalagi auranya tidak bersahabat dan William pun juga takut padanya. Mengambil ponsel dari tasnya sekali lagi Belle mencoba menghubungi paman Marlon, berharap panggilan kali ini mendapatkan jawaban.

"Bagaimana, Bell?" tanya Barbara cepat.

Untuk ke sekian kali Belle menggeleng, bingung sekaligus malu.

"Hmm, aku antar saja ya."

"Tidak perlu repot." Belle bangkit, lantas mendekati William yang tertidur di sofa.

"Bell, ini sudah malam, aku bisa ..."

"Tidak usah, aku bisa naik taksi." Perlahan Belle membelai kepala William, berusaha membangunkannya.

Tidak lama William pun terbangun, dengan lembut Belle menghelanya bangkit. Tanpa membuang-buang waktu lagi Belle langsung berpamitan kepada Barbara, dan tentunya juga Claire yang berada dalam dekapan sang ibu. Keduanya saling melempar senyum, lalu Belle keluar halaman sambil menggandeng tangan mungil William.

Kepergian Marlon kali sangat membuat Belle malu dan terasa amat membingungkan. Tidak seperti biasanya Marlon pergi begitu saja, bahkan sampai lupa menjemputnya. Terus terang Belle marah, bahkan sungguh marah. Secara tidak langsung Marlon telah mempermalukannya di hadapan Barbara.

Padahal, baru sebulan yang lalu lelaki itu memberikan kejutan dan memuliakannya dalam acara sekolah William. Lalu sekarang?

"Mom, Daddy ke mana?" William meracau di dalam pangkuan Belle.

"Daddy sedang ada urusan penting, jadi kita pulangnya harus naik taksi."

"Tumben sekali Daddy kerja malam."

Belle pun terdiam, tidak lagi berkata-kata.

Di perjalanan pulang Belle terus memikirkan ke mana Paman Marlon pergi? Penjelasan Barbara saat mereka dinner bersama tadi, rasanya cukup bagi Belle untuk curiga. Tidak ada seorang pun CEO yang bekerja di luar jam kerja dengan sekretaris, kecuali keduanya memiliki hubungan yang intim.

Oh, astaga! Memijat pelipisnya Belle mencoba untuk tidak berprasangka buruk, karena Marlon sudah berjanji. Lagipula Marlon juga sangat mencintainya, jadi kecil kemungkinan jika lelaki itu berselingkuh.

"Ayo, Nak, kita sudah sampai di rumah." Dengan lembut Belle menghela tubuh kecil William yang sudah lunglai, lalu membawa turun mobil.

"William sangat mengantuk, Mom."

"Iya, Sayang, setelah ini kita akan tidur yang lelap di kamar."

Tidak membutuhkan waktu yang lama akhirnya Belle berhasil menuntun William sampai kamar, maka dengan begitu dibaringkannya sang anak di atas tempat tidur. Dengan penuh kasih Belle mengusap rambut William, lalu mengecup kedua pipinya lembut. Ritual seperti itu memang rutin Belle lakukan sebelum William tertidur.

"Mimpi yang indah, Sayang," bisiknya pelan.

Mematikan lampu tidur, kemudian Belle balik arah menuju pintu. Perasaannya masih tidak keruan, apalagi Marlon belum juga memberi pesan. Masuk ke dalam kamarnya, dengan cemas Belle mengeluarkan ponsel kembali dan melihat fotonya bersama paman Marlon.

Sebuah foto pernikahan yang sangat manis.

Belle tersenyum, mengingat dan membayangkan pertemuan pertamanya dengan Marlon dulu. Itu sungguh menggelikan, tetapi menjadi salah satu bagian yang tidak ingin Belle lupakan. Penampilannya yang seperti Tarzan tua dan memiliki banyak bulu, telah membuat Belle mati ketakutan.

"Menggelikan," ucap Belle sambil bergidik.

Ting! Ting! Jam dinding berdenting pertanda hari telah berganti, waktu telah menunjukkan pukul 12 tengah malam. Beranjak dari duduk Belle mulai gelisah, tidak seperti biasanya Paman Marlon belum pulang.

Hingga detik ini Belle juga tidak ingin berpikir buruk, meski hatinya mulai sakit setiap kali mengingat perkataan Barbara. Bagaimana mungkin Paman Marlon berselingkuh? Lalu, apa artinya ketakutan lelaki itu saat Belle meninggalkannya.

"Mom ..." Rengekan halus itu menyadarkan Belle, di depannya kini sudah ada William.

"Sayaang, kenapa bangun? Ini masih malam."

"William tidak bisa tertidur, Mom." Dengan manja William melompat ke dalam dekapan sang ibu, lalu dia berkata lagi. "Daddy juga belum pulang."

Menghela napasnya Belle berusaha untuk tetap menjaga perasaannya di hadapan sang anak, bagaimana pun rasa sakit di hatinya William tidak boleh tahu. Maka, Belle pun tersenyum manis, dan mencium kedua pipi William dengan gemas.

"Kita tunggu Daddy pulang di bawah yuk."

William mengangguk antusias, maka Belle tidak lagi cemas meninggalkannya di atas.

"William tidur di sofa ya, Mom." Menunjuk pada sofa, dengan posisi melingkar William pun tertidur.

Waktu berlalu sangat cepat, sambil terjaga sesekali Belle mengintip keluar pintu, tetapi belum juga ada tanda-tanda kepulangannya. Nomor ponsel Paman Marlon tidak lagi aktif, hal itu tentu membuat Belle semakin takut. Pamannya selalu pulang ke rumah, bahkan tidak pernah sekali pun bekerja selarut ini.

Mengusut dadanya air mata Belle luruh, hati dan pikirannya kini tengah kacau. Ketiadaan Paman Marlon di sisinya kali ini benar-benar membuat hati Belle hancur.

Kriing! Ponsel Belle berbunyi nyaring, nama Rose tertera di layar.

"Ya, Rose, ada apa?" tanya Belle bingung.

Tumben, menelepon tengah malam.

"Apa Paman Marlon ada di rumah?" Rose malah bertanya balik, dahi Belle mengernyit.

"Tidak, Paman sedang ada urusan di luar, dan sekarang aku tengah menunggunya pulang." Menerawang jauh, kini pikiran buruk telah menguasai Belle. "Ada apa Rose??"

"Belle, maaf, aku harus mengatakannya. Ada mobil Paman Marlon di depan apartemennya Victoria."

Sontak Belle terdiam, dadanya bergemuruh merasakan sesak yang merangkak naik.

"Tidak sepatutnya Paman Marlon berada di dalam sana, apalagi bersama Victoria yang haus akan belaian. Bell, katakan padaku ini semua tidak benar. Pamanku tentu sangat membencinya dan tidak akan pernah tertarik dengannya. Cukup ayahku saja yang sudah menjadi korbannya, tolong, berkata sesuatu."

Tanpa bisa berkata-kata lagi Belle memutuskan sambungan telepon, lalu terduduk dengan perasaan yang hancur.

"Bagaimana bisa Paman Marlon mengkhianatiku untuk kedua kalinya?"

Tubuh kecil Belle berguncang hebat, merasakan sakit yang tidak tertahankan. Perdamaian yang mereka lakukan hanya sebatas mengobati, bukan menyembuhkan. Nyatanya Paman Marlon berulah kembali, bahkan lebih parah dari yang pertama.

Menyeka kedua pipinya Belle mencoba bangkit saat mendengar deruan mobil di depan rumahnya, lelaki itu akhirnya pulang dengan sangat terlambat. Pukul 4 dini hari, bahkan Belle sendiri pun tidak tidur hanya untuk menunggunya pulang.

"Kerja menginap?" Belle menatap pamannya dengan hati dan bola mata yang memanas.

"Maafkan aku, Bell, aku ketiduran."

"Ketiduran di ranjang Victoria, begitu?"

Telak, Marlon terdiam dan mati kutu.

"Di mana hatimu, Paman?! Aku sedang mengandung anakmu, dan kau tidur dengan wanita lain."

Masih terkejut dengan kenyataan bahwa Belle mengetahuinya begitu cepat, Marlon hanya menunduk.

"Kau masih sama dengan yang dulu, dan aku menyesal telah kembali padamu."

"Belle ..."

"Sudah cukup kau berbohong dan mempermainkan aku, Paman."

Tanpa memedulikan panggilan Marlon, dengan cepat Belle berlari menaiki anak tangga. Kepolosannya telah dimanfaatkan Marlon, sehingga berkali-kali Belle tertipu.

"Sayaang, Belle, kumohon dengarkan aku."

"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, dan aku mau kita pisah."

Menepis tangan kekar Marlon berulang kali, Belle mengambil beberapa helai pakaian dan sejumlah uang simpanannya. Tidak menunggu pagi, Belle ingin pergi detik ini juga, meninggalkan Marlon yang terus membuat masalah.

Nächstes Kapitel