Semua orang memiliki banyak pertanyaan di kepala masing-masing. Dan setiap jawaban hanya ada pada Jhon seorang. Ia satu-satunya anggota tertua Argenis. Ia juga saksi hidup bagaimana pengorbanan Wira dahulu. Wira meminta Jhon untuk merahasiakan semua hal ini. Tapi, kini adalah waktu yang tepat. Apalagi Elang sudah melihat dan bertemu sendiri dengan Wira.
"Memang, bukan Kalla yang mengancam kami, tapi pengikutnya. Asal kalian tau, desa seberang mayoritas penduduknya adalah pengikut Kalla. Mereka mengancam, membunuh, dan membuat warganya berubah menjadi makhluk mengerikan itu. Sebagian besar penduduknya, akan menerima dengan pasrah apa yang mereka lalukan, tapi jika mereka berontak, kematian yang akan mengikuti mereka."
"Apa tujuan mereka menguasai desa itu, ayah?" kini giliran Vin yang bertanya. Ia memang menantu Jhon, tapi Vin bukan penduduk asli pulau Saphire atau desa Yakut. Vin berasal dari tempat yang jauh. Ia mengenal putri John karena membantu bencana tsunami beberapa tahun lalu. Akhirnya Vin jatuh cinta pada Gwen, dan mereka pun menikah.
"Mereka menginginkan batu saphire ini," tunjuk Jhon ke benda dengan tinggi kurang lebih 10 meter itu.
"Tunggu! Bukannya pengaruh batu itu tidak baik untuk mereka?"
"Memang benar, itulah alasan mereka menginginkan batu ini. Mereka ingin menghancurkannya. Agar ras mereka akan dengan mudah menguasai ras manusia. Dengan hancurnya batu saphire, maka kekuatan mereka akan makin kuat. "
Pernyataan itu membuat mereka menelan ludah. Ada gurat kecemasan di wajah mereka.
"Lalu ... Mana Wira?" tanya Adi, tak sabaran.
Abimanyu melihat sebuah pergerakan dari balik batu itu. Seseorang muncul dengan sinar keemasaan. Dia terlihat berwibawa dengan wajah tampan. Di belakangnya muncul beberapa orang lain, dengan pakaian yang sama satu dengan lainnya. Sangat jelas terlihat perbedaan antara keduanya. Pria yang pertama ia lihat pasti memiliki jabatan yang lebih tinggi timbang orang-orang yang kini bergerak mengelilingi tugu batu itu.
Wira dan Abimanyu saling menatap. Wira melemparkan senyum tipis di wajahnya. Karena sekarang hanya Abimanyu saja yang dapat melihatnya. Wira mendekat ke Abi.
"Abimanyu Maheswara?" tanya Wira dengan suara lantang.
"Be ... Benar. An ... Anda ... Paman Wira?"
Wira tersenyum, mengangguk lalu menepuk bahu Abimanyu yang terus melihatnya takjub. Wira memejamkan mata. Seketika siluet kejadian masa lalu terekam jelas di pikirannya. Semua hal yang Abimanyu alami sejak ia dilahirkan hingga beberapa detik lalu nampak jelas dipikiran Wira.
'Kamu tetap sama, Nayla. Syukurlah Arya telah menjagamu dengan baik,' batin Wira. Kedua bola matanya berkaca-kaca. Namun senyum terus terukir di bibirnya.
"Paman? Kau tidak apa-apa?" tanya Abimanyu.
Elang yang melihat pemuda itu berbicara sendiri, segera memejamkan mata. Ia kembali meraga sukma agar dapat melihat apa yang terjadi sekaligus bertemu dengan Wira, lagi. Adi yang melihat Elang diam, ikut menyusulnya. Sayangnya Gio dan Vin tidak bisa melakukan hal itu. Gio berteriak frustasi. Sementara John, ia tidak perlu meraga sukma. Karena otomatis ia mampu melihat semua hal tak kasat mata dengan mata batinnya, sama seperti Abimanyu. John adalah keturunan terakhir dari Chris pendahulu Argenis.
Abimanyu diam, pandangannya jauh menatap ke suatu tempat. Ia memejamkan mata dengan perasaan gundah. "Sebaiknya kalian segera pulang!"
"Kenapa, Paman?" tanya Abimanyu kebingungan.
Elang kembali ke tubuhnya dan segera menarik Abimanyu. "Kita harus pulang! Ada penyusup datang ke rumah Pak John!" ucapnya. Ia berjalan cepat, disusul yang lain.
Dalam benak mereka, bertanya-tanya, siapa gerangan penyusup yang dimaksud Elang tadi. "Sebenarnya siapa yang datang ke rumah, Lang?"
"Aku tidak tau. Hanya saja siluetnya terlihat jelas ada orang lain yang menyusup ke rumah."
"Apakah Kalla?"
"Bukan! Pasti antek-antek Kalla, " sahut John sambil berlari bersama mereka.
"Maksudmu? Manusia? "
"Iya."
Barisan pepohonan mereka lewati. Kabut putih mulai turun dan sedikit menyulitkan pandangan mereka.
"Hati-hati! Kita harus terus bersama! Jangan berpencar. Mereka sengaja menurunkan kabut ini!"
"Benar sekali. Baru kali ini aku, melihat kabut setebal ini di pulau. Aneh, ayah!"
Mereka berhenti berlari. Nafas yang hampir habis membuat semangat mereka menurun, kini mereka benar-benar tersesat. Kabut ini benar-benar menyesatkan. Mereka dibuat seolah-olah berputar. Kembali ke tempat awal mereka berlari. Terus seperti itu, hingga tenaga mereka hampir habis.
"Bagaimana ini?"
"Brengsek!"
______
"Ell, aku mau membuat segelas susu. Kau mau?" tanya Shanum. Mereka sudah berada di kamar, hendak tidur karena hari mang sudah larut. Permainan ular tangga yang mereka mainkan sudah membosankan. Terlebih berkali-kali Ellea sudah menguap.
"Tidak usah, Num. Aku masih kenyang. Lagi pula mataku sungguh terasa berat. Aku tidur duluan, ya."
"Ya sudah. Selamat malam, Ell."
"Hati-hati, ya."
"Pasti."
Shanum keluar kamar. Letak kamar mereka ada di lantai dua, bersebelahan dengan kamar yang lain. Koridor lantai dua memang masih terang karena lampu belum dipadamkan. Shanum turun tangga, perlahan. Langkahnya membuat tangga kayu berderit. Sampai di tengah tangga, Shanum sedikit gentar. Karena keadaan di lantai bawah sudah gelap. Beberapa lampu sudah dimatikan. Kecuali lampu teras. Shanum agak ragu, tapi karena kebiasaannya minum susu sebelum tidur, memaksanya tetap berjalan ke dapur.
Semilir angin malam, membuat Shanum memeluk tubuhnya sendiri. Rupanya jendela ruang tamu masih ada yang terbuka. Terpaksa Shanum menutupnya dahulu. Perasaannya tiba-tiba tidak nyaman. Ia baru sadar kalau sebelum para pria pergi, mereka sudah memastikan jendela dan semua pintu tertutup dan dikunci.
"Jadi siapa yang membuka jendela ini?" gumam Shanum, netranya liar menatap sekitar. Sebuah bayangan terlihat di ujung ekor matanya. Merasa keadaan tidak aman, Shanum mengambil ancang-ancang berlari. Dengan secepat kilat, Shanum berlari ke arah tangga. Bayangan hitam itu juga terus mengikutinya. Ia berteriak.
"Elleaaa! Tolooong!" teriak Shanum sambil terus berlari di tangga. Kaki Shanum ditarik, hingga ia jatuh tersungkur. Tubuhnya terantuk tangga kayu. Ia mengerang kesakitan.
"Toloong!" jerit Ellea lagi.
Kakinya ditarik turun kembali ke bawah. Berusaha terus menggapai apa pun yang ada di sekitarnya. Sementara di sisi lain, Ellea yang sudah tertidur pulas tak mendengar jeritan Shanum. Tapi, seseorang sudah ada di kamar mereka. Ia mengendap-endap mendekati Ellea yang sedang tidur. Ia memakai topeng penutup kepala, dengan sarung tangan. Perlahan tangannya mengulur ke wajah Ellea. Mulut Ellea dibekap. Gadis itu segera sadar dan melotot. Berusaha melepaskan diri dari dekapan pria yang kini memeluk dan menarik dirinya keluar dari selimut tebal itu. Ellea berteriak walau mulutnya dibekap.
Ia ditarik keluar kamar. Sampai di luar, rupanya sudah banyak orang dengan pakaian serba hitam. Ellea berontak. Menginjak kaki orang yang memegangnya. Saat cengkeraman orang itu mengendur, ia berlari. Tapi usahanya sia-sia. Karena orang lain sudah lebih dulu menarik rambutnya. Bahkan tak melepaskan nya. Rambut Ellea ditarik, ia meronta. Namun tubuhnya dibanting ke lantai. Suara berdebum terdengar jelas. Tubuh Ellea ditarik dengan tetap menjambak rambutnya. Melewati anak tangga dengan cara seperti inu sunggu membuat semua sendi tubuhnya terasa remuk. Air bening keluar dari kedua bola matanya. Ia memohon agar dilepaskan. Walau tau itu tidak akan berhasil.
Kedua gadis itu, dipertemukan di lantai bawah tanah dengan kondisi diikat. Mulut mereka di sumpal kuat dengan kain yang tebal. Pelipis Ellea berdarah dan terdapat lebam di beberapa bagian wajahnya. Sementara Shamun hanya mengalami pipi yang meradang karena di tampar beberapa kali. Dibalik sumpalan kain itu, bibir Shanum berdarah.
Ada sekitar 10 orang yang ada di ruang bawah tanah ini. Mereka semua memakai topeng dikepala dan hanya menampilkan dua bola matanya saja. Ditangan mereka ada beberapa senjata tajam.
____
"Bagaimana ini, Paman?" tanya Abimanyu pada ketiga paman nya.
Mereka masih tersesat di hutan. Sebuah bayangan putih, mirip kabut terlihat mendekat ke arah mereka.
"Paman, apa itu?" tanya Abimanyu menunjuk ke sosoktunjuk. di atas.
Mereka menatap ke arah yang Abimanyu tunjuk.
"Wira!" seru Elang dan John bersamaan.
Bayangan putih itu terbang di atas mereka seolah memberikan petunjuk. Mereka bergegas mengikuti. Cemas, jika sesuatu terjadi pada Ellea dan Shanum di rumah.