Dini seketika senyum merekah saat melihat Reyna yang mulai membuka matanya. Anak itu baru saja sadar setelah lamanya Dini menunggu sampai tidak berhenti menangis.
"Sayang!" Mama Reyna segera berhambur memeluk, padahal anak itu baru saja melihat dirinya berada di mana.
"Mama, khawatir banget sama kamu! Akhirnya kamu bangun juga, sayang." Dini mencium kening Reyna sambil mengelus rambut putrinya.
"Kenapa aku di rumah sakit, Ma?" Tanya Reyna sedikit serak.
Dini menghela napas gusar. "Kamu terbaring lemah waktu, Mama, pulang. Entah kenapa. Apa kamu mengingat hal yang membuat kamu seperti ini?" Singkatan cerita itu membuat kepala Reyna pening, dia meringis sambil memegang sisi kepala kiri. Dini mencegah Reyna untuk banyak bergerak, dia menatap sendu.
"Sayang, kamu lebih baik istirahat lebih dahulu." Dini tidak ingin puterinya semakin memburuk.
"Reyna, lupa. Mama, udah pulang kerja?"
"Jangan dulu pentingkan itu. Kamu harus banyak rehatan. Mama, panggilkan dokter dulu."
Dini keluar ruangan inap Reyna. Baskara yang masih menunggu di luar kini bangkit untuk mendekat pada Dini, membuat Ibu itu menatap heran.
"Sayang. Bagaimana dengan anak kita? Apa dia sudah bangun? Boleh aku menjenguknya?" serbunya dengan pertanyaan cemas.
"Kamu panggilkan dokter saja." cetus Dini yang kembali masuk ke dalam ruangan. Dia masih merasa kesal pada suaminya, tidak ingin banyak bicara juga. Dini sungguh tidak bermaksud mengacuhkan Bas. Hanya saja kecerobohan yang di lakukan suaminya sudah membuat emosi Dini melonjak.
"Mama, ga jadi manggil dokter?" tanya Reyna yang mengerutkan alis bingung.
"Papa, yang akan panggilkan." Dini membalas malas.
Reyna menatap sang Mama yang sepertinya ada guratan kekesalan langsung penasaran dan menatap curiga.
"Mama, kenapa?"
Dini menghela napas memaksakan senyuman manisnya. "Tidak ada. Mama, sangat khawatir sama kamu saja, tidak ada yang lain." Reyna tahu pasti Mama nya sedang berbohong, tetapi dia tidak ingin membuat sang Mama semakin tidak mood. Reyna akan bertanya pada Papa nya saja nanti, pikirknya.
Pintu ruangan terbuka seketika itu menampilkan sosok ber jas berwarna putih, dokter yang menangani Reyna masuk lebih dalam sambil tersenyum hangat.
"Bagaimana keadaan kamu, Reyna? Apakah kepalamu masih terasa sakit?" tanyanya.
"Sedikit pusing." Tutur Reyna.
Wajah Bas terlihat begitu cemas. "Apa tubuh kamu ada yang lebih sakit lagi, sayang?"
Kepala Reyna menggeleng sambil tersenyum getir. "Kepala aja, Pa."
"Dokter. Reyna, tidak apa-apa 'kan?" Dini bertanya menatap dokter untuk memastikan.
"Sebenarnya tidak apa. Ini hanya efek dari benturan itu." Kata dokter, beliau menatap Reyna. "kamu jangan banyak pikirin, ya. Soal masalah yang sekarang kamu hadapi semoga cepat selesai."
"Memangnya apa masalah puteri saya? Dokter tahu itu?" kali ini Bas bertanya.
Dokter tersenyum. "Tidak. Akan tetapi saran dari saya..., semoga kalian juga sebagai orang tua bisa membuat dia lebih bebas lagi. Apapun keinginannya walau berat sebisa mungkin ijinkan." Setelah berbicara dokter tersebut melangkah menuju keluar ruangan.
Bas maupun Dini menatap Reyna dengan curiga. "Kamu curhat soal masalah kamu ke dokter itu?" seiringan suara membuat Reyna menggeleng pelan.
"Ga pernah curhat apapun,"
Dini maupun Bas saling melirik menautkan alis bingung.
"Reyna, juga baru liat dokter itu sekarang. Lagi pula aku ga pernah sekali 'pun untuk curhat masalah aku sendiri ke orang lain, Pa, Ma."
********
Cipto menggaruk sisi kepalanya yang dirasa gatal. Senior Reyna itu sedang membantu Citra untuk mencari alamat rumah juniornya yang tak kunjung ada kabar baik. Citra memintanya dari Reno, beruntung cowok itu bermurah hati memberikannya. Walau terlihat cuek dan tidak peduli sesama, namun sisi dari Reno juga terdapat hati nuraninya.
"Cit, lo yakin ini rumahnya?" tanya Cipto saat berada di luar gerbang rumah asing. "keliatannya sepi banget, kayak ga ada orang yang huni." celetuknya lagi.
Citra menghembuskan napasnya lewat mulut. Dia sendiri berpikir hal yang sama dengan Cipto. Namun rasa penasaran dan terlanjur sudah berada di sana membuat Citra ingin segera mengetuk pagar itu, barangkali ada yang berjaga di dalamnya.
"Kita cek aja dulu, To."
Mereka menatap lurus. Cipto yang masih di atas motor Citra terpaksa turun dan ikut memanggil siapapun orang di dalam sana. Tetapi sudah ke lima kalinya mereka memanggil tidak ada sahutan apapun di dalam rumah tersebut.
"Gue bilang apa. Ini rumah kosong, Citra!" Cipto merasa gemas, dia memang sudah malas untuk memanggil. Seharusnya Cipto maupun Citra sudah berada di rumah masing-masing untuk beristirahat. Nyatanya Cipto memang tidak bisa membiarkan seorang perempuan berkeliaran seorang diri di tengah malam seperti saat ini. Walau berniat baik, tetapi tetap saja masih berada di luar.
Citra menghela napas lelah. "Aku khawatir banget sama, Reyna." Dia terlihat menundukan kepalanya dalam. Cipto merasa kasihan sekaligus heran.
Memang apa, sih? Hubungan Citra dan Reyna?
Cipto sampai terheran melihat keadaan teman satu kerjanya itu.
"Cit, lo sesayang itu sama si junior?"
Citra menoleh tak selera. "Reyna, udah aku anggap sebagai adik sendiri. Dia selalu membuat aku nyaman, To."
Cipto sudah sangat mengenal Citra bagaimana dengan orang lain. Cukup lama mengenal Citra bahkan tidak pernah sedekat itu dengan orang sampai ingin tahu di mana rumah orang tersebut. Mungkin ada kalanya Citra memang merasa sayang dan ingin bersama dengan orang yang sudah berhasil membuatnya nyaman. Cipto bahkan merasakan bagaimana bisa Citra hidup sendiri tanpa keluarga, dia sedang merasakan sekarang.
Sangat tidak nyaman dan begitu kesepian.
"Terus sekarang gimana?" tanya Cipto yang sudah pasrah.
Citra pun bingung. Apa sebaiknya menunggu di sana atau pulang ke rumah karena hari semakin larut saja.
"Besok mungkin ke sini lagi. Reno, ga mungkin ngasih alamat salah 'kan?"
"Emangnya itu anak dapet di percaya apa?"
Citra lupa akan hal itu. Dapatkah Reno di percayainya? Bagaimana jika cowok itu hanya mengasal tanpa tahu alamat rumah Reyna yang asli? Tetapi bukankah Reno tidak pernah main-main dari setiap ucapannya? Mungkin saja benar tanpa ada kebohongan. Reno mana mungkin mau bercanda dengan tujuan orang?
"Aku akan kembali lagi besok. Kalau kamu capek mending ga perlu, aku bisa sendiri." Citra menekan dari setiap ucapannya. Sebelum pulang cowok itu memang bertanya lebih dulu pada Citra. Entah pirasat apa atau memang Cipto hanya sekedar ingin bertanya hingga akhirnya dia harus mengantarkan Citra pada alamat yang di tulis di kertas sobekan oleh Reno di tangan Citra.
Mau tidak mau Cipto harus membantu. Lagi pula dia pernah di sapa oleh Reyna juga, tandanya anak itu memang baik. Pantas Citra langsung merasa nyaman, mungkin karena anak itu memang sedikit lucu juga jika di bayangkan oleh Cipto saat bertemu di halte.
"E—eh..., Cipto! Awas di depan!" Citra teriak menepuk pundak teman kerjanya agar berhenti.
"Aduh! Mas, maaf. Saya kayaknya kurang hati-hati." Cipto berucap cepat.
Orang di depannya menatap datar. "Temui di rumah sakit terdekat..., jika kalian mengkhawatirkannya."