webnovel

LEONARDO ALBERT WINSTON

Terdengar suara langkah kaki memecah kesunyian memasuki ruangan yang menghubungkan antara ruang Presiden Direktur dan Sekretaris.

Lukisan-lukisan mahal, terpajang indah di setiap dinding. Dengan berbagai furniture berkelas yang ikut menghiasi ruangan, menambah betapa berkelasnya sang pemilik perusahaan.

Meja sekretaris nampak kosong, tidak terlihat ada orang di sana ketika seseorang datang.

"Ke mana Monika?" tanyanya dalam hati. "Meninggalkan meja diwaktu jam kerja begini. Monika, Monika!" panggilnya tapi tetap tidak ada jawaban. "Mungkin dia sedang ke kamar mandi atau di dalam bersama Presdir."

Setelah menunggu beberapa menit tidak ada juga kemunculan Monika, akhirnya orang tersebut memutuskan untuk masuk ke dalam menemui Presdir.

Tanpa ragu orang tersebut mengetuk pintu tapi tangannya terhenti sesaat setelah mendengar suara-suara aneh dari dalam.

"Suara apa itu?" tanyanya sendiri.

Dengan sangat perlahan, dia membuka pintu yang terbuka sedikit untuk memastikan ada apa di dalam.

Terdengar suara manja ke luar dari bibir Monika.

"Bapak tangannya nakal, aku jadi geli."

"Monika, kenapa setiap hari tambah seksi saja?" ucap Presdir melihat Monika yang ada di atas pangkuannya.

"Benarkah itu?" jawabnya manja. "Aku tampil seksi seperti ini untuk Bapak."

"Kamu memang pintar mengambil hatiku," kata Presdir dengan tangan yang sibuk satu persatu membuka kancing baju bagian atas Monika.

"Ini masih pagi, Pak," protes Monika hendak turun dari pangkuan Presdir.

Tapi tangan Presdir dengan cepat menahan pinggang Monika agar tidak turun dari pangkuannya.

"Mau ke mana? Layani aku," bisiknya menggigit sedikit telinga Monika.

"Ih Bapak, geli," Monika tertawa manja dalam pangkuan Presdir.

"Badanmu bergerak-gerak terus dari tadi nanti kamu membangunkan sesuatu di bawah sana."

Monika yang mendengar ucapan Presdir malah dengan sengaja menggoyangkan tubuhnya.

"Kamu harus tanggung jawab. Kamu nakal," kata Presdir menggendong tubuh Monika pindah ke sofa yang ada di ruangan itu.

Monika yang tubuhnya melayang diangkat Presdir, tertawa manja melingkarkan tangannya ke leher Presdir.

Mereka tidak tahu kalau di luar pintu, ada sepasang mata yang sedang mengintip.

Setelah mengetahui apa yang terjadi di dalam, dengan sangat hati-hati pintu ditutup kembali. Lalu pergi meninggalkan ruangan yang menjadi saksi apa yang selanjutnya terjadi dengan mereka.

Beberapa menit menunggu duduk di kursi sekretaris, akhirnya orang yang ditunggu pun ke luar dari ruangan Presdir.

"Bayu, sejak kapan kamu di sini?" tanya Monika begitu melihat Bayu sedang duduk di kursinya.

Bayu kemudian bangun dari duduknya dan mempersilakan Monika untuk duduk. "Sejak," Bayu menggantung ucapannya kemudian mengedipkan sebelah matanya ke Monika, lalu dengan setengah berbisik Bayu berkata "Tangan Bapak nakal."

Monika yang teringat kata-kata dia tadi langsung melempar buku ke arah Bayu.

Bayu tertawa terbahak-bahak meninggalkan Monika yang wajahnya memerah karena malu, pergi menuju ke ruangan Presdir.

Tok ... tok ... tok ...

Terdengar suara dari dalam menyuruhnya masuk.

"Permisi, Pak."

"Bayu. Masuklah!" Presdir memintanya masuk.

Setelah menutup kembali pintu, Bayu melangkah mendekat ke meja Presdir.

"Ada apa?" tanya Presdir setelah Bayu berdiri di depannya.

"Ada yang harus Bapak tanda tangani," kata Bayu sopan.

"Duduklah! Mana yang harus aku tanda tangani?"

"Ini Pak," Bayu menyerahkan dokumen yang dari tadi dia bawa.

Presdir membaca sebentar dokumen yang diserahkan Bayu kepadanya.

"Itu anggaran untuk proyek kita yang di luar kota Pak, semuanya sudah saya hitung."

"Bagus, proyek ini akan membawa perusahaan kita lebih kuat," jawab Presdir langsung menanda tangani dokumen.

Setelah selesai tanda tangan, dokumen kembali diserahkan ke Bayu.

"Urus semuanya dengan baik," ucap Presdir.

Setelah menerima kembali dokumen yang sudah ditanda tangani, Bayu kemudian pamit ke luar.

"Bayu, duduklah dulu. Temani aku minum kopi, sudah lama kita tidak mengobrol."

Bayu yang sudah berdiri, kembali duduk. "Baik Pak."

"Monika, bawakan 2 kopi ke ruanganku!" perintah Presdir lewat telpon yang ada di atas meja lalu melihat Bayu. "Sudah lama kita tidak pernah mengobrol seperti ini."

"Sudah lama sekali, Presdir," jawab Bayu sopan.

"Jangan panggil aku Presdir! Jika kita sedang berdua saja, kamu ini sahabatku. Panggil Leo saja!"

Bayu tersenyum mendengar apa yang dikatakan Leo. "Rupanya kamu masih ingat, aku ini sahabatmu," ucapnya.

"Tentu saja, kamu lebih mengenalku dari pada diriku sendiri," jawab Leo.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu.

"Masuk!" Teriak Leo.

"Kopinya, Pak." Monika masuk dengan tangan membawa nampan kecil lalu meletakkan kopi di depan mereka berdua. Setelah selesai, Monika pamit pergi meninggalkan Presdir dan Bayu.

Presdir tidak berkedip memperhatikan Monika sampai menghilang ke luar dari pintu.

Diam-diam Bayu memperhatikannya. "Kamu menyukainya?" tanya Bayu.

Leo yang ditanya seperti itu, tentu saja dibuat kaget. "Kenapa tanya begitu?"

Bayu tersenyum kecil, ingatannya langsung teringat kejadian tadi. "Aku ini laki-laki Leo, tentu saja aku tahu arti dari tatapan kamu barusan saat melihat Monika."

"Aku membutuhkan Monika tapi tidak untuk menyukainya," jawab Leo.

"Membutuhkan sebagai apa?" tanya Bayu menatap Leo tajam. "Butuh sebagai sekretaris atau butuh sebagai pemuas nafsumu?!"

Leo yang ditanya seperti itu bukannya marah tetapi malah tertawa terbahak-bahak. "Dua-duanya, sebagai sekretaris dan pemuas nafsuku. Monika sendiri yang menyerahkan tubuhnya kepadaku, sebagai laki-laki normal apa aku bisa menolak?!" jawab Leo.

"Monika, wanita baik-baik Leo. Di luar sana banyak wanita yang dengan suka rela naik ke ranjang kamu. Jangan Monika! Dia wanita baik-baik," kata Bayu menasehati.

Lagi-lagi Leo tertawa. "Kamu tidak mengenalnya, Bayu," kata Leo di sela-sela ketawanya. "Monika itu tidak polos dari apa yang kamu pikir."

Bayu terdiam tidak mengerti maksud dari ucapan Leo. "Apa maksudmu?" tanyanya.

"Aku membayarnya untuk melayaniku, Monika aku bayar," jawab Leo dengan santai.

Bayu menatap Leo tidak percaya, seakan tahu apa yang Bayu pikirkan, ia kembali melanjutkan ucapannya. "Tanyalah langsung pada Monika kalau kamu tidak percaya padaku," suruh Leo tersenyum.

"Benarkah?"

"Lagi pula dia sudah tidur dengan banyak lelaki. Aku tahu itu," ucap Leo.

Bayu kembali terdiam, sedikitpun dia tidak pernah menyangka kalau Monika bisa berbuat hal seperti itu.

"Bagaimana dengan dirimu sendiri? Siapa kekasihmu sekarang?" tanya Leo mengalihkan pembicaraan.

"Aku tidak punya kekasih," jawab Bayu datar.

Leo menyeruput kopinya, begitu pun dengan Bayu.

"Laki-laki tampan sepertimu tidak punya kekasih?!" Leo tertawa meledek.

"Bagaimana dengan dirimu sendiri? Memangnya kamu punya kekasih?" Bayu membalikkan pertanyaan.

"Kalau aku mau, pasti aku sudah punya kekasih. Perempuan mana yang tidak mau jadi pacarnya Leonardo Albert Winston?!" ucap Leo membanggakan dirinya sendiri.

"Sombong! Kenapa tidak mau?" tanya Bayu lagi.

Leo terdiam mendengar pertanyaan sahabatnya. Pikirannya melayang teringat ke masa lalunya yang sangat pahit. "Kamu tahu masa laluku, Bayu. Kenapa bertanya seperti itu?!"

"Sampai kapan kamu akan hidup dalam bayang-bayang masa lalu, Leo. Lupakan semua! Kamu harus mencari cinta yang lain!" ucap Bayu menasehati.

"Cinta? Bullshit!!" jawab Leo sinis.

"Aku tahu kamu kecewa tapi ini sudah 4 tahun. Cari wanita baik-baik untuk kamu nikahi, sampai kapan kamu akan tidur dengan banyak wanita di luar sana?!" tanya Bayu.

Leo terdiam, jauh di dalam hatinya, dia juga ingin hidup normal seperti yang lain. Mencintai dan dicintai, luka hati yang teramat sakit di dalam hatinya sangat sulit untuk dilupakan.

Pengkhianatan kekasihnya 4 tahun yang lalu masih tergambar jelas di dalam ingatannya.

Nächstes Kapitel