webnovel

kematian Satu Orang

Dunia Aris jungkir balik.

Melihat Akiko terbujur tanpa ucap membuat air matanya tak henti mengalir seperti hujan pancaroba. Kecerdasan yang dia banggakan sirna tergilas bayang kehilangan sosok pembawa tawa.

Belum ada satu bulan nama Akiko tertulis di ingatannya tapi setiap huruf memberi nuansa mendalam melebihi sensasi hangat keluarga.

Dia menemukan apa yang selama ini hanya terbayang. 'Sister in arm', terikat bukan karena darah, tapi api dan darah.

"Tutup mulutmu bocah." Anna terseok menenteng bambu panjang. Ransel hitam di panggul dengan susah payah menghampiri Aris dan Akiko. 

Aris mengusap sisa air hangat di pipi, menonton Anna melempar tas ke sebelah Akiko. "Kau! Kau … kembali?" 

Jari telunjuk Anna mencoba hangat yang berhembus dari lubang hidung Akiko nyaris lenyap. "Pisau mana pisau dan siapkan api."

Aris membatu. Seperti komputer kelebihan data, otaknya ngehang. Belum terlintas jawaban kenapa Anna kembali? Ke mana dia pergi?

"Bocah, telingamu sehat? Cepat mana pisaunya!"

Aris menggeleng. "Pisau pisau pisau, hilang."

"Ya Tuhan, bocah. Dala ransel pasti ada pisau. Keluarkan semua isinya."

Lambang palang merah terjahit di bagian atas ransel hitam, tepat di bawah bordiran bendera Amerika. Tas basah lengket. Ketika Aris mencium telapak tangan, aroma darah kental menyala hidungnya. Dia tak bertanya, atau menaruh rasa curiga, membongkar isi ransel.

Gunting operasi, morfin cair, gulungan besar perban, dan banyak perlengkapan medis berserakan di tanah berkarpet dedaunan kering. Tanpa bertanya Aris paham jika Anna tadi pergi membasmi tiga titik merah di utara. Mungkin itu alasan kenapa tiga drone pembunuh berhenti mengincar nyawa. 

"Bocah, kau mau diam sampai gadis ini pergi ke surga?"

Aris memberi gunting untuk Anna. Bukan hanya mengambil gunting, Anna menarik tangan Aris untuk menyuruhnya menjadi menjadi blokade di kaki bagian atas luka Akiko supaya darah berhenti mengalir.

Anna menyiram morfin ke luka. "Tekan ya." Dia menggunting kulit Akiko, hingga luka bertambah besar. Gunting bergetar ketika menyelam menembus kulit merah darah. Satu timah panas terangkat pergi. Dia kembali mengobok luka kedua. Tak lama peluru keluar dari sana.

"Bagaimana, apa Akiko selamat?"

"Apa dia sudah bisa memanggilmu boncel lagi?" Anna menahan tawa ketika mendapati genangan air di mata Aris. Dia menjahit luka-luka di kaki Akiko. "O boy, kamu memiliki hati lemah ya, sekali bocah tetap saja bocah. Ke sini, cepat."

Aris merangkak menghampiri Anna, mengikuti laju telunjuk gadis itu ke depan hidung Akiko.

"Ayo, jarimu sini. Rasakan sendiri, ada rasa hangat?" Tiba-tiba gadis Rusia menjadi sosok kakak yang hangat.

Hangat dan teratur napas Akiko, rasa di jari memancing senyum Aris merekah. Sekarang dia bernapas lega mengetahui rival candanya akan selamat. Semoga. 

"Bocah, sini." Sambil bersandar pohon Anna mengelus tanah gambut di sebelahnya.

"Terima kasih An, kamu benar-benar ahli. Apa kamu tenaga medis?" selidik Aris, bersandar di pohon yang sama dengan gadis di sebelah.

"Aku kira kau dan laptopmu maha tahu. Bagaimana dengan misi kita?" Anna sepertinya enggan membahas masa lalunya. Itu privasi dan Aris tahu kapan harus mundur memberi ruang gerak baginya. 

"Anton tewas, Akiko pingsan. Kamu bisa memakai sniper?" tanya Aris, mengganti objek obrolan. 

"Bagaimana denganmu?"

Mereka bertukar pandang cukup lama lalu menghela napas panjang nan berat nyaris berbarengan. 

Gelang melingkar di pergelangan kaki Anna. Seingat Aris milik gadis itu telah meledak dalam malam pertemuan mereka. Terlebih terdapat bercak darah kering di sekitar gelang perak. Dia tak ingin bertanya bagaimana setan Russia mengambil gelang kaki dari pemilik asli.

"Jadi kamu kembali ke perlombaan?" tanya Aris.

Anna mengangguk sekali. Ketusnya kembali. "Kenapa, kau tidak suka?"

"Suka … maksudku ya kenapa tidak, lebih banyak lebih enak."

"Lebih banyak lebih mudah pecah," sela Anna. "Semakin banyak orang semakin banyak akal yang bekerja, pada akhirnya akan semakin banyak percabangan pola berpikir dan perpecahan menyusul."

Aris mengangguk setuju dengan pendapat Anna. Manusia makhluk aneh yang susah sepakat akan sesuatu, terutama jika sesuatu itu tentang uang.

Gadis itu berbicara, "Bocah, apa kau bisa memakai senjata?"

Seingat Aris tadi dia memakai sniper 'memukul' drone. "Sedikit."

Sorot mata Anna penuh rasa tak percaya. "Aku tidak pernah melihatmu memegang senjata."

Sayang sekali tadi Anna tidak melihat aksi heroik super kerennya memukul drone.

"Siapa yang mengutusmu masuk ke neraka seperti ini, apa tujuanmu?" selidik Anna. 

"Bagaimana denganmu?" sahut Aris.

"Aku yang bertanya sekarang. Jawablah, hanya ada kita di sini."

Aris membuka laptop dipangkuan, mencoba memakai waktu untuk hal yang lebih produktif, seperti mengawasi sekitar.

Sebenarnya obrolan ini membuat Aris tidak nyaman, tapi enggan pergi. Lebih tepatnya tak bisa lari. Bisa apa dia di alam liar tanpa orang baik dan jago seperti Sutris dan Akiko?

Desah kesal Anna terdengar jelas. "Baiklah, karena kamu ingin mengetahui tentang diriku dan aku ingin mengenalmu lebih dekat bagaimana kalau kita bermain. Tanya jawab. Setuju? Aku bertanya duluan nanti gantian. Kenapa kau ikut lomba?"

Aris memberi kode ayunan tangan ke utara, pertanda ada tiga titik merah di layar laptop mendekat dari sana. 

Anna bersiap dengan belati kesayangan, menjaga diri dari segala hal yang mungkin terjadi. 

"Aris, Akiko!" Suara Sutris menutup ketegangan. 

Aris dan Anna menghela nafas tertawa kecil, bangkit menghampiri mereka. 

Aris tergopoh dibantu Sergei, sementara seorang gadis berseragam serba hitam menenteng senjata serbu berjalan mundur mengawasi arah kedatangan mereka. Keadaan gadis itu tak kalah kusut dan kotor dengan dua temannya, hingga wajah nyaris seperti tarzan yang jarang mandi.

"Sutris, tanganmu kenapa?" tanya Aris, tak tahan untuk tidak menyentuh.

"Menjauhlah, tanganku patah," keluh Sutris.

Anna menarik Aris menjauh. "Dudukkan ke sana, biar kuperiksa."

Sergei terkekeh mendudukkan Sutris ke bawah pohon besar. "Medis racun berbahaya dari Smitsna, tumben mau turun tangan?"

"Mereka memberiku susu, mana mungkin kuberi racun?" Anna menekan bagian sambung antara lengan dan tubuh Sutris, mengangkat tangan itu.

Suara teriakan Sutris menggelegar hingga beberapa burung terbang panik.

"Urat-uratmu cedera. Lem penyambung tulang lepas." Anna membiarkan lengan itu tertarik gravitasi. 

Dengan terengah Sutris bertanya, "Apa kau bisa menolongku?" Tergambar kecemasan dalam gimmick penuh harapnya ketika menyorot iba netra Anna.

Anna berdiam cukup lama sambil menarik perban panjang, seakan enggan merespon. Dia melipat lengan Sutris membentuk huruf L ke depan dada, menahan lengan pakai perban. 

Sutris butuh jawaban. "Anna, kau bisa menolong atau tidak?" 

"Sekarang tidak mungkin. Mataku tidak bisa menembus daging berototmu. Butuh ronsen."

"Ya tuhan Anton!" Senjata gadis Rusia jatuh ke tanah, dua lututnya menyusul. Dia menangis membekap mulut. 

Badan Anton tergeletak bak seonggok daging kurban dikeroyok lalat. Satu lengannya hilang. Pipinya bolong hingga nampak gigi di sana, hilang tampan yang dia banggakan.

Gadis itu merangkak hendak merangkul sisa Anton, tapi Sergei mencegah.

"Maya, cukup." Sergei merangkulnya dari samping. "Dia tewas sebagai pahlawan. Cukup. Jangan menangis."

"Aku tidak kuat, aku ingin pulang. Aku ingin pulang bersama Anton!"

"Maya jangan bodoh, Maya!"

Maya menyibak badan Sergei, menembak Flare ke udara, lalu merangkul Anton. Lirih suaranya. "Anton, ayo kita pulang. Ibu menunggu di rumah, Anton."

Pemandangan menyesakkan hati menyita perhatian Aris dan teman-teman. Lomba bukan hanya menyiksa fisik, tapi batin. Hanya suara tangis yang terdengar hingga Flare jatuh ke bumi.

"Akiko kenapa?" tanya Sutris, hendak menjenguk gadis Jepang, tapi Anna mendorong dadanya untuk kembali duduk.

"Setelah selesai diperban baru boleh pergi."

Suara klakson dari arah desa membuat mereka menoleh. Angka 78 berubah jadi 79, lalu dengan cepat berubah jadi 90. Suara tembakan, teriak kematian, dan ledakan kembali mewarnai situasi.

"Sialan, mereka berbondong-bondong masuk desa," keluh Sergei.

"Masih ada empat ratus sepuluh tiket lagi sebelum desa penuh" ujar Aris. "Jika genap lima ratus, sisa player akan dieliminasi."

"Apa? Bukannya--"

"Aku kira juga seribu," sahut Aris. "Tapi lihat di bagian atas layar."

'Lima ratus orang beruntung'

****

Nächstes Kapitel