webnovel

Sisa Ingatan

'Setelah perjalanan ini aku akan banyak belajar dari Kak Yoke! Intuisiku terasa begitu tajam ketika berada disekitarnya.

Ingatanku ketika di Awaland juga menunjukkan bahwa dia adalah Calon Dewa dengan karakter paling tenang dan bijaksana.'

Sambil menanggapi candaan teman-temannya di Bus dalam perjalanan wisata itu Juan tak berhenti berpikir kedepan. Mengatur strategi untuk menggunakan kemampuannya dengan bijak.

.

..

...

"Jadi Masriz, setelah pertarunganku dengan Ashura, menurutmu ada kemungkinan para Dewa dari seluruh dunia akan terpicu?"

Zahal duduk didalam ruang dimana Masriz duduk dihadapannya.

"Ya, itu sudah jelas. Manipulasimu berhasil menipu Ashura dan Dewa apapun yang berusaha ikut campur.

Setelah itu mereka akan tertipu dan mengejar Juan."

Zahal mengangguk setelah mendengar penjelasan singkat Masriz.

"Menurutmu, jika mereka mengincarku, apa aku akan menang?"

Ia mengajukan pertanyaan kepada Masriz dengan raut tenang.

"Sudah kujelaskan berapa kali, Zahal. Lawan kita bukan para Calon Dewa, Juan, atau bahkan Dewa sekalipun."

"Kau dan aku adalah type Manusia yang sama, kita berdua adalah Manusia yang Sadar Kelebihan apa yang kita miliki, dan dengan itu kita Maksimalkan kelebihan itu."

"Sementara Juan adalah type Manusia yang Tidak sadar dengan Kelebihannya dan belum mampu Memaksimalkannya."

"Lalu Yoke, adalah type Manusia yang Sadar ia bisa menguasai banyak Kelebihan, siap Memaksimalkan kelebihan apapun, namun memilih untuk terlihat Tidak sadar dengan hal itu."

Masriz meneruskan penjelasannya, Zahal mendengarkannya dengan serius.

"Jadi menurutmu aku harus berhati-hati dengannya?"

Zahal membalas ucapan Masriz dengan pertanyaannya.

"Tidak, kau harus berhati-hati dengan dirimu sendiri, jangan ikut campur dengan urusan apapun yang terlibat dengannya, walaupun jika Juan atau bahkan Tamasha terlibat dengannya."

Masriz menuangkan kopi dalam sebuah teko kedalam gelas miliknya.

Zahal mengangguk mendengar ucapan Masriz.

Keduanya beranjak dari tempat duduk mereka dan segera keluar dari ruangan itu.

"Nah, biar dia rasakan bagaimana rasanya disidang oleh pak Masriz!"

Seorang Guru berbisik kepada Guru disebelahnya.

"Ya, akhirnya Guru BK turun tangan juga mengatasi Pemalas angkuh seperti Zahal itu!."

Terjadi percakapan setelah Zahal dan Masriz keluar dari Ruang Guru.

Mereka berdua berada di lorong setelah keluar dari Ruang Guru.

"Ah, iya Zahal. Kamu harus merubah perilakumu. Jangan menyerah dengan keseharianmu."

Masriz merangkul pundak Zahal.

"Setelah aku kembali dari Awaland, kupikir cara pandangku terhadap dunia ini berubah. Aku juga mengira sikapku terhadap kehidupan ini akan membaik..."

Zahal menanggapi Masriz. Matanya terpejam tapi tak terlihat ekspresi lelah atau sedih dari wajahnya.

"Tapi seperti yang kujelaskan sebelumnya, Dunia ini Permainan yang sulit, walaupun sampai pada tahap ini dengan kemampuan Manipulation milikku, tapi aku tetap nggak bisa merubah 'Keserakahan' Manusia."

Zahal melihat keatas sambil tetap berjalan bersama Masriz.

"Lebih tepatnya, nggak mau merubah ya, Zahal?"

Masriz merendahkan suaranya.

"Kita berada dijalan yang sama, Masriz.

Aku bisa saja menjadi Dewa dan dengan mudah mengalahkan Juan.

Sama sepertimu, kau bisa dengan mudah menjadi Kepala Sekolah, tapi kau lebih memilih menjadi Guru BK."

Mereka terus bercakap-cakap melewati tangga dan menuruni bangunan itu.

"Memimpin siswa dan guru dengan posisi yang dikenal dan diketahui semua orang memang bukan gayaku, Zahal.

Tapi kau masih bisa melakukannya dibelakang manusia tanpa sepengetahuan mereka ketika kau menjadi 'Dewa'. Ya, 'tujuan' kita selama ini."

Mereka semakin dekat dengan pintu keluar gedung, Zahal terlihat sedikit tenang dengan kata-kata Masriz.

"Tujuan kita untuk membongkar 'System Dewa' yang ada di dunia ini. System yang dibentuk oleh Manusia dengan bujukan dan manipulasi dari Iblis.

Sejarah, Legenda, dan Mitologi turun-temurun yang sengaja dibentuk untuk mengecohkan manusia dengan sosok ciptaan mereka sendiri, begitu 'kan, Masriz?"

Cahaya Mentari menerpa kulit mereka. sosok Senior dan Junior itu tampak seperti Bayangan yang menantang Cahaya.

Cahaya palsu yang menipu Kehidupan.

.

..

...

"Dua orang Bocah manusia itu melakukan hal berani yang sia-sia, Lucifer."

Seorang Gadis berkulit gelap dengan paras bersih dan menawan berdiri diatas sebuah puncak gedung tinggi di Surabaya.

"Tak masalah Lilith. Apapun yang manusia lakukan, mereka tak akan bisa mengusik 'Kenyataan' yang sudah terbentuk dengan begitu kokoh."

Seorang pemuda berambut ikal, rapi, berkulit putih, bersih, terlihat dari belakang, menanggapi ucapan gadis bernama Lilith itu.

.

..

...

Pengalaman-pengalaman bersama teman satu kelas, bahkan pelajar, pengajar, dan karyawan sekolah Juan terus bertambah.

Bermain pasir, ombak, boat, di bawah terik pantai, segarnya danau, muara sungai, dan dinginnya malam diatas pegunungan.

Malam terakhir di pulau itu membuat Juan tak henti memandang langit berbintang.

"Dua hari dan dua malam ini, saat dimana aku nggak terlibat sedikitpun dengan Calon Dewa atau Dewa, benar-benar saat damai yang menenangkan hati.

Terutama setelah pertemuanku dengan kak Yoke."

Ya, Juan bicara dengan seseorang, tentunya seseorang yang punya kapasitas serupa yang bisa berada disana bersamanya kapanpun.

"Dan, aku cukup sebal dengan caramu muncul tiba-tiba dimanapun aku berada, bajingan!"

Mendengar kata 'Bajingan' tentunya yang dimaksud olehnya adalah Zahal yang juga merebahkan tubuh disebelahnya melihat langit yang sama.

"Kau bertemu dengan sosok yang cocok denganmu.

Menurutku banyak belajar darinya akan membuatmu lebih manusiawi, bukan lebih 'Surgawi'."

Juan sedikit paham dari kata-kata cowok yang lebih tua beberapa tahun darinya itu.

"Maksudmu, kemungkinan kak Yoke akan membantuku untuk menjalani hidup sebagai manusia biasa yang nggak terlibat dengan hal-hal seperti 'Calon Dewa', atau bahkan 'Dewa'?"

Juan memastikan lagi rasa penasaran yang mengganjal, walaupun ia tahu pertanyaannya sia-sia.

"Ya, sama seperti Yoke, akupun tak tertarik dengan tujuan apapun menggunakan 'Kemampuan' yang berasal dari Awaland ini."

Zahal mencoba duduk.

"Setelah mengingatmu, Tamasha, juga kak Yoke, kurasa kita nggak bisa membiarkan ini mengambang begitu saja."

Juan mengikuti gerakan Zahal dan duduk mengalihkan pandangannya dari langit malam menuju Zahal. Kini pandangannya terasa sangat serius.

"Kau ingin mengakhiri, memperjelas, atau menyebarluaskannya. Lakukan sesukamu.

Tapi mungkin sama sepertimu, ketika siapapun berhadapan denganku, aku akan meladeni mereka, siapapun itu."

Zahal melirik Juan dengan tatapan dingin.

Juan menatap lirikan itu dengan tajam, "Apakah itu kata-kata yang pantas untuk seseorang yang 'Mempermainkan' Ashura?"

Beberapa saat keadaan sunyi.

Lalu bersamaan mereka tertawa terkekeh.

"Aku punya firasat bahwa kau mengetahui banyak hal dibanding denganku, Zahal.

Dan kurasa kau tak berniat membeberkan kenyataan yang kau ketahui kepadaku sampai aku bisa menelusurinya sendiri 'kan, Bajingan?"

Juan kembali menatap Zahal dengan serius.

"Sampai tahap ini kau sudah banyak berkembang, Juan.

Tapi ingat, mungkin kau belum berhadapan dengan lawan yang pergerakannya lebih cepat darimu."

Zahal berdiri, membuat gerakan kepala dan mata Juan mengikutinya.

"K...ka... kau benar, ma... maksudmu, walaupun aku berkembang, tapi menurutmu perkembanganku masih terlalu lambat 'kan?"

Entah kenapa Juan menjadi gugup.

"Jangan gugup hanya gara-gara aku memanggil namamu kali ini, Dewa Rendahan!"

Mereka berdua kembali tertawa.

Ya setelahnya Zahal menghilang dan meninggalkan Juan dengan pertanyaan dan misteri yang lebih luas.

"Sial, lagi-lagi semakin banyak petunjuk yang kudapat, semakin luas pula pertanyaan yang harus kuarungi."

"Ini seperti aku menatap bintang di angkasa ini.

Semakin serius aku menghitung mereka, maka aku akan kehilangan akal dan merasa bahwa melakukannya adalah hal mustahil yang sia-sia."

.

..

...

Hari ini akhirnya kami tiba di sekolah.

Entah kenapa setelah perjalanan itu hatiku semakin peka.

Bahagia, Senang, Sedih, Syukur, dan kebijaksanaan yang kudapat membuatku menoleh kesaat pertama bangun dari ''Eternal Sleep" atau Tidur abadi yang kualami, seolah aku melihat seorang anak kecil yang lapar.

Lapar akan pengetahuan, wawasan, dan pengalaman.

Walaupun aku yakin bahwa rasa Lapar itu akan terus bersamaku, dan aku akan terus selalu berkembang.

Hanya saja tak terbayangkan, setelah sekian kejadian yang kuhadapi hingga membawaku pada fase seperti ini, apa yang yang sudah dihadapi Bajingan itu hingga bisa setenang itu.

Kami berpencar untuk kembali ke rumah masing-masing setelah Bus tiba di sekolah.

Aku tak tertarik untuk kembali kerumah, toh rumahku disita dan aku harus kembali ke Apartment milik Tamasha, jadi sekarang aku akan kembali ke rumah sakit tempat Leon, dan Tamasha dirawat.

.

..

...

"Hey, Tamasha! Kau sudah sadar rupanya!"

Juan tiba di Rumah Sakit. Ia melihat Tamasha duduk di sofa yang sama setiap kali ia menunggu mereka.

"Ya, Ingatan tentang Brunott benar-benar berat dan memakan energi."

Gadis itu menjawab Juan sambil memainkan jarinya di gawai yang dipegangnya.

Juan mendekatinya dan duduk di sebelahnya.

"Kembalinya ingatan kita di Awaland juga mengembalikan Kemampuan kita. Setelah mendapat ingatan sebesar itu apa kau merasakan banyak perubahan, Tamasha?"

Mendengar ucapan Juan, Tamasha meletakkan Handphonenya dan menoleh kearah Juan, pandangan matanya mendadak lebih serius.

"Pria bernama Brunott, di Awaland awalnya adalah partner yang selalu menemaniku, sampai pada akhirnya dia menjadi salah satu musuh yang sangat berbahaya."

Tamasha menjelaskan apa yang diingatnya, sementara Juan mendengarkan dengan seksama.

"Yah, diantara beberapa keping ingatan yang kuperoleh sejak pertemuan kita di Perpusnik, ingatan mengenai Brunott adalah yang paling panjang dan mendalam."

Tamasha merunduk, menyadari bahwa ingatannya mengenai Brunott membuatnya tak sadar begitu lama dan yakin melewatkannya dari banyak kejadian.

'Apakah Brunott dalam ingatannya lebih berbahaya dari Zahal dalam ingatanku? Jika benar begitu, maka seharusnya tak masalah jika aku mengingatkannya tentang Zahal.'

Juan bergumam sambil menunggu kata-kata dari Tamasha.

"Apa tak ada ingatan bahwa ada musuh lain yang lebih berbahaya dari Brunott, Tamasha?"

Ia mencoba lebih berhati-hati dan memancing Tamasha agar mengingat dengan sendirinya.

"Menurut firasatku, sepertinya ada lawan yang lebih tangguh, namun ia tak seberbahaya Brunott.

Sosok seperti Brunott yang mengincar kekuasaan dan kekuatan, sebaliknya lawan yang kau maksud tidak mengincar itu semua."

Tamasha menjawab pertanyaan Juan sesuai apa yang bisa diingatnya.

'Sepertinya yang dimaksudnya antara Zahal, atau Kak Yoke.

Dalam ingatanku, Calon Dewa dengan ciri-ciri seperti ucapan Tamasha barusan ya cuma mereka berdua.

Atau mungkin karena tidak semua ingatan muncul, jadi mungkin saja ada sosok lain yang memiliki karakter yang sama dengan penjelasan Tamasha.'

"Berarti, Sisa Ingatan yang kita miliki akan menentukan langkah kita selanjutnya."

Itu adalah kesimpulan paling tepat.

Dengan mengumpulkan semua ingatan, aku bisa menentukan sikap apa yang akan kuambil untuk menyelesaikan ini semua.

Tentu setelah obrolan dengan Zahal kemarin, aku juga sadar bahwa kami semua saling berburu Ingatan, juga Kemampuan.

Lalu aku juga sadar bahwa semua Calon Dewa memiliki Informasi tentangku, mereka semua memburuku dengan berbagai cara dan berbagai motif juga tujuan.

Tapi motif yang sama bagi kami semua adalah mengumpulkan sisa ingatan untuk menyempurnakan kemampuan.

Aku yakin semua Calon Dewa di Awaland mendambakan kemampuan yang sempurna dari apa yang sudah mereka miliki saat ini sejak terbangun dari Tidur Abadi selama 3 tahun itu.

Aku harus mendiskusikannya dengan Tamasha.

Melihat sikap dan pola pikirnya, gadis ini cukup cerdas dan bijaksana dalam mengambil keputusan.

.

..

...

"Jadi begitu, Soraya. Calon Dewa yang sempat berada dalam satu tim denganku."

Seorang koki yang sebelumnya dicari oleh Soraya kini berbincang dengannya, bersama dengan Surya.

"Berada di tempat seperti ini dan menjalani kehidupan membosankan seperti ini, aku akan membangun Resto di Indonesia sebagai wadah untuk mengasah kemampuanmu, Naraka."

Tawaran Soraya mengejutkan Naraka. Ingatannya mengatakan bahwa Soraya adalah partner yang dapat dipercaya dan mahir menggunakan strategi.

"Aku akan mempertimbangkan tawaranmu, Soraya.

Beri waktu aku satu hari untuk berpikir, kau bisa menghubungiku di nomor ini."

Naraka memberi Soraya kartu nama miliknya.

Soraya tersenyum ringan.

"Bagus, kuharap kerjasama kita akan membuahkan hasil yang baik, Naraka."

Surya dan Soraya saling memandang dan tersenyum.

Mereka meninggalkan Naraka yang memandang mereka hingga keluar dari tempat itu.

"Kuharap kau nggak salah merekrut, dan nggak salah bersikap lagi, Soraya."

Surya yang berjalan sedikit dibelakang Soraya membisikkan kata-kata yang hanya bisa didengar gadis rapi dengan jalan tegap penuh percaya diri itu.

"Kemarin itu nyaris saja kita bisa membereskan Juan, kali ini kita harus lebih banyak belajar dari pengalaman itu.

Sekarang kita harus mengandalkan Dewa-dewa lain dan memperkuat persatuan dengan Calon Dewa yang belum kita temui."

Mereka berdua memasuki kendaraan yang sudah siap menjemput.

.

..

...

"Orang tua Juan sudah jatuh miskin, langkah-demi-langkah telah berhasil kulewati."

Seorang pria berdiri melihat sepasang orang tua paruh baya yang berseteru dengan beberapa orang bertubuh besar, berpakaian rapi. Disekitar kedua orang paruh baya tersebut terlihat beberapa buah koper dan tas.

"Tidak sama seperti sebelumnya, kali ini aku sudah beberapa langkah lebih maju dari pada kalian semua, para Calon Dewa..."

Pria tersebut berbalik dan masuk kedalam sebuah mobil hitam.

"Sekarang kita kemana, tuan Brunott?"

Nächstes Kapitel