webnovel

Menangis

Pertunangan Rena pun dilangsungkan dengan sangat meriah dan sangat indah, beragam acara tersaji. Acara pertunangan sendiri dibuat semi‐formal, dengan perpaduan gaya jawa dan modern. Dilanjutkan malamnya dengan acara puncak dengan sebuah pesta kebun yang meriah. Di jaman tahun segitu, pesta tersebut udah termasuk golongan yang sangat meriah menurut gue dan yang pasti membutuhkan banyak uang. Rena juga terlihat bahagia disana, begitu juga dengan Allan dan semoga begitu adanya. Sementara di satu

sisi Mulan terlihat begitu sibuk menyapa beberapa tamu dan juga teman teman Rena yang juga

diundang dari Semarang.

Gw sendiri hanya sebagai penikmat pesta ini, pesta seseorang yang sudah menjadi bagian hidup gw selama beberapa tahun belakangan ini. Dan setelah melihat kemegahan pertunangan ini, gw pun semakin yakin akan keseriusan Allan terhadap Rena. Terlebih Allan juga sudah mempunyai cukup modal untuk mencintai seorang Rena, modal materi, modal kedewasaan, dan modal cinta yang tulus untuk dapat membawa Rena ke tingkat hubungan lebih tinggi. Dibandingkan dengan gw yang menyatakan aja engga berani.

Sekembalinya gw di istana gw di Semarang, suasana sepertinya begitu berbeda. Rena sendiri tidak langsung pulang ke Semarang, dan selama Rena masih di Jakarta suasana di kost gw kali ini begitu lain, begitu sepi tanpa kehadirannya. Satu satunya pembunuh sepi gw hanyalah Mulan, yang bisa memberi nuansa baru dalam kamar kost gw selama Rena tidak ada.

"thuk thuk thuk...." terdengar suara langkah dari arah tangga

"Rena..." batin gw, hapal banget gw sama ciri khas suara langkah Rena menaiki tangga

"......" gw buka pintu kamar dan gw keluar

"Nah bener kan, udah gw duga pasti udah lo sambut hehe...." kata Rena sesampai balkon

"ge er aja lo, siapa tau maling !" sahut gw

"Yee... ! mana ada maling !, lagian mo maling apaan di atas sini" Kata Rena sambil meletakkan tas punggungnya di kursi

"satu satunya berharga di atas sini ya paling cuma komputer lo doang Han" lanjutnya

"yeeeeee....komputer jadul gitu dibilang berharga" timpal gw

"berharga banget kali, kalo ga ada komputer lo bisa mati garing gw diatas sini...hehe" Rena terkekeh

"emang dasar muka komputer kok elo..hehe" gw pun bersandar di dinding balkon sambil menyulut rokok "cape Ren ?" tanya gw singkat

"hu uh" Rena pun menjawab singkat

"remuk redam nih badan gw Han...." Rena menambahi

"iya lah, wong ya acaranya padet kaya gitu !" sahut gw

"sini Han, pijitin gw dong hehe..." Rena menepuk kedua bahunya

"......." gw pun mendekati Rena dan memikit kedua pundaknya, mencoba mengurangi rasa lelahnya

"makasih Han..." Rena memandang jauh ke depan

"kapan kita kesana Han? dulu gw udah pernah bilang sama lo kalo mau kesana kan?" sambil menunjuk bukit di seberang lembah

"udah bisa nanti ya itu...." jawab gw singkat

"kapan kapan kita kesana ya Han, penasaran gw ada apaan disana.." pinta Rena

"iya iya..." sambil pijatan gw, gw arahkan ke kepala Rena, gw pijit dia perlahan di atas kedua telinganya.

"....kapan kapan ya Han....!" sahutnya sambil memejamkan mata

"iya..." jawab gw lagi

"gimana kabar Mulan?" tanya nya

"baik kok Ren, kemarin aja setelah dari Jakarta emang sedikit flu. Tapi sekarang udah sembuh" jelasku

"kacian si Mulan...jadi ikut kecapekan gitu kaya nya ya" Rena menimpali

"hehe..." gw tertawa singkat

"Allan udah di Bandung Ren?" tanyaku

"masih di Jakarta dia Han.masih ada urusan dia" jawabnya

"Emang calon jadi orang sukses si Allan itu Ren " gw mencoba menambahkan

"amin deh Han, doain aja" kata Rena

"udah ada rencana kapan nikah Ren?" tanya gw lagi

"udah sih, tapi mungkin masih agak lama Han. Allan juga sepertinya masih mau nerusin S2 di luar negri" jawabnya

"ohhhhh..." hanya jawaban itu yang keluar dari mulut gw

"lo sendiri kapan nih Han?, jangan kelamaan sama Mulan loh, langsung aja di DP....haha" Rena tertawa sendiri

"nyari modal dulu Ren, ga buru buru kok" jawabku

"modal buat apa? nikah? khan udah ada Han...." timpalnya

"kalian berdua kan udah sama sama suka, nah itu aja modalnya" lanjutnya lagi

"ye...lo ngomong sih enak gampang. Kenyataan nya buat ngejalanin nya itu yang susah Ren" gw protes dengan pernyataan Rena

"lo sendiri aja bimbang gitu mau tunangan, kok malah nyuruh gw cepet cepet" ejek gw ke Rena

"yeeee itu beda Han keadaannya..." Rena menyanggah perkataan gw

"beda apanya coba ? udah sama sama suka juga kan ?" gw mulai mencecar Rena

"iya sama sama suka, tapi beda Han..." jawab Rena

"beda dimananya coba ?" desak gw

"hmmm....ah tau ah ! pokoknya beda aja kasus nya !" Rena menghindar untuk menjawabnya.

Tampaknya Rena masih terlalu tertutup dalam masalah ini, masih ada yang disembunyikan dalam hatinya. Ada apakah gerangan ? gw sendiri tidak bisa menebaknya....

"Ren balik sini, liat gw" seru gw ke Rena

"...kenapa Han?" Rena menatap mata gw

"Ren, gini ya...gw kenal lo udah cukup lama. Dan gw sedikit banyak tau tentang lo, gw cuma minta sama lo satu hal aja Ren. Serius ke hubungan lo yang sekarang ya !" seru gw ke Rena saat itu.

Untuk pertama kalinya gw berani jujur ke Rena, dan untuk pertama kalinya pula gw berani memerintah nya! Gw sekarang beda! Jadi beda karena tekanan yang amat besar terhadap perasaan gw sendiri.

"iya Han..." Rena menjawab singkat

"makasih ya Han...." Rena mulai menangis

"udah jangan nangis ah, sini...." gw peluk Rena

"...." Dipelukan gw dia menangis

"udah, jangan nangis Ren...." gw usap punggung Rena perlahan

"......gw ke kamar gw dulu ya Han" dengan masih menangis Rena melepaskan pelukannya dari gue, mengambil tas dan buru buru masuk ke kamarnya

"klik....."dan pintu kamarnya pun ditutup.

Inilah pertama kali gw memeluk Rena, dan ini adalah sebuah moment yang sangat gw impikan semenjak dulu. Tapi ini juga bukan situasi yang gw inginkan, gw pengen Rena memeluk gw dengan tangisan gembira, bukan dengan kesedihannya. Matahari pun pulai menghilang ditelan malam yang mulai datang, dua pintu kamar ini masih disini dan selalu ada disini untuk menjadi saksi segala alur cerita yang udah digariskan dari yang diatas.

"Ada satu lagi barang berharga diatas sini Ren.............Elo !!!! Priceless...!!!"

Nächstes Kapitel