webnovel

Patah

Sebelum pulang aku ingin mampir dahulu ke toko tanaman hias.Tadi mama mengirim pesan minta dibelikan tanaman hias untuk diletakkan di sudut-sudut rumah. Mama juga meminta Pak Hasan untuk menjemputku supaya aku tidak kerepotan membawa bunganya. Dari luar toko aku disuguhi dengan tanaman yang cantik dan beragam. Warna-warnanya menarik perhatianku. Mama bilang kalau aku bebas memilih apa pun, yang penting bermacam warna sehingga tidak terkesan monoton.

"Pak ini namanya tanaman apa?" tanyaku pada penjualnya.

"Ini suplir, Mbak," jawab Bapak selaku penjualnya.

"Kira-kira perawatannya sulit tidak ya?" tanyaku lebih detail.

"Kalau suplir susah, Mbak. Soalnya butuh udara yang bersih dan lingkungan yang kering. Kalau mau yang mudah ada kuping gajah salah satunya," jawab Bapak itu.

Bapak itu kemudian menunjukkan padaku tanaman kuping gajah yang dimaksud olehnya. Daunnya terlihat begitu segar dan lebar. Mungkin aku akan membeli yang ini. Kemudian aku meminta pada bapak itu untuk menyisihkan tanaman kuping gajah untukku karena aku masih ingin memilih yang lainnya. Perhatianku tertuju pada sebuah tanaman dengan daun yang menjuntai ke bawah. Sebelumnya aku belum pernah melihat tanamn seperti ini.

"Pak kalau yang ini namanya apa?" tanyaku.

"Yang ini spider plant, Mbak. Ukurannya tidak besar jadi cocok untuk menghias ruangan," jawab Bapak itu.

Kuambil tanamannya dan meletakkannya di dekat tanaman yang kusisihkan sebelumnya. Warna hijau yang segar membuatku ingin membeli semuanya. Di sebelah kanan, ada berbagai macam tanaman dengan daun berwarna merah. Warnanya yang mencolok membuatku ingin menghampirinya. Tanaman ini sangat cantik. Warnanya sangat cocok untuk ditempatkan di ruang tamu. Aku juga akan membeli yang ini. Di toko ini terdapat berbagai macam pilihan yang membuatku betah berlama-lama hanya untuk sekadar melihat-lihat.

Setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam, akhirnya aku berhasil mengumpulkan sepuluh jenis tanaman hias pilihanku. Sesuai dengan permintaan mama, aku membeli berbagai warna, seperti merah, hijau, ungu dan merah muda. Setelah membayarnya, Pak Hasan membantuku memasukkan tanamannya ke dalam bagasi.

Mobil kami berhenti saat lampu merah. Untuk mengsuir kebosanan biasanya aku melihat keluar jendela dan memperhatikan keadaan jalan raya yang ramai. Saat menoleh ke arah kiri, aku melihat dua orang yang sedang bertengkar. Dari postur tubuhnya aku bisa mengenali kalau itu adalah Argat.

"Argat," ucapku spontan.

"Pak, arahkan mobilnya ke sana. Argat ada di sana," suruhku.

Begitu lampu berubah menjadi menjadi hijau, Pak Hasan melaju dengan cepat dan menghampiri kerumunan orang yang sedang menyaksikan perkelahian. Begitu mobil berhenti, aku langsung turun tanpa menutup pintu mobilnya. Aku berusaha membelah kerumunan dan mencari jalan untuk mencapai Argat. Saat Argat sudah di depan mata, saat itu juga aku melihatnya jatuh ke trotoar dengan sebelah tangan sebagai tumpuannya. Telingaku dengan jelas mendengar suara jatuhnya yang begitu keras.

"Argat!" teriakku histeris.

Aku mendekatinya dan memegang tangannya yang kesakitan. Aku makin panik melihat Argat yang tidak bisa menggerakkan sebelah tangannya. Saat kupegang, Argat menjerit kesakitan. Darah segar juga terlihat di sudut bibirnya. Pak Hasan yang melihat kondisi Argat langsung membantuku memapahnya masuk ke dalam mobil. Dengan hati-hati aku berusaha tidak menyenggol tangannya. Dengan kecepatan tinggi, Pak Hasan menyetir mobil menuju rumah sakit.

Setelah mendapat penanganan dari dokter, kami akhirnya sampai di rumah. Dengan hati-hati aku berjalan di sampingnya. Karena tulang tangannya patah, Argat harus menggunakan gips dan gendongan tangan. Aku sedikit ngilu melihatnya. Mama yang melihat keadaan Argat langsung syok.

"Apa yang terjadi? Kenapa bisa begini?" tanya Mama panik.

"Ini hanya hal biasa. Mama tidak perlu membesar-besarkannya," jawab Argat tidak ingin ambil pusing.

Mama tidak bisa berhenti bertanya pada Argat. Karena itulah Argat memilih diam dan pergi ke kamarnya. Mama ingin mengikuti Argat, tetapi aku menahannya. Aku meminta mama untuk duduk dan aku akan menjelaskan semuanya.

"Argat berkelahi di jalanan," ucapku yang membuat Mama bertambah panik.

"Berkelahi? Di jalanan?"

Kemudian kuceritakan pada mama bagaimana aku bisa menemukan Argat dalam keadaan terluka. Mama yang mendengar ceritaku terlihat ngeri. Namun aku meyakinkan pada mama kalau Argat sudah mendapatkan perawatan yang terbaik dan akan segera sembuh.

"Aku tidak tahu apa yang menyebabkan perkelahian itu terjadi. Aku tidak sempat bertanya karena panik," ucapku kembali membayangkan kejadian itu.

"Jika kau tidak melihatnya, entah bagaimana keadaan Argat," ucap Mama.

Malamnya aku mengantarkan makanan ke kamar. Sejak tadi Argat tidak keluar karena mama melarangnya. Mulai sekarang aku yang akan melayani segala kebutuhannya. Argat sedang melihat televisi. Kuletakkan nampannya di atas kasur supaya Argat mudah menjangkaunya.

"Sejak tadi kau belum makan. Makanlah, meski hanya sedikit," suruhku dengan lembut.

Kuambil piring yang ada di atas nampan dan menyodorkan padanya. Aku akan memegangi piringnya supaya Argat bisa makan dengan nyaman.

"Apa pedulimu?" Argat menatapku dengan sinis.

"Kenapa kau menjadi sangat pemarah?" tanyaku tanpa berbasa basi.

"Kemarahan membuatmu menyakiti dirimu sendiri," imbuhku.

Argat masih diam tidak bergerak. Selain pemarah, Argat juga keras kepala. Aku sudah berusaha semampuku untuk membujuknya. Aku tidak ingin kebenciannya padaku justru merugikan dirinya sendiri.

"Kenapa kau berkelahi?" tanyaku.

"Kau ingin menyalahkanku? Kau ingin menyalahkanku untuk kesalahan orang lain?!" Argat meninggikan suaranya.

"Aku tidak menyalahkanmu. Aku han- " ucapanku terpotong.

"Dia merebut barang yang ingin kubeli!" ucap Argat.

Argat kemudian mengatakan bahwa barang yang sudah diambil olehnya hanya dia yang berhak membelinya. Argat menganggap bahwa orang itu meninggalkan barangnya di rak begitu saja, oleh karena itu Argat mengira tidak ada yang memilikinya. Ketika Argat akan membayarnya, perdebatan dimulai. Mereka berdua sama-sama menganggap bahwa barang itu miliknya. Karena sama-sama tidak mau mengalah, mereka sampai berkelahi. Aku menyanyangkan hal sekecil ini dapat memancing amarah Argat.

"Apa aku tidak berhak marah? Apa aku harus merelakannya dan memaafkaannya begitu saja?"

"Orang itu mengambilnya lebih dahulu. Mungkin saja dia ingin mengambil yang lainnya, sehingga dia meletakkan barangnya sebentar," ucapku.

"Argh…"

Siku Argat tidak sengaja menyenggol sandaran kasur. Lagi-lagi amarahnya membuat Argat hilang kendali. Seharusnya Argat tidak usah banyak bergerak.

"Kendalikan amarahmu. Jika kau mudah marah, hal seperti ini bisa saja terjadi lagi," ucapku menasehatinya.

"Sudahlah, aku tidak mau makan. Bawa pergi nampannya," ucap Argat lalu mematikan televisinya.

Aku belum pergi dari sini karena masih mengawasi caranya merebahkan diri. Sesekali tanganku spontan ingin membantunya, tetapi selalu kutahan. Tidak baik membuat Argat marah. Sudah cukup Argat melukai dirinya sendiri. Setelah memastikannya tidur dengan nyaman, kubawa nampanya keluar. Sebelum menutup pintunya, aku menengok ke belakang selama beberapa detik. Andai Argat tahu kalau aku sangat mengkhawatirkannya.

Nächstes Kapitel