webnovel

Dirobek

Saat aku baru tiba di kantor, Elsa memberitahuku bahwa aku diminta menemui Pak Mario di ruangannya. Perintah ini seakan mala petaka bagiku. Aku jadi berpikir kalau ucapan Linda waktu itu memang benar. Sebelum membuka pintu aku menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan pelan. Pak Mario menyuruhku untuk duduk.

"Selama setahun terakhir ini aku menyukai peningkatan kinerjamu. Kau tipe yang mudah paham dalam sekali belajar," ucap Pak Mario.

"Terima kasih, Pak."

"Karyawan seperti itulah yang kuinginkan bekerja di sini. Mulai besok kau akan menjadi sekretarisku," ucap Pak Mario yang terkesan buru-buru bagiku.

Aku sangat senang, tentu saja aku senang. Namun, aku tidak ingin gara-gara ini aku jadi berseteruh dengan Linda. Linda pasti akan melakukan segala cara untuk mendapatlan sesuatu yang dia inginkan.

"Apa ada yang ingin kau tanyakan?" tanya Pak Mario.

"Tidak ada, Pak. Permisi."

Linda menatapku dengan sinis saat aku kembali dari ruangan Pak Mario. Aku mencoba bersikap biasa saja seolah tidak ada yang terjadi. Kuletakkan kepalaku di atas meja dengan tangan sebagai bantalannya. Aku ingin memejamkan mata sebentar untuk memulihkan pikiranku.

"Munafik!"

Seketika aku membuka mata saat mendengar Linda berteriak padaku. Semua orang jadi memperhatikan kami. Linda berjalan ke arahku dan duduk di atas mejaku. Elsa mencoba mengusir Linda, tetapi aku memintanya untuk tetap tenang. Aku tidak ingin ada keributan di sini.

"Jika kau memiliki rasa malu, seharusnya kau menolaknya. Tapi sayangnya kau sangat licik," ucap Linda seakan aku sangat berdosa.

"Kalau kau merasa keberatan, bicaralah pada Pak Mario," saranku.

"Rayuan manis apa yang kau gunakan untuk menghasutnya."

"Linda!" teriakku.

Tanganku sudah bersiap akan menamparnya, tetapi syukurlah aku masih memiliki pertahanan diri. Linda benar-benar menjijikan. Apa aku pernah berbuat seperti itu di sini? Apa aku terlihat seperti wanita murahan yang rela melakukan apa pun demi sebuah jabatan? Linda sudah keterlaluan.

"Kenapa? Kau tersinggung?" ejek Linda.

"Aku bisa saja melaporkan keributan yang kau lakukan pada Pak Mario," ancam Elsa.

"Kau mau melaporkanku? Kau mau melaporkan keponakannya Pak Mario? Sadari saja kedudukanmu," ucap Linda dengan sombongnya.

"Ada apa ini?" Pak Mario tiba-tiba datang.

Semua karyawan kembali duduk saat mengetahui Pak Mario ada di sini. Aku mneyuruh Elsa untuk kembali bekerja dan tidak perlu mengkhawatirkanku. Pak Mario menatap Linda seakan meminta penjelasan untuk keributan yang baru saja terjadi.

"Siapa yang tidak terima jika Delisa menjadi sekretarisku? Angkat tangan kalian. Aku ingin melihatnya," perintah Pak Mario.

Semua orang terdiam dan tidak ada yang mengangkat tangannya. Aku merasa lega karena mereka tidak bermasalah dengan ini. Aku sempat berpikir kalau Linda membuat semua orang jadi membenciku.

"Linda, kau tidak ingin mengangkat tanganmu?" tanya Pak Mario.

"Maafkan aku, Pak," ucap Linda.

Tadi Linda berbicara seolah dia yang paling berkuasa, sedangkan sekarang dia hanya bisa menunduk sambil meminta maaf.

"Di sini kau adalah karyawanku, sama seperti Delisa. Jangan bersikap yang lainnya. Apa ada yang ingin kau katakan?" tanya Pak Mario karena Linda hanya diam saja.

"Tidak, Pak," jawab Linda dengan ragu-ragu.

"Kau tidak bertanya kenapa aku memilih Delisa untuk menjadi sekretarisku? Kalau begitu akan kujelaskan. Aku memilih Delisa karena dia memang mampu, bukan karena aku iseng memilihnya. Apa kau pikir aku tidak mengetahui kemampuan para karyawanku?" Pak Mario merasa diremehkan.

"Bukan begitu, Pak."

"Apa pun keputusanku, kau dan semua karyawan yang ada di sini harus mematuhinya. Sekarang kau bisa kembali bekerja," ucap Pak Mario.

Sekarang aku bisa duduk dengan lega. Setidaknya Pak Mario sudah berusaha membuat Linda mengerti dan kuharap Linda benar-benar mengerti.

"Delisa, periksa semua jadwalku mulai besok," perintah Pak Mario.

"Baik, Pak."

Aku turun dari bus dengan membawa sekantong plastik berisi roti bakar. Maya mengirimiku pesan kalau dia ingin sekali makan roti bakar. Dengan senang hati aku membawakan untuknya. Seperti biasa sudah ada Argat di dalam. Selama kami menikah Argat tidak pernah tidur di rumah. Kalu tidak menginap di kantor, dia akan menginap di rumah sakit. Aku berhenti sebentar saat melihat wajah sedih Maya. Matanya memerah seperti habis menangis.

"Maya ada apa? Kau baik-baik saja, kan?" tanyaku dengan memeluknya.

Maya menangis di pelukanku. Aku melihat ke arah Argat untuk mencari jawaban di sana, tetapi Argat hanya diam. Aku memilih menunggu sampai Maya berhenti menangis dan siap menjawab pertanyaanku. Setelah isakan tangisnya mulai mereda, kulepaskan pelukannya dan duduk di dsampingnya. Aku memegang tangan Maya untuk menguatkan dirinya.

"Dokter bilang kalau kanker sudah menyerang dua indung telurku. Dokter akan melakukan operasi untuk pengangkatan indung telurku. Sekarang aku tidak memiliki harapan untuk bisa menjadi seorang ibu suatu hari nanti," ucap Maya yang membuat air mataku menetes.

"Kau masih memiliki harapan. Kenapa kau berkata begitu?" Argat menyangkal ucapan Maya dan tetap optimis.

"Kemungkinannya sangat kecil, Argat," ucap Maya.

Argat terlihat sangat terpukul. Berkali-kali Argat mengusap air matanya yang menetes. Aku kembali memeluk Maya dan mengelus-elus rambutnya. Aku ingin menangis, tetapi kugigit bibir bawahku supaya isakan tangis tidak keluar dari mulutku. Jika aku menangis, rasa sedih Maya akan bertambah dalam.

"Tidak masalah. Aku mencintaimu apa adanya. Aku juga sudah pernah katakan kalau aku tidak membutuhkan anak untuk hidup bersamamu. Aku tidak membutuhkan anak asalkan bisa terus bersamamu," ucap Argat yang membuat Maya makin sedih.

"Argat, aku sudah membawanya," ucapku.

Kukeluarkan amplop berwarna cokelat dari dalam tasku dan kemudian menyerahkannya pada Argat. Argat kemudian mengecek isi di dalamnya. Ketulusan Argat membuatku ingin segera mengakhiri hubungan ini. Sekarang aku hanya yakin pada Argat bahwa dia akan membuat Maya mampu melewati semua ini.

"Apa itu?" tanya Maya.

Argat mengisyaratkan padaku supaya tidak membuka suara. Aku hanya mengangguk untuk menyetujuinya. Tiba-tiba ponsel Argat berdering. Argat keluar untuk mengangkat teleponnya. Maya memegang tanganku dan memohon untuk memberitahu apa isi amplop itu. Aku hanya diam karena tidak mampu berbohong dan berkata jujur pada Maya.

"Delisa aku mohon, katakan padaku."

Aku mengalihkan pandangan karena Maya terus memohon padaku. Kenapa Argat lama sekali? Aku sudah tidak tahan mendengar Maya memohon padaku.

"Baiklah. Aku tidak akan makan apa pun kalau kau tidak mau jujur padaku," ancam Maya.

"Maya, kumohon mengertilah."

Maya menjadi marah padaku. Maya terlihat bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Aku jadi takut kalau Maya benar-benar tidak mau makan. Sekarang aku harus bagaimana? Aku terkejut saat Maya berusaha melepas jarum infusnya.

"Maya apa yang kau lakukan? Jangan lakukan ini." Aku berusaha menghentikannya.

"Berjanjilah padaku kalau kau akan memberitahuku. Tolong, Delisa."

Maya membuatku luluh. Aku terpaksa mengambil amplop yang ada di atas sofa. Jika aku tidak menurutinya, Maya bisa melakukan sesuatu yang akan membahayakan dirinya. Setelah Argat kembali aku akan menjelaskannya padanya.

"Surat gugatan cerai? Kalian akan bercerai?" Maya sangat syok.

"Iya. Kita sudah memutuskan ini bersama-sama," ucapku.

"Aku tidak akan membiarkannya." Maya merobek kertasnya.

Aku berusaha merebutnya, tetapi dengan cepat Maya sudah merobeknya menjadi empat bagian. Argat yang baru saja kembali tampak marah dengan apa yang dilakukan Maya.

"Kau tahu kalau aku tidak bisa memiliki anak, kenapa kau malah ingin menceraikan Delisa? Apa kau pikir aku akan diam saja?" Maya begitu marah pada Argat.

"Delisa, kenapa kau memberikannya pada Maya? Apa kau sengaja ingin membuat Maya marah padaku? Apa kau sengaja karena tidak ingin bercerai dariku?" Argat benar-benar tidak masuk akal.

"Jangan salahkan Delisa. Aku yang memohon padanya untuk memberitahuku, Argat, jangan memaksakan takdir," ucap Maya.

Argat membanting ponselnya dengan sangat keras. Aku terkejut melihat kemarahannya. Aku sudah melakukan kesalahan yang sangat besar. Sekarang Argat tidak mungkin memaafkanku.

"Kalian tidak akan bercerai. Kalau Argat sampai memintamu untuk menandatangani surat seperti ini lagi, lebih baik kita tidak pernah bertemu lagi," ucap Maya.

Argat menatap Maya dengan mata yang sudah memerah. Maya berusaha mengalihkan pandangan karena merasa sangat kecewa dengan sikap Argat.

Nächstes Kapitel