webnovel

Konfrontasi Pertama

"Hei. Um ... selamat siang." Aila memanggil tapi tidak ada respons yang diterima.

"Hei bangunlah! Apa kamu mendengarku?"

Edwin merasa seseorang mencoba membangunkannya, tapi dia sudah menyuruh Glen untuk tidak mengganggunya.

"Aku yakin kamu mendengarku, bisakah kamu bangun!?"

(Siapa? Bukan Glen?)

Suaranya jelas terdengar berbeda dari Glen.

Edwin mengintegrasikan kesadarannya yang berada di hyperspace. Dengan mengoneksikan sedikit kesadarannya, dia bisa menggerakkan bayangannya yang sekarang terlihat sedang dalam posisi tertidur, posisi tubuh yang sama dengan dirinya yang berada di hyperspace. Kesadarannya seperti jaringan yang menghubungkan keberadaannya di dunia ini dengan dimensi yang sekarang dia tinggali.

"Heeei~ bangunlah. Apa kamu baik-baik saja?"

Edwin menggerakkan kelopak matanya, saat itulah matanya bertemu dengan wajah Aila yang sangat dekat dengan wajahnya.

Sepertinya Aila mencoba membangunkannya, tapi karena Edwin tidak kunjung bangun dia mencoba memeriksa keadaannya dengan mendekatkan wajahnya agar bisa melihat dengan jelas.

Aila terkejut ketika mata mereka saling memandang dalam jarak yang sangat dekat. Dia dengan cepat menarik dirinya.

Setelah keterkejutannya hilang, dia merasa bodoh karena melakukan hal yang memalukan.

Di sisi lain, Edwin kembali menutup matanya, dia melakukannya secara refleks akibat kaget. Tapi setelah berpikir bahwa satu pengganggu lain muncul, dia memilih untuk berpura-pura kembali tidur.

"Ah, uh ... Um, maaf. Aku mencoba membangunkanmu sejak tadi tapi kamu tidak mau− Eh, hei jangan tidur lagi! Aku tahu kamu sudah bangun."

Edwin mengabaikannya, mengira dia nanti akan menyerah jika tidak ditanggapi. Itu pilihan paling logis saat ini. Meski terkesan jahat, tapi untuk sekarang dia tidak ingin diganggu lagi.

Namun Aila kemudian menaruh tangannya di bahunya, lalu menggoyangkan tubuhnya dengan keras.

"Tunggu, ayolah, jangan tidur lagi. Apa kamu tidak tahu susah sekali membangunkanmu," pintanya dengan nada memohon.

Karena koneksi kesadarannya terhubung, guncangan yang dia terima juga akan diterima oleh kesadarannya yang lain. Sepertinya rencana pura-pura tidurnya tidak akan berhasil.

"Haah~ aku mengerti, aku sudah bangun jadi berhenti menggerakkan tubuhku."

"Ah, maaf."

"... Jadi, ada apa?"

"Eh, itu ...."

"Hmm?"

"..."

"...?"

Pada titik ini Aila sadar bahwa dari awal dia tidak punya tujuan mendatanginya. Dia hanya ingin mengusiknya dengan cara membangunkannya. Dan sekarang setelah orang yang ingin dia ganggu sudah bangun dia tidak tahu harus bagaimana melanjutkannya setelah ini.

Wajahnya menampilkan kebingungan. Dia mencoba memeras pikirannya sampai batas yang dia bisa. Pada saat seperti ini, orang-orang yang berada dalam situasi yang sama dengan dirinya biasanya akan mengatakan−

"Ha-hari ini cuacanya cerah, bukan?"

Dia benar-benar mengatakan kalimat klise itu. Kalimat basa-basi yang biasanya diucapkan saat tidak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan.

Edwin tidak menjawab, hanya menatapnya dengan wajah datar.

Aila mengerti itu salah, sayangnya hanya itu yang terlintas di pikirannya. Walaupun kata-kata itu juga hasil meniru penggalan kalimat dari sebuah novel yang dia baca tadi malam.

Dia tidak biasa memulai percakapan. Saat dengan Bella dan Clara, mereka yang selalu lebih dulu mengajaknya bicara, dan dia baru saja menyadari itu. Jadi dia hanya mengucapkan kata-kata yang muncul begitu saja di pikirannya.

"Um, kamu sedang apa?" Aila yang gugup kembali membuat pertanyaan dari kata-kata yang terlintas di pikirannya.

Jelas dia baru saja bangun tidur, atau lebih tepatnya, dia dipaksa bangun olehnya.

Edwin tidak mengerti apa yang salah dengan otak gadis itu. Dia tanpa ampun tidak menanggapi karena menurutnya tidak sepadan membangunkannya hanya untuk pertanyaan basa-basi.

Aila tidak bisa memikirkan pertanyaan lain. Dia tampak kerepotan, dan sinar di matanya seolah-olah memohon pertolongan.

(Repot juga kalau nanti dia menangis. Tapi untuk tujuan apa sebenarnya dia datang?)

Edwin tidak punya pilihan lain. Jika terus seperti itu ada kemungkinan Aila akan menangis tanpa sadar, akan bermasalah jika dia berakhir dituduh sebagai orang yang membuatnya menangis. Paling tidak dia bisa menjadi orang yang memulai pembicaraan untuk mengetahui maksud kedatangannya.

"Baiklah. Sebelum itu, silakan duduk dulu. Gunakan kursi itu, itu punya temanku jadi tidak masalah." Edwin meminta Aila duduk di kursi Glen.

Glen tidak ada di kelas, Edwin menebak dia sedang bersama Julian dan dua orang teman sekelasnya tadi yang tidak begitu dia ingat namanya.

Aila mempertimbangkan, lalu memutuskan untuk membawa dirinya duduk di kursi depan Edwin.

"Aku tidak tahu kenapa kamu membangunkanku. Pertama-tama, bisakah kamu katakan alasanmu?"

Aila terlihat memikirkan jawabannya. Dia menarik napas panjang, mengatur kembali ketenangannya. Setelah berdeham dan membuat gerakan merapikan seragamnya yang tidak kotor, dia menjawab.

"Tidak tahu," katanya singkat. Aila terlihat takut-takut ketika mengalihkan wajahnya pada lawan bicaranya.

"Kau tidak tahu? Itu tidak mungkin bukan. Kau membangunkanku pasti ada alasannya. Jadi apa yang kau inginkan?"

Bagaimanapun, sedari awal gadis ini tidak masuk akal. Edwin tidak lagi memiliki keinginan mengira-ngira apa yang dipikirkannya, jadi dia langsung bertanya padanya.

"Sudah kubilang aku tidak tahu. Aku hanya punya keinginan untuk membangunkanmu. Lagi pula dari awal itu salahmu karena terus tidur selama pelajaran," balasnya dengan nada angkuh.

Aila mengatakannya dengan maksud yang jelas bahwa dia tidak ingin disalahkan.

(Anak ini ...!)

Edwin mengalihkan pandangan sebentar ke ruang kelas. Dia tidak menemukan keberadaan dua teman Aila yang biasanya selalu bersamanya.

"Biar kutebak. Jadi karena kau tidak punya sesuatu untuk dilakukan, kau malah membangunkanku. Begitu, bukan?"

Aila memalingkan wajahnya menjauh dari tatapan Edwin, tampaknya tebakannya tepat. Lagi pula hanya itu kesimpulan yang mungkin.

"Kamu tidur selama kelas berlangsung, menurutku kamu tidak seharusnya melakukan itu. Jadi sebagai teman sekelas, aku ingin memperingatkanmu."

Aila baru saja memikirkan alasan itu, dan dia langsung menggunakannya.

Dia tidak ingin ketahuan, bahwa dia sebelumnya mengganggunya memang karena tidak memiliki hal lain untuk dilakukan. Dengan kata lain, dia sedang bosan dan kesepian. Karena sadar apa yang dilakukannya memalukan, dia tidak ingin lelaki di depannya sampai tahu alasannya.

"Akademi memperbolehkan siswa melakukan sesuatu yang mereka sukai selama tidak mengganggu kegiatan belajar siswa lain. Aku yakin bahwa aku tidak mengganggu siapapun. Aku tidak tahu kenapa kau bisa tahu kalau aku tertidur sepanjang pelajaran, jika itu karena kau memperhatikanku maka aku merasa terhormat. Tapi aku akan lebih berterima kasih jika kau tidak menghiraukanku seperti biasanya."

"I-itu hanya kebetulan. Aku hanya kebetulan melihatmu terus tertidur tadi. Tapi memangnya kamu tidak masalah karena tidak mendengarkan pelajaran? Maksudku, kamu tidak akan bisa mengerti jika kamu hanya tertidur."

"Tidak masalah. Jika yang kau maksud soal ujian, aku akan mempelajarinya sendiri beberapa hari sebelum ujian dilaksanakan."

Mata Aila berkedip sejenak. "Apa kamu tidak takut hasilnya tidak baik?"

"Untuk itulah aku bilang kalau aku akan belajar sebelum ujian." Setidaknya dia yakin bahwa dia tidak akan gagal dalam ujian.

"Kamu yakin bisa lulus ujian dengan cara itu ya. Aku tidak menyangka orang sepertimu bisa berpikiran begitu optimis." Aila berkomentar dengan nada mencibir.

Edwin memejamkan matanya sebentar, sambil bertanya-tanya apa yang selama ini dipikirkan gadis itu tentang dirinya.

Setidaknya dia tahu bahwa kesan yang dimiliki gadis itu tentang dirinya tidak terlalu baik, paling tidak itulah yang bisa dia simpulkan.

"Kau tidak punya keperluan penting denganku, bukan? Karena aku sudah bangun, berarti tujuanmu telah tercapai. Jadi bisakah kau membiarkanku sendirian dan mengakhiri pembicaraan ini?"

"Ini hanya perasaanku saja atau kamu memang ingin mengatakan kalau berbicara denganku hanya membuang waktu?"

Ya dia gadis yang cepat tanggap, pikir Edwin. Dia memang berniat mengusirnya dengan cara yang halus.

Edwin tidak ingin berurusan dengan gadis yang bisa membawa beberapa masalah merepotkan untuknya.

"Tidak, itu tidak mungkin. Mustahil orang biasa sepertiku bersikap tidak hormat karena berani berpikiran mengusir Putri Keluarga Witchell hanya karena dia mengganggu tidur siangku."

"Aku merasa ucapan dan pikiranmu sepertinya tidak akur. Wajahmu sudah bisa menjelaskan semuanya."

Karena Edwin mengucapkannya dengan wajah datar dan tanpa intonasi pada nada suaranya, isi kalimatnya menimbulkan arti yang berlawanan.

"Karena kau tidak ingin pergi, apa ada hal lain yang ingin kau bicarakan denganku?"

"Tidak ada yang penting. Tapi aku ingin memperingatkanmu beberapa hal."

(Memperingatkan, apa itu tentang pemilihan perwakilan kelas? Jadi dia menyadari ada faksi pendukung untuk dirinya? Kalau begitu dia datang untuk memberikan sedikit ancaman?)

Edwin memikirkan banyak hal di pikirannya. Sejujurnya, Edwin sendiri memiliki kesan yang tidak begitu baik tentang Aila sejak pertemuan pertama mereka.

"Kalau begitu cepatlah. Aku tidak ingin membuang waktu istirahatku lebih lama lagi."

"Kamu ini! Baiklah, aku mengerti. Lagi pula dari awal salahku juga mengajak bicara orang sepertimu. Aku hanya ingin mengatakan, perbaiki sikapmu jika ingin menjadi perwakilan kelas! Kamu tidak boleh menyepelekan tugas perwakilan kelas."

Edwin bingung karena ternyata dia datang tidak untuk menekan dirinya. Dia menyadari bahwa dia mungkin salah memahami maksudnya.

Tapi Edwin merasa tidak perlu memikirkannya lagi, dari awal dia memang tidak mengerti pikiran gadis itu.

Edwin ingin cepat-cepat mengakhiri pembicaraan sebelum muncul sebuah rumor tentang dirinya dan Aila. Jadi setelah ini dia berniat mengakhiri pembicaraan. Jika tidak berhasil, dia akan meminta diri untuk pergi.

Tidak ada hal baik yang datang jika dia berurusan dengan anggota keluarga dari Great Noble. Terlebih lagi, dia tidak ingin membuang waktu luangnya untuk meladeni gadis di depannya, yang tidak sedikitpun dia pahami pola pikirnya.

Tapi sebelum itu, ada sesuatu yang dia rasa harus dia pastikan terlebih dahulu.

"Kau bicara seolah aku yang akan memenangkan pemilihan perwakilan kelas. Apa kau sudah menyerah?"

Aila menggelengkan kepalanya. "Aku hanya belum membuat keputusan," balasnya dengan tersenyum pahit.

Edwin mengamati ketika Aila perlahan menundukkan kepalanya. "Apa susahnya membuat keputusan?"

"Itu sulit−! Orang sepertimu tidak akan mengerti." Aila meninggikan suaranya.

Edwin mengangkat bahu. "Ya, lagian tidak ada hubungannya denganku."

Dia benar, seru Aila dalam benaknya.

Aila kembali menunduk dengan ekspresi yang kontemplatif. "Kamu benar, tapi karena itulah aku mengingatkanmu untuk memperbaiki sikapmu. Setelah ini akan ada banyak orang-orang memperhatikan apa kamu bisa mengerjakan tugas perwakilan kelas dengan benar."

Itu selalu terjadi padanya, orang lain selalu memperhatikan bagaimana Aila bertindak. Aila bermaksud baik, dia ingin mengingatkan Edwin bahwa orang lain akan diam-diam memperhatikan dan menilai dirinya. Jadi dia ingin Edwin menyadari fakta itu.

"Aku tidak merasa ada yang salah dengan sikapku. Menurutku, semua orang di kelas tidak akan peduli dengan seseorang yang menjadi perwakilan kelas. Tidak akan ada yang memperhatikan, bahkan jika aku tidak mengerjakan tugasku dengan benar, tidak akan ada yang keberatan."

Berdasarkan apa yang terjadi di kelas sejauh ini, kata-kata Edwin jelas punya dasar yang logis.

"... Itu mungkin benar, tapi setidaknya aku memperhatikan. Pokoknya kamu harus bisa bersikap lebih baik." Aila mengatakan dengan terkesan memaksa.

Edwin mengedipkan matanya dengan tidak nyaman. Dia berpikir gadis ini tidak seharusnya mengatakan sesuatu semacam itu dengan santai karena bisa menimbulkan kesalahpahaman.

Bagaimanapun, Edwin tidak ingin menjadi perwakilan kelas. Jadi, jika Aila memiliki pemikiran bahwa dia akan kalah dalam pemilihan perwakilan kelas, maka itu bukan hasil yang Edwin inginkan.

Menurutnya, Aila saat ini masih belum memutuskan akan menyerah pada pemilihan perwakilan kelas. Kemungkinan Aila cuma merasa dirinya akan kalah setelah baru saja melihat kampanye yang dilakukan Julian, yang mana Julian berhasil menarik simpati semua teman sekelasnya.

Edwin juga berpikir itu wajar jika Julian mendapat banyak dukungan karena dia sudah mempersiapkan kampanyenya dengan matang.

(Seperti yang diharapkan dari pria tampan sialan yang licik, dia bahkan bisa membuat gadis yang merupakan lawannya menjadi depresi.) Keluh Edwin dalam benaknya.

Satu pekerjaan lain yang merepotkan datang padanya. Demi tujuannya, Edwin tidak punya pilihan selain menaikkan kembali mental Aila dengan paksa.

"Kenapa kau seperti sudah menetapkanku sebagai perwakilan kelas? Jika boleh jujur, sebenarnya aku berniat mengalahkanmu dalam pemilihan. Tapi karena kau sudah menyerah, apa boleh buat."

Aila menggelengkan kepalanya dengan lemah, menolak tuduhannya.

"Aku tidak menyerah ... Hanya saja, aku tidak tahu apakah aku menginginkan posisi itu atau tidak."

"Aku tidak mengerti. Itu terdengar sama saja bagiku."

"Itu jelas berbeda. Lagian, kamu tidak perlu mengerti." Aila merasa bahwa hanya dirinya sendiri yang bisa memahami keadaannya, tidak masalah jika orang lain sepertinya tidak tahu hal itu.

Pada titik ini Edwin melakukan inisiatif dengan membuat kontak mata langsung, menatap secara mendalam ke mata Aila.

Tatapan yang dia terima dari laki-laki di depannya seolah menusuk langsung ke dalam jiwanya. Mendadak Aila merasa risih, tidak nyaman dengan tekanan samar yang dia terima.

Sebelum Aila mencoba memutus kontak mereka dengan memalingkan wajahnya, Edwin dengan cepat langsung memberinya kata-kata.

"Sebenarnya apa yang membuatmu ragu untuk mengambil posisi itu? Apa karena orang-orang di sekitarmu tidak menginginkannya? Atau kau takut dengan evaluasi orang lain terhadap dirimu? Kalau begitu aku sarankan menyerahlah! Aku tidak ingin bersaing dengan seseorang yang tidak memiliki niat melakukannya. Biarkan aku menjadi perwakilan kelas dengan caraku sendiri. Jadi kau tidak perlu lagi menasihatiku, karena aku tidak ingin mendengar ceramah moralitas dari orang sepertimu."

Aila tersentak dengan kalimat tajam yang diucapkannya dengan lancar.

"Kau salah. Bukan itu maksudku ...."

"Lalu apa?"

"..." Aila ingin membalasnya tapi tidak menemukan kata-kata yang tepat.

Edwin menghela napas lemah. "Apa kau benar-benar anak dari Keluarga Witchell?"

"Ya ... Ada apa dengan itu?"

"Kau tidak terlihat seperti putri mereka, bukan? Apa kau dididik dengan benar? Etiketmu mungkin sesuai tapi tindakanmu tidak mencerminkan bahwa kau diajarkan sepenuhnya untuk menjadi seorang bangsawan. Kau mengatakan kalau aku tidak perlu mengerti keadaanmu, tapi kau sendiri bahkan tidak tahu kedudukanmu saat ini."

Begitu mendengar pengakuannya, Aila terguncang sampai ke intinya. Dia tidak bisa berkata-kata.

Edwin merasa dia tidak cocok untuk menjadi bagian dari Keluarga Witchell. Dia terlalu polos, begitu ekspresif. Dia juga tidak mengerti keadaan di sekitarnya. Orang sepertinya sangat mudah dimanipulasi, karena perasaannya tergambar jelas di wajahnya.

"Kau bisa memikirkannya kembali, meski aku yakin tidak akan ada yang berubah. Kalau tidak ada lagi yang ingin kau katakan, mari kita akhiri saja pembicaraan ini. Kalau begitu, permisi." Edwin menundukkan kepala, meminta diri untuk pergi. Dia berdiri dari kursinya, kemudian mulai berjalan ke arah pintu kelas.

"... Tunggu, kamu mau ke mana?"

Meski dia tidak tahu bagaimana membalas kata-katanya, tapi Aila merasa harus mengingatkannya kalau waktu istirahat makan siang sudah hampir habis.

Edwin menjawab sambil terus berjalan tanpa membalikkan badannya. "Aku ingin pergi keluar karena di dalam kelas banyak sekali yang mengganggu."

Belum sempat Aila mengingatkannya, Edwin sudah bergerak dengan cepat meninggalkan kelas.

***

Nächstes Kapitel