webnovel

"Ckck! Jangan mulai menceramahi ku."

"Bahkan aku sangat yakin, kau begitu ingin menyusup ke dalam milik ku, kan?"

Meneguhkan pendiriannya yang di gempur habis-habisan, dengan berani Tio menyingkirkan kaki mulus Bian jauh-jauh darinya. Raut wajahnya di buat kaku, menunjukkan ketersinggungan atas apa yang di tuduhkan Bian.

"A-aku bukan mereka, aku pria normal tanpa kecenderungan konyol pada bagian tubuh kalau kau ingin tau."

Yang rupanya tak sedikit pun membuat Bian menyerah. Kali ini mendekatkan tubuhnya, menakup rahang Tio, mengusap samar jambang pria itu dengan begitu lembut.

"Kalau wajah cantik ku, apa kau tak sedikit pun terpesona?"

"Bi... Ku mohon..."

Cupp

"Eunghh..."

Pada dasarnya, Bian sama sekali tak suka banyak bicara. Ia lebih suka bergerak cepat, menyasar langsung pada intinya.

Mencium Tio, menyesap bergantian bibir bawah dan atas pria yang masih diam mematung itu. Sementara Bian yang amat menikmati permainan, nampak begitu bersemangat, tersenyum lebar di sela pelecehannya pada sang kawan.

"Bi, cukup..."

Sialan! Bukankah Tio terlalu lamban untuk bereaksi? Sejenak membuatnya tenggelam, merasakan libido yang sama-sama bergerak naik. Tio yang membalasnya meski amat kaku. Cengkraman yang makin kuat, bergerak meremas dadanya. Sedetik terakhir yang membuatnya melayang, membayangkan diri di kungkung di atas ranjang dengan gairah bercinta yang begitu menggebu-gebu.

Alih-alih Tio yang terlalu kasar, mendorong dadanya untuk memperlebar jarak. Bian yang sampai di buat terjungkal dengan kepala yang nyaris membentur tembok belakangnya.

"Ku pikir kita tak akan pernah melakukan hal ini lagi. Kita sepakat jika seks akan merusak persahabatan kita, bukankah begitu?"

Sejenak, Bian di buat tak berkutik atas ucapan lugas penuh prinsip yang keluar dari mulut Tio. Tapi setelah mengingat ulang beberapa detik lalu, membuatnya malah tertawa sinis.

Dasar munafik!

"Bagaimana kalau aku berubah pikiran? Ku pikir aku mulai merindukan sesuatu yang ada di balik celana mu itu."

"Apa segelas susu yang ku berikan membuat mu mabuk?!" Kini suara Tio terdengar makin meninggi. Sama sekali tak membuat Bian gentar, malah tertawa terbahak.

"Hahah... Kau selalu bisa membuat ku tertawa. Tapi kali ini aku menginginkan hal lain dari mu."

Lagi-lagi Tio menepis tangan Bian yang bermaksud menyusup ke dalam kaosnya. Berdiri dari posisinya dengan berkacak pinggang. "Ini sudah sangat di luar batas."

"Oh, ayolah... Anggap saja hubungan kita serba guna. Kita bisa berbagi apa pun, termasuk muatan gairah yang sering kali membuat suntuk kalau terlalu lama di tahan."

"Sungguh, aku mulai curiga kalau kau haus seks. Tapi apakah sampai sebegitunya? Aku ini sahabat mu, Bi."

Kali ini Tio yang makin serius. Garis muka yang di tarik terlalu kencang, membuat Bian merasa jika kepalan tangan pria itu bermaksud untuk meninjunya guna menyadarkan.

"Membosankan. Kau sama sekali tak seru. Padahal kau bisa menikmati malam panas seks dengan ku secara cuma-cuma. Taukah kau, pengecualian ku hanya pada yang terpilih."

"Apa?! Konsepnya bagaimana sih, Bi? Kau anggap pertemanan kita tak cukup berarti?"

"Ckck! Jangan mulai menceramahi ku." Bian yang melempar celananya ke muka Tio. Tak ingin repot-repot menutupi asetnya yang di tolak mentah-mentah. Langsung melemparkan tubuhnya, berbaring di atas ranjang.

Jika itu orang lain, di pastikan Tio akan membalas perlakuan tak sopan padanya itu sampai babak belur. Bukannya malah melipat rapi celana bekas yang di lemparkan kepadanya. Salahkan posisi Bian yang terlalu istimewa.

"Tidak, aku hanya sedang berupaya membuka jalan pikiran mu yang seperti makin ngawur."

Malam itu terlupakan begitu saja. Tio yang melanjutkan pekerjaannya merapikan pakaian. Sementara Bian tertidur pulas tanpa sedikit pun berminat untuk mendengarkan ocehan sang kawan yang terus berlanjut.

Esok hari tanpa sedikit pun kecanggungan. Mereka yang terlalu dekat, atau bisa di katakan terlalu blak-blakkan sampai masalah prinsip masing-masing pun bisa dengan cepat di pahami.

"Aku akan menjemput mu seperti biasanya, jangan melarikan diri seperti kemaren."

"Brisik!"

Bian melemparkan helmnya, yang sigap di tangkap oleh Tio yang geleng-geleng kepala. Pasalnya ia bingung, kenapa ia masih tetap bertahan pada sahabat gilanya itu?

"Di sini tak menerima pelanggan yang minta gratisan."

Pandangan Tio di buat berpaling dari Bian, seorang wanita yang baru di kenal. Dan kali ini terang-terangan menyindirnya?

Nadin, untung saja wajahnya cantik rupawan. Jika tidak, Tio pasti akan mendebat wanita itu habis-habisan. Wanita bermulut kasar, yang juga telah merundung sahabat sehidup sematinya.

Kelebihan paras yang sama sekali tak berpengaruh untuk Bian. Jelas ia tak akan melunak pada Nadin. Saling kenal, walau berpapasan, mana sudi ia berbasa-basi? Bahkan senyumnya mendadak terlalu mahal jika di berikan untuk wanita itu.

Sekali pun wanita itu mendadak menawarkan hal baik. "Aku bisa membantu mu bicara pada boss supaya kau bisa kembali ke bagian mu semula. Ya... Demi performa restoran ini juga. Pekerjaan mu terlalu lambat jika di posisikan di dapur, yang ku pikir senyum palsu mu untuk pelanggan sedikit lebih berguna."

"Urusi saja hidup mu."

.

.

.

Bian merasa benar-benar lelah. Stamina fisik dan batinnya di kuras habis-habisan. Yang di pikir lebih baik, rupanya jauh lebih mengerikan dari pada mengatasi omelan Nadin yang selalu nyaris memecah gendang telinganya itu.

Ya, rupanya bergaul pekerjaan dengan Nadin tak terlalu buruk. Tak terlalu banyak tekanan, terlebih ia bisa mengasah ketangkasannya dalam perdebatan alot.

"Sialan! Aku baru saja berpikir untuk menerima belas kasihan darinya?! Tidak-tidak... Aku tak sudi. Mana tau, itu hanya akal-akalannya saja untuk lebih menindas ku. Wanita ular itu mana mungkin punya niatan baik, kan?"

Menggelengkan kepala, menepis jauh-jauh pemikirannya yang mulai ngawur. Hanya karena lelah tak tertahankan, tak serta merta membuatnya goyah pendirian, kan?

Yang sedetik kemudian Bian malah lesu, kembali memijat kaki keramnya sebisa mungkin.

Tokk tokk tokk

Tio pulang, dengan senyum yang begitu lebar mengangkat tinggi bungkusan yang di bawanya.

"Aku membawakan mu, sate ayam... Kesukaan mu."

"Kebetulan sekali, aku sedang sangat lapar."

Bian yang langsung menyabet bungkusan yang di sodorkan Tio, langsung berjalan ke arah dapur mininya dan mengambil nasi panas. Mengaduk bumbu kacang beraroma sedikit asap itu di atas piring. Melahapnya begitu semangat.

Sampai fokusnya teralihkan pada Tio yang masih berdiri di posisi awal. Memperhatikannya dengan jangkun naik turun.

"Kau memberinya hanya untuk ku, kan?"

"Ekhem! Ya, habiskan. Lagipula aku baru saja makan steak lezat, tadi. Aku mau mandi dulu."

Pergerakan Tio yang terus di tatap Bian dengan mata menyipit.

"Aneh sekali. Aku menawari, kenapa dia malah pamer?"

Posisi yang tak pernah berubah, malam hari dengan Tio yang berbaring di bawah ranjangnya hanya dengan beralaskan tikar.

Ah, tidak. Bian sudah sedikit berbaik hati memberikan Tio selimut tipis dan satu bantal kempisnya.

Nächstes Kapitel