Alkohol selalu akan menjadi pelariannya. Jika tanpa kendala yang malah membuatnya teriak frustasi di jalanan umum sampai-sampai di teriaki orang gila.
"Akhhh!"
Dompetnya kosong momplong, ponsel mati daya dengan panas terik matahari yang makin membakar kulitnya. Bahkan keberuntungan tak sedikit pun pernah berpihak padanya. Kepalanya benar-benar siap meledak sekarang.
Pulang ke rumah hanya akan membuatnya kebingungan untuk mencari alasan pada Tio yang terlalu ingin tau faktanya yang pengecut. Sampai solusi yang terbesit di benaknya menjadi keputusan.
Jarak yang lumayan membuat kakinya gempor, napasnya yang kesulitan dengan pacuan jantung yang nyaris menjebol dadanya karena terlalu gila-gilaan. Keringat mengucur membasahi sekujur tubuhnya.
Memasuki sebuah gedung apartemen, di lantai 23 dengan nomor 234. Sedikit ragu-ragu, jari telunjuk Bian menekan kode pengaman di ruangan itu setelah memasukkan kartu kunci yang masih di simpannya.
Klik
Berhasil. Setelah ke sekian lama, langkah kecilnya memasuki ruangan itu. Tempat yang tepat untuknya sejenak melarikan diri.
Memasuki salah satu kamar, melecuti pakaian sembarangan sembari berjalan ke arah kamar mandi. Merendam tubuh mungilnya, Bian benar-benar butuh merilekskan diri saat beberapa saat lalu perdebatan membuat sekujur tubuhnya tegang.
Kesendirian mengancam. Membangkang perintah Devan sama saja dengan menjauhkan Mike darinya.
Sungguh, terlalu pentingnya posisi Mike, rasanya ego tinggi yang di milikinya tak akan pernah sebanding.
Tangan hangat yang tak sungkan menjabat tangannya saat untuk pertama kalinya mereka berkenalan. Senyum tipis tanpa ragu, berkali-kali memberinya kebaikan meski pun tepat di depan mata sikapnya terlalu buruk untuk bisa di tolerir. Satu-satunya pria yang sedia menampung "buangan" sepertinya. Tujuh tahun, selama itu Mike bersabar untuk menghadapinya yang badung.
"Aku sudah menganggap mu bagian dari keluarga yang harus ku jaga." Ucapan Mike yang terus-terusan terngiang di benaknya. Satu-satunya orang yang tinggal, meski semuanya malah berlomba-lomba meninggalkan. Pria yang menyediakan perlindungan, di saat semua orang menyerah hanya sekedar untuk bertahan di sisinya. Satu-satunya pria yang membuatnya tetap bernyawa meski jiwanya telah hancur berantakan.
"Aku menyayangi mu, jangan pernah merasa jika kau seorang diri. Aku akan terus ada untuk menjaga mu, Bi."
Janji Mike, akankah masih akan di penuhi saat posisi Devan yang lebih kuat di hati pria itu mulai mengambil keputusan? Apakah Mike lambat laun akan menyerah terhadapnya?
"Isshh... Sialan! Seberapa rindunya tubuh ku dengan kenyamanan ini?"
Memikirkan masalah yang tak pernah usai, sampai-sampai membuatnya terjebak waktu sampai nyaris merenggut kesadaran tanpa batas.
Sekuat tenaga, keluar dari bak mandi dengan nyaris terjatuh. Air-air tumpah, dengan jejak langkah terseoknya yang membasahi lantai. Otot-ototnya lemas, kulitnya mengkerut saat terlalu bodohnya Bian tak menyadari jika malam berjarak begitu cepat dari siang tadi.
"Ah... Sangat nyaman..."
Tanpa merasa perlu mengeringkan tubuh atau pun berganti pakaian. Meringkuk di atas ranjang dengan selimut tebal yang di tarik untuk membungkusnya.
Tertidur secepat silau matahari yang membangunkannya. Pelarian singkat yang di rasa cukup ampuh menerbitkan seulas senyum di bibirnya.
"Pria bodoh mana yang terlalu baik hati sampai-sampai menyumbangkan apartement semewah ini untuk jalang tak berharga seperti ku?"
.
.
.
Bayangan masa lalu yang membuat Bian mendadak begitu rindu dengan Mike.
Mengganti pakaiannya dengan miliknya yang tertinggal di lemari. Buru-buru memesan taksi dan mengatakan gedung perkantoran milik Mike sebagai tujuannya.
"Bayarkan tagihan taksi ku."
"Apa?"
Menghubungi Amel untuk mengatasi permasalahannya. Melenggang pergi tanpa mengindahkan sang supir yang berteriak tak sabaran.
"Apa kak Mike sudah tiba?" Tanya Bian setibanya di lantai teratas. Amel yang sibuk dengan panggilannya seketika saja melotot.
"Kau-! Sudah, tuan."
Tanpa sedikit pun niat basa-basi untuk mengucapkan terimakasih. Umpatan Amel yang sudah di ujung lidah pun di tahan setengah mati saat mengingat ucapan Mike yang mengutusnya untuk memperlakukan bajingan cilik ini dengan baik.
"Ngomong-ngomong, nanti carikan taksi lagi."
"Ergghh...."
Bian yang melenggang pergi, meninggalkan Amel yang menggerang penuh emosi. Bukan meminta tolong, cara Bian jelas-jelas memerintah sambil merampok rupiah di kantungnya. "Sialan! Belagak berkuasa sekali dia!"
Dan apakah Bian merasa telah merepotkan Amel? Sama sekali tidak. Bukankah mengurusinya adalah salah satu tugas yang di berikan Mike?
Kriett
Membuka pintu tanpa izin, Bian yang mencelingukkan kepala ke dalam ruangan, lantas mendapat perhatian dari pria yang nampak berkonsentrasi di meja kebesarannya itu.
"Ekhem!"
"Hai, sepagi ini?"
Senyum lebarnya di tunjukkan, Bian lantas melangkah pelan semakin mendekap ke arah Mike yang telah menyambutnya dalam pelukan.
"Tiba-tiba aku sangat merindukan kakak."
"Hahah... Haruskah aku terkesan? Apa kau sudah makan? Wajah mu nampak sangat pucat."
"Ckck! Jangan khawatir, beginilah aku tanpa make up."
"Hahaha... Setidaknya, poles pipi dan bibir mu biar menggemaskan seperti biasanya."
"Wah! Pagi yang begitu bersejarah, kakak memuji ku?"
"Kenapa? Memangnya ada yang salah? Kau kan adik ku."
Percakapan akrab keduanya, di selingi tawa ringan sampai posisi keduanya duduk bersisihan di sofa. Mendadak Bian beraut tegang, memilin jemari di pangkuannya seolah berpikir penuh pertimbangan.
Sementara Mike yang terlalu peka pun lantas mempertanyakan. "Ada yang salah?"
"Maaf, kemaren aku menginap di apartemen kakak."
Rupanya keadaan genting yang tak sesuai perkiraan Mike, membuat pria yang gagah dengan setelan formalnya itu tertawa.
"Hei, bukankah aku sudah mengatakannya sejak awal? Itu milik mu dan harusnya pun kau tinggal di sana di bandingkan harus bertahan di tempat mengerikan yang kau pertahankan sekarang."
"Aku hanya tak ingin terus bergantung pada mu. Aku ingin berusaha untuk menyambung hidup ku sendiri." Bian yang menunduk, dengan mata terpejam sedikit merasa bersalah atas kelanjutan ucapannya di dalam hati. "Juga kebebasan yang kau benci namun mustahil untuk ku tinggalkan."
"Jujur saja, memangnya kau anggap seberapa berharga hubungan kita?"
"Sangat. Sangat-sangat berharga. Tak ada yang lebih menyayangi ku di bandingkan kau di dunia ini."
"Ya, kau tau itu."
Sekali lagi, Bian menjatuhkan tubuh mungilnya dalam dekapan hangat Mike. Mengusapkan wajahnya ke dada pria itu. Satu ketakutan yang harus di pastikannya saat ini.
"Kak, bagaimana kalau aku membuat mu kecewa suatu hari nanti, apa kau akan membuang ku?" Tanya Bian takut-takut. Menatap tepat pada bola mata Mike dengan pandangannya yang sayu. Jemarinya makin erat meremas lengan berotot milik Mike.
Sementara Mike yang tak mengira jika suasana mendadak menjadi begitu tegang di antara mereka.
"Kenapa tiba-tiba kau menanyakan hal itu?"
"Jawab saja."
"Aku bukan tipe yang gegabah dan sefrontal itu. Tapi kalau yang kau lakukan sudah benar-benar di luar batas tolerir ku, bukan tak mungkin aku akan sekejam itu membuang mu."