webnovel

"Sampai kapan pun, jangan harap nama mu bisa lenyap dari daftar orang yang begitu ku benci!"

Bian makin sakit kepala, perutnya terasa mual akibat Nadin yang mendadak menjadi pembalap ugal-ugalan. Tanpa mempedulikannya yang teriak ketakutan, bahkan seolah nyawa wanita sendiri rela di pertaruhkan hanya untuk memberikan memori detik-detik mengerikan yang mempermainkan garis batas kematian.

Bian protes, yang setelahnya malah menjadi gumpalan emosi makin besar yang mengobrak-abrik suasana hatinya pagi itu.

"Masih untung aku mau menolong mu. Kalau orang lain di posisi ku, sudah pasti kau tak akan bisa berdiri menantang dengan mulut ceriwis seperti sekarang. Anggap saja aku sedikit punya sisi kebaikan."

"Bangsat! Apakah dia berniat mencelakai ku?"

Bukan serangan teror yang membuat Bian ketakutan, malah ketersinggungan yang sulit di tolerir. "Awas saja, kau akan menyesal karena menjadikan ku musuh mu, jalang!"

Prangg

"Sialan! Apa mata mu buta, eh?!"

Akibatnya hilang konsentrasi, pandangannya yang terus melotot mengikuti pergerakan Nadin membawanya pada masalah baru.

Baki yang penuh makanan di tangannya terjatuh akibat seseorang yang lebih ceroboh menabraknya. Tanpa bisa di kendalikan, mulut jahanamnya menghardik, tak menyadari jika lawannya adalah seorang gadis yang bahkan hanya setinggi pusarnya.

"Huaa... Hikss... Hikss... Mama...! Kakak itu membentak ku...!"

Jerit tangis membahana ke setiap sudut ruangan. Langkah kecil yang langsung menjaga jarak dari Bian, mencari perlindungan di dekapan wanita yang otomatis beraut garang. Menyita perhatian dengan Bian yang di tatap bengis penuh penghakiman.

"Sialan!" Dengisnya dengan bibir terkatup rapat. Memijat pelipisnya kasar saat menyadari perseteruannya dengan Nadin jauh lebih jantan di bandingkan berurusan dengan bocah cengeng yang menjebaknya dalam situasi di mana ia adalah yang paling antagonis.

"Anak ku tak sengaja menabrak mu, apakah perlu untuk membentaknya sekeras itu?!

"Apa kau gila, eh? Dia hanya anak kecil."

Bangsat! Demi apa pun, Bian baru saja mendapati senyum meledek Nadin yang mendadak berdiri di sampingnya itu.

"Jangan ikut campur-"

"Ah, mohon maaf sekali ibu..." Cibiran Bian tersela. Sumpah, yang wanita licik itu lakukan hanya seperti ingin menonjolkan kebaikan di atas keburukannya. Nadin cari muka.

"Tidak bisa begitu saja. Lihatlah, anak saya sampai tersedu-sedu seperti ini! Hatinya pasti sangat sakit sekali mendengar bentakan sekeras itu!"

"Ku rasa ini bukan salah ku sepenuhnya. Ini tempat ramai, harusnya ibu lebih jeli lagi untuk mengawasi anak. Jangan biarkan dia berlarian seperti tadi atau akan ada yang di rugikan lagi setelah saya."

"Lancang sekali kau!"

Tangan keriput yang melayang sama sekali tak mengguncang Bian, pria itu malah mendekatkan wajahnya untuk menerima pukulan. Sayangnya Nadin yang terus ikut campur untuk menengahi.

"Sepenuhnya atas keteledoran rekan saya. Sebagai permintamaafan dari kami, ibu bebas makan sepuasnya di sini," tawar Nadin santun.

"Ku harap selama hidup mu akan terus teribat dengan kenakalan bocah hingga kau tau betapa sulit mengurusnya." Ucap pelanggan wanita itu sambil berlalu.

"Apa dia baru saja menyumpahi ku? Cih! Bilang saja kalau itu hanya akal-akalannya untuk bisa makan dengan gratis."

Nadin yang mendengar gerutuan Bian bahkan sampai tak habis pikir. "Dasar bodoh!"

"Apa kau bilang?!"

"Tak ada malunya, anak kecil sampai kau lawan?"

"Jangan mengoreksi ku!"

"Bereskan kekacauan ini. Dan lagi, atas situasi ini kau lagi-lagi berhutang budi pada ku."

"Aku paling benci di perintah."

Tapi mau bagaimana lagi? Bian harus membersihkan makanan tumpah berserakan itu kalau mau selamat dari ancang-ancang para pelayan lain yang seperti hendak mengeroyoknya.

Ya, mereka memang pekerja yang begitu menjunjung tinggi reputasi usaha telah mensejahterakan hidup mereka. Dan kini tindakannya yang di anggap mencoreng citra yang di bangun, membuatnya seakan di pandang sebagai lalat yang harus di basmi.

"Bi, kau di panggil ke kantor."

Hufh... Baru kali ini Bian menyesal karena telah bermasalah, di adili karena perkaranya dengan seorang bocah?

"Ku harap itu bisa membuatnya di pecat."

Bisik-bisik segerombolan pelayan yang terdengar jelas sewaktu Bian lewat. Celetukan yang memang benar-benar di sengaja.

"Ya, kalian doa kan saja. Lagipula aku sudah muak di sini."

Ceklek

Naik ke lantai tiga, membuka salah satu ruangan dan menembak pertanyaan tanpa basa-basi. "Ada apa?"

"Hai, Bi. Akhirnya kita punya kesempatan untuk bertemu berdua seperti ini, ya?"

Salah. Bian di buat mematung selama beberapa detik di tengah ruangan itu. Bukan managernya, melainkan seseorang yang sangat tak di harapkannya datang. Memutar kursi dengan gaya pongah, menatapnya dengan senyum merendahkan.

"Ya, kesempatan kita untuk bertemu memang sangat terbatas."

Dia Devan. Seolah pertemuan kemaren masih tak bisa tak di akui posisi kemenangannya, pria munafik itu nampaknya ingin memperjelas lagi posisi Bian yang terinjak.

"Tempat ini semakin ramai. Tak ku sangka kau akan bertahan sampai sejauh ini, kira-kira satu tahun?"

"Aku hanya tak ingin terus-terusan merepotkan kak Mike."

"Atau sebenarnya kau yang dulu tak betah untuk terus di awasi? Ah... Aku bahkan masih mengingat saat kau mulai membangkang, mindik-mindik keluar dari rumah dan malah ke klub malam."

Senyum palsu yang di ulasnya seketika lenyap. Bian masih mencoba menanggapi baik demi janjinya pada Mike. Meski kepalan tangannya amat tak sabaran untuk melukai tampang menyebalkan itu.

"Hahahaa... Lucu sekali saat aku melihat mu sampai di bopong pulang oleh para pengawal."

"Sepertinya aku harus segera kembali."

"Apa boleh buat, seperti kata suami ku, kau ini orangnya memang terkesan sangat sibuk, ya?"

Bian yang memutar tubuh, gerakan langkah cepatnya yang ingin segera menggapai pintu seketika saja tersentil dengan ucapan Devan.

"Aku mencoba bersikap baik pada mu, jadi jangan coba uji kesabaran ku, Dev!"

"Eh? Memangnya apa yang salah dengan ucapan ku?"

"Tidak. Hanya kau saja yang terlalu menyebalkan. Katakan pada ku, bukankah kedatangan mu kemari hanya ingin menagih permintamaafan dari ku, benar?"

"Maaf?"

"Kau dan Mike, di antara kalian tak ada rahasia, kan? Dia pasti mengatakan pada mu umpatan ku kemarin, benar?"

"Belum lima menit, kenapa nada bicara mu sudah begitu tinggi pada ku? Aku bahkan tak mengerti, bagian kalimat ku yang mana hingga membuat mu bisa sampai tersinggung seperti itu. Bahkan kita belum sempat bertanya kabar, dan kau malah mengumpati ku di hadapan suami ku?"

"Tak sempat basa-basi, itu kan maksud mu?"

"Bi, bukankah kita ini kenalan lama? Kenapa kita tak kembali mengakrabkan diri lebih baik, sih?"

"Kau yang merusak rencana indah ku bersama orang yang benar-benar ku gilai. Menurut mu, apakah mendadak aku bisa sebaik itu untuk menerima memori perih yang masih membekas dengan cara menerima tawaran akrab mu?"

Bian yang makin terpancing. Upaya Devan untuk mengingatkannya pada sosok lama benar-benar berhasil membuat hatinya berdenyut, rasa sakit saat mengingat kekalahan yang menghancurkan hidupnya sampai titik terendah yang mustahil terlupakan.

"Cih! Sampai kapan pun, jangan harap nama mu bisa lenyap dari daftar orang yang begitu ku benci!"

Nächstes Kapitel