Sampai akhirnya pandangannya jatuh pada sesosok wanita yang berjalan cepat melewatinya. Bian bergegas beranjak dari tempatnya, tangannya melambai sembari berteriak memanggil Amel tanpa mempedulikan sang penjaga yang berlari untuk mengikuti langkahnya pula.
"A-mel! Apakah telinga mu tuli!?"
"Isshh..." Nampaknya Bian tak sadar diri jika tengah coba di hindari.
Langkah milik Amel berhenti mendadak, tubuhnya kaku untuk berbalik badan dan menghadap pada si pencari perhatian itu. "Ada yang bisa saya bantu, tuan?" Geram wanita itu dengan masih berusaha menjaga wibawanya dengan mengulas senyum, yang walau pun malah nampak mengerikan.
Demi apa pun, masih ingat jelas dalam ingatan Amel tentang awal pertama mengenal pria pendek di hadapannya itu. Kenalannya boss besar yang lagaknya menyaingi, sok berkuasa. Nada sengak saat bicara atau pun dagu yang terangkat terlalu tinggi saat menatap lawan bicara. Amel yang punya jabatan terpercaya resmi sebagai kaki tangan boss nya pun jelas tak terima jika di perlakukan terlalu rendah. Terlebih saat ia mengetahui sifat Bian yang makin menjadi setelah lewat hampir tujuh tahun ia mengenal. Sungguh, interaksi mereka bukan seperti kenalan baru yang seiring berjalannya waktu akan saling terbiasa dan berakhir menjadi teman baik, alih-alih layaknya majikan gelar rampasan yang memperlakukannya bak budak. Yang paling tak tau diri adalah Bian yang terlalu merepotkan bossnya tanpa kenal waktu.
"Dia mengganggu ku, padahal boss mu memanggil ku untuk segera datang ke ruangannya," adu Bian dengan bola mata memutar di akhiri lirikan tajam, dengusnya kasar. Tubuh kecilnya bergeser untuk berlindung di belakang wanita itu setelah balasan lebih sinis di dapatkannya dari pria tua itu. Meski tak bisa di pungkiri jika kedua kakinya seketika lemas saat melirik pentungan panjang yang di cengkram erat oleh pria. Tubuhnya berjengkit saat merasakan pergerakan di depannya, khawatir tiba-tiba saja benda tumpul itu refleks hinggap dan memecah tempurung kepalanya.
Namun Bian tetaplah Bian, sikapnya yang terlanjur pongah lantas angkat dagu untuk menantang setelah menelan ludah kasar. Pantang untuknya di pandang sepele, terlebih hanya karena perbandingan fisik yang mendominasi keberadaannya. Lengannya bahkan bersendekap amat percaya diri saat menyangkut pautkan sebuah nama yang tercantum memiliki artian tertinggi. Terlebih saat lawannya masih bersikeras untuk mengalahkan.
Pikir satpam yang malah melihat Bian seperti preman pasar tukang rusuh, bedanya hanya ini perkara kelas elite. "Maafkan saya nona Amel. Sebagai salah satu pengaman, saya harusnya tak hilang celah sedikit pun tentang ini. Maaf karena sudah membiarkan anak badung ini masuk dan mengaku-ngaku sebagai kerabatnya boss."
Mendengarnya, mata Bian sontak langsung melotot, Amel di dorong untuk menyingkir dari semula tembok persembunyiannya, hatinya geram. "Penipu? Pasti seragam putih mengkilap mu itu masih belum sempat terkena injakan sendal ku sampai-sampai kau bersikap lancang seperti ini! Mau coba bermain-main dengan ku, eh?!"
Suara Bian yang makin meninggi membuat orang-orang yang hilir mudik di ruangan luas tanpa pembatas itu kompak teralihkan fokus. Pagi hari dengan para pekerja yang sibuk mengumpulkan konsentrasi seketika saja buyar, pada dasarnya melihat perseteruan itu jauh lebih menggoda. Lebih-lebih saat Bian yang merupakan tamu rutin bulanan makin tak segan untuk beraksi. Langkahnya mengikis jarak cepat. Mendonggakkan pandang pada petugas baru yang merunduk dalam mendadak terintimidasi.
"Woh! Berpredikat sebagai kerabat boss besar saja sudah punya kuasa semena-mena seperti itu, bagaimana jika pria tak sopan itu menjadi bagian dari pemilik perusahaan raksasa seperti ini?"
"Yang pertama kali dia lakukan pastinya adalah dengan merobek mulut mu yang lancang menggunjingnya!"
Komentar dua orang yang berargumen di balik meja resepsionisnya sewaktu Bian tanpa punya belas kasih mendorong bahu pria paruh baya itu. Menyesakkan jalan semakin mundur, benar-benar menginjak-injak harga diri siapa pun yang berniat menantang.
"Apa perlu ku berikan kau balasan agar sedikit menghormati ku yang dekat dengan penjamin hidup mu ini?" Tekan Bian dengan bisikan menusuknya. Amat serius dan mendominasi. Ya, jika sudah seperti itu tak ada yang akan berani mengelak.
"Ampun, maafkan saya tuan!" Ancaman Bian lebih arogan, yang seketika saja membuat pria itu tersentak, membungkukkan setengah badan sambil memohon maaf berulang kali sebelum di usir pergi kembali ke tugasnya.
"Sialan! Posisi rendahan saja belagak berani memandang ku dengan penuh pelecehan seperti itu," gerutu Bian yang membuat Amel geleng-geleng kepala. Terlebih saat Bian yang semakin menjadi dengan sikap sok berkuasa di tambah sok akrabnya.
Tubuh mungil itu berbalik, mengubah raut wajah psiko nya menjadi sepolos bocah yang hendak membujuk meminta sebungkus permen.
Pukk pukkk
Amel beringsut menjauh dengan menahan desisan, dahinya mengernyit saat mendapatkan tepukan di bahunya. Lebih sialnya, Bian yang di anggap tak tau diri malah menambahkan. "Bagus. Kesalahan mu tak menyambut ku di pintu depan sudah ku maafkan karena kau sudah membantu ku menyingkirkan pria cabul itu. Yah... Walau hanya mematung tak berguna saja sedari tadi. Sungguh, aku tak bermasalah... Hanya saja, lain kali jangan di ulangi lagi ya, cantik..."
Bian dengan senyum lebarnya mencolek dagu Amel. Puas membuat pria paruh baya yang belagak garang itu keluar keringat dingin, di tambah permainan sederhanannya untuk menciutkan harga diri terlalu tinggi milik Amel yang seakan menjatuhkannya itu.
Memberi hentakan keras, pria paruh bawa yang masih mengintip di sudut tersembunyi itu seketika saja berjengkit layaknya ayam berlari kelabakan setelah di gertak.
Senyum miringnya makin melebar, sebagai peringatan untuk tak berani macam-macam lagi dengannya. Sampai lift yang membawanya bersama dengan wanita itu berhasil mendarat di lantai tertinggi.
Wanita bernama Amel itu berhenti mendadak setelah menginjak lantai tempat ruangannya berada. Melirik Bian yang masih saja tak berubah dari sejak awal ia bertemu. Sangat kekanakan.
"Jangan lupa, aku tak suka kopi. Berikan minuman apa pun kecuali cairan hitam yang akan membuat gigi ku hitam itu."
"Lain kali datanglah dengan pakaian rapi, supaya tak merepotkan," peringat wanita yang berbelok ke arah meja khususnya. Membuat Bian otomatis mengernyitkan dahi dengan bibir yang di kerucutkan.
Hei, bahkan permintaannya di abaikan. Berani sekali wanita itu memerintahnya!?
"Tapi boss mu tak pernah melarang ku," tukas Bian yang kemudian memilih melanjutkan perjalanannya tanpa berniat sedikit pun untuk mengucapkan terimakasih.
"Hai, kak!"
Hanya sepersekian detik, wajah sengak Bian berubah menjadi amat manis dengan sikap manja yang terlalu berlebihan. Dengan lari kecil setengah berjingkraknya, mendatangi seorang pria yang siap menantinya di meja kebesaran. Lengan kecil Bian yang terbuka lebar, lantas menuntun pria perkasa itu untuk mendekapnya.
Dan demi apa pun, berada di pangkuan pria itu membuat Bian selalu merasa aman. Bahkan matanya pun sampai terpejam dengan senyum lebarnya yang menghiasi bibir, mengkhayati beberapa saat kedamaian hidup melingkupinya.
Ya, walau hanya sesaat.
"Sudah makan?"
Bian mengangkat pandangannya dari dada pria itu, merasakan usapan penuh kasih sayang di pangkal surainya. Perhatian kecil yang sampai-sampai membuat pipinya merona.
"Heemmm... Dari pada memikirkan masalah perut, aku lebih suka untuk melanjutkan tidur ku lagi, kak."