webnovel

Dua belas

Sudah hampir tiga jam Arga dan Eza berada dalam ruangan bu Astuti. Selama itu juga mata Arga di paksakan untuk melihat aksi-aksi bu Astuti yang seperti dengan sengaja menggoda Eza. Hal itu membuat Arga semakin meradang dan merasa dongkol. Untung saja Arga masih bisa menahan emosinya.

Sebenarnya bisa saja Arga berbuat nekat, tapi itu tidak mungkin Arga lakukan karna pasti akan merusak segalanya. Arga masih bisa berpikir jernih untuk menahan rasa geramnya akibat cemburu.

Teakanan darah Arga selalu naik tiap kali melihat Eza seakan meladeni sifat genit bu Astuti. Dan yang membuat ia heran, Arga merasa bu Astuti seperti mengulur-urlur waktu supaya bisa lebih lama berdekatan dengan Eza.

Hingga akhirnya Arga bernapas dengan lega, lantaran waktu yang ia tunggu sudah tiba. Yaitu waktu di mana mereka harus meninggalkan ruangan bu Astuti. Berada di ruangan itu benar-benar membuat Arga merasa seperti di neraka, dan tingkah bu Astuti terhadap Eza sebagai siksaanya.

Setelah bu Astuti menandatangani kontrak kerja yang Eza dan Arga bawa, mereka ber tiga beranjak dari tempat duduknya masing-masing.

Terlihat Eza berjabatan tangan dengan bu Astuti dengan waktu yang sangat lama. Hal itu membuat Arga yang sudah terbakar api cemburu, semakin muak saja melihatnya.

Rasanya ia ingin menyingkirkan tangan bu Astuti yang sedang meremas penuh arti--semacam undangan terbuka, namun sayang, lagi-lagi Arga hanya bisa mengumpat di hatinya.

"Terima kasih untuk semuanya bu Astuti, semoga kerja sama kita akan berjalan lancar. Kami akan berusaha untuk tidak mengecewakan." ucap Eza ditengah jabatan tangan yang masih berlangsung.

Ibu Astuti tersenyum simpul, "sama sama mas Eza aku percaya sama mas Eza." Balas bu Astuti yang sempat memberi tahu bahwa ia adalah seorang single perent. Kemudian ia menoleh kepada Arga yang sudah berdiri di samping Eza. "Terima kasih juga mas Arga."

Meski sedang di bakar api cemburu, tapi tetap saja, Arga tidak bisa menolak uluran tangan bu Astuti. "Sama-sama bu Astuti."

Selesai dengan urusan jabat tangan, ketiganya berjalan ke arah pintu keluar, meninggalankan ruangan bu Astuti. Ruangan yang katanya seperti di neraka--bagi Arga.

"Mas Eza."

Belum sempat Arga membuka pintu, meraka harus berhenti, lantaran ibu Astuti memanggilnya.

"Ada apa, bu?" Sahut Eza setelah berhadapan dengan ibu Astuti.

"Sudah jam makan siang, gimana kalo kita makan siang bareng aja. Supaya bisa lebih dekat. Terus kerjasama bisa berjalan lancar." Tawar bu Astuti yang membuat tenggorokan Arga rasanya seperti tercekat.

Apa lagi ini?

"-restoran langganan saya enak lho." lanjut bu Astuti.

Setelah berpikir selama beberapa detik, Eza mengulas senyum, "O_"

"Nggak usah bu Astuti," sambar Arga yang membuat Eza mengurungkan niatnya untuk mengatakan 'Oke'. "Terima Kasih banyak bu Astuti. Lain kali mungkin kami bisa. Hari ini kami masih harus menemui beberapa client lagi." Jawab Arga, yang membuat kening Eza berkerut, menatapnya heran.

Eza ingat betul, hari ini cuma ada pertemuan dengan ibu Astuti. Namun ia tidak mau banyak komentar. Mungkin Arga sudah lelah, dan ingin segera pulang ke rumah.

Meski kecewa, ibu Astuti tetap mengulas senyumnya. "Yaudah kalau begitu, hati-hati di jalan."

Setelah menganggukan kepala--menanggapi ibu Astuti, Eza dan Arga keluar ruangan.

Ibu Astuti menutup kembali pintunya, setelah melihat dua pemuda yang usianya sama itu sudah menjauh dari pandangannya.

===

Emosi yang masih tersisa memaksa Arga berjalan lebih cepat, cenderung tergesa. Semantara Eza hanya mampu memandang punggung Arga, tanpa tahu apa yang sedang di rasakan oleh oleh pemuda yang sudah mengisi relung hatinya. Keduanya masih terdiam hingga langkah kaki membawa mereka sampai di lokasi parkir, tempat di mana motor mereka di parkirkan.

Selama perjalanan menuju ke rumah sewa, tidak ada yang mereka bicarakan. Meski Eza tetap memeluknya di belakang, tapi tetap saja, bayangan ibu Astuti membuat ia tidak ingin bercanda dengan cowok yang sedang menopangkan dagu di pundaknya.

Rasa kesal yang belum kunjung hilang, memaksa Arga lebih kencang membawa motornya. Hingga akhirnya keduanya sampai di rumah lebih cepat dari biasanya.

Eza baru menyadari ada yang berbeda dari Arga setelah ia melihat tidak ada balasan senyum yang ia berikan. Keyakinannya diperkuat oleh cara Arga yang sedang membuka sepatu dengan tergesa, lalu membuka pintu dan menutup nya kembali dengan cara dibanting.

Setelah masuk ke dalam rumah Eza melihat Arga sedang duduk menyandar pada sofa, dengan memasang wajah angkuh. Setelah menghela napas lembut, Eza berjalan ke arah dapur. Mengambil satu botol minuman dalam lemari es, kemudian ia menuangkan ke dalam gelas. Setelah meneguknya hingga tandas, ia kembali menuangkan satu gelas, yang akan ia paruntukan buat Arga.

Meski Eza belum tahu penyebab marahnya, tapi ia berharap air mineral yang dingin bisa meredakan hawa panas dalam diri Arga.

"Minum, Ga." Tawar Eza saat sudah berdiri di dekat Arga.

Masih dengan wajah angkuh, manik mata Arga melirik sekilas pada gelas yang masih terulur padanya. "Nggak haus." Telapak tangannya menyingkirkan tangan Eza--hingga membuatnya terguncang, menumpahkan air yang ada di dalamnya.

Untung saja pegangan Eza pada gelas lumayan kuat, sehingga tidak membuatnya terjatuh.

Tanpa merasa bersalah, Arga menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Manik matanya mencuri lirik pada pakaian Eza yang sudah basah karena ulahnya.

"Kamu kenapa sih gak?!" Kesal Eza, yang tidak mendapat respon apapun dari pemuda yang masih menekuk wajahnya. Ia menghela napas panjang, lalu menjatuhkan pantatnya di sofa, duduk di samping Arga. Berusaha untuk bersabar, Eza meletakan telapak tangannya di sebelah pundak Arga, lalu memberikan sedikit pijatan di sana. "Oh iya Ga, tadi kamu kok bohong sama ibu Astuti. Bukanya kita nggak ada jadwal sama client lian ya?"

Pertanyaan Eza sukses membuat Arga yang sedang kesal, menjadi semakin meradang. Secara kasar Arga menyingkirkan telapak tangan Eza dari pundaknya. Ia berdiri dari duduknya, lalu menatap marah pada cowok yang kini sedang heran karena perubahannya. "Oh, jadi kamu masih pingin mesra-mesraan sama dia, tanpa perduli sama aku?"

Kalimat yang meluncur dari mulut Arga tentu saja membuat Eza menarik wajah, semakin heran menatapnya.

"-yudah sana balik lagi. Pegang terus tangan bu Astuti." Arga memalingkan wajahnya kemana saja, menyembunyikan rasa emosi yang kini sudah bercampur malu, akbiat kalimat yang dengan enteng ia ucapkan begitu saja. Eza pasti berpikir yang macam-macam.

Setelah terdiam dan berpikir selama beberapa saat, Eza manrik kedua ujung bibirnya, tersenyum nyengir. Melihat ekspresi wajah dan mendengar kalimat Arga--lalu Eza mengambil kesimpulan, bahwa ada kecemburuan di sana. Akhirnya ia bisa tahu alasan yang membuat Arga marah padanya.

Ia berdiri dari duduknya, berhadapan dengan Arga dengan jarak tidak lebih dari dua jengkal. Menggunakan ibu jari dan telunjuknya, Eza menjepit hidung Arga, sedikit menariknya.

"Oh, jadi ceritanya ada yang lagi cemburu." Goda Eza yang membuat wajah Arga menjadi salah tingkah.

Arga menyingkirkan tangan Eza dari hidungnya. Wajahnya masih terlihat kesal. "Nggak usah ngeledek. Aku serius!"

"Aku juga serius kalau aku nggak tau kamu cemburu." Eza mengehela napas sebelum akhirnya berbicara dengan lembut. "Denger gak, bu Astuti itu client. Nggak ada salahnya kalau kita ramah sama dia. Nggak usah cemburu yang penting itukan hati ku."

Pernyataan Eza barusan membuat Arga tidak mampu mempertahan wajah kesalnya. Sedikit demi sedikit ia menarik ujung bibirnya. Tersenyum namun ia tahan, tertutup gengsi.

"-tapi aku seneng lho kalau kamu cemburu. Perasaan cinta aku enggak bertepuk sebelah tangan." Lanjut Eza yang semakin membuat Arga tidak mampu menahan senyumnya.

Arga mendorong sedikit tubuh Eza, hingga membuatnya mundur beberapa langkah. "Terserah lah, mau mandi." Setelah menyampaikan itu ia berlalu meninggalkan Eza. Ia tersenyum nyengir, di tengah perjalanannya ke kamar mandi.

"Mandi bareng nggak?" Goda Eza.

"Nggak!"

Eza menghela napas lega sebelum akhirnya menjatuhkan kembali tubuhnya pada sofa. Ia tersenyum nyengir seraya menggelang-gelengkan  kepalanya.

===

Tbc

Nächstes Kapitel