Eza dan Arga saling bersitatap, keduanya nampak tersipu setelah adegan ciuman mereka terganggu oleh bunyi dering panggilan telfon masuk dari HP milik Eza.
Arga membuang napas lega, seraya tersenyum simpul. Sorot matanya lurus menatap wajah Eza yang juga sedang menatap dirinya.
"Tias telfon," ucap Eza saat melihat nama Tias tertera di layar HPnya. "Aku ke ruang tamu dulu." Pamit Eza. Kemudian ia berjalan ke ruang tamu sambil menempelkan HP di telinganya.
Sedangkan Arga menyandarkan tubuhnya di kepala dipan, setelah Eza sudah keluar dari kamar mereka.
Tidak terasa, sudah satu jam lebih Eza mengobrol lewat telfon bersama Tias. Hanya obrolan ngalor ngidul yang tidak seberapa penting. Tias hanya memebritahu kalau selama Eza berada di luar kota, ia selalu tidur di rumahnya menemani ibunya.
Selain itu Tias juga menyampaikan rasa rindunya kepada sahabatnya. Meski kadang mereka__Tias dan Eza sering bertengkar, namun kalau salah satu diantara mereka pergi, pasti rasa rindu pasti datang menghampiri.
Setelah selesai mengobrol lewat udara dengan Tias, Eza kembali masuk kedalam kamarnya.
Sesampainya di dalam kamar, Eza mengulas senyum, melihat Arga yang sudah tertidur pulas.
Langkah kaki Eza membawanya sampai di samping dipan, di samping Arga yang tengah tidur dengan posisi meringkuk__kedinginan. Kemudian ia menarik selimut yang ada di dekat kaki Arga, lalu menutupi tubuh Arga dengan selimut tersebut.
Beberapa saat kemudian, Eza ikut membaringkan dirinya di atas kasur, persis di samping Eza. Merapatkan tubuhnya, perlahan Eza mengalungkan pergelangannya di dada Arga, lalu mendekapnya.
Hangat, itu yang Eza rasakan saat tubuhnya memeluk erat tubuh Arga. Selain hangat, ada rasa nyaman yang membuat hatinya menjadi berdesir. pada saat memeluk Arga.
Walapun merasa agak sedikit aneh, tapi ia tidak ingin memungkiri perasaan kalau ternyata kenyamanan yang ia cari selama ini, ada pada saat ia sedang memeluk Arga.
Mau bagaimana lagi? Karena hanya Arga yang mampu membuatnya tersenyum. Yang perduli padanya, mengerti, perhatian, dan bisa membuat ia lupa dengan tunangannya yang sama sekali tidak pernah memberi kabar padanya.
***
Pagi itu di rumah Eza, Tias sedang membantu ibunya Eza menyipakan sarapan.
"Gimana kabar Eza sama Arga?" Ibu Eza membuka pembicaraan ditengah ia sedang menata piring di atas meja.
"Baik ma," jawab Tias. "Ohiya, tadi malam Tias telfon Eza, dia titip salam buat mama kangen katanya.
Senyum keibuan terbit di bibir wanita paruh baya yang dipanggil mamah sama Eza. "Ngomong-ngomong kapan katanya mereka pulang?"
"Yah belum pasti lah, mah. Kan masih banyak yang harus diselesaikan, tapi diusahakan secepat munkin Eza dan Arga pulang." Jelas Tias.
Ibu Eza terdiam, sambil melanjutkan aktifitasnya. "Mira sama Eza baik-baik aja kan?"
Ibu Eza tahu persis kedekatan antara Mira, Tias dan juga Eza. Makanya ia yakin Tias pasti tahu banyak tentang hubungan anaknya dengan Mira.
Tias terdiam, ia menghentikan aktifitasnya, lalu berjalan mendekati ibu Eza. "Baik ma..." ucap Tias saat ia sudah berdiri di belakang ibu Eza. Tangan mungilnya melingkar di pinggang ibu Eza lalu memeluknya penuh kasih. "Komunikasi mereka juga masih lancar kok..."
"Oh... syukurlah," jawab ibu Eza. "Tapi Mira nggak pernah telfon mamah..."
Kata-kata ibu Eza membuat senyum Tias memudar, dan wajahnya berubah menjadi datar.
"Lagi sibuk-sibuknya, mah. Tapi dia nitip salam terus kok kalo habis telfonan." Ucap Tias mencoba membuat ibu Eza supaya tidak berfikir yang macam.
***
Seperti waktu yang akan terus berjalan, tanpa ada yang mampu mencegahnya. Begitupun dengan sebuah perasaan yang sulit untuk dicegah. Terus berkembang, seiring berjalannya waktu.
Kebersamaan yang membuat Arga dan Eza menjadi terbiasa, untuk saling berbagi, mengisi, dan saling melengkapi. Hingga akhirnya perasaan mereka semakin menguat, tumbuh dengan sendirinya tanpa ada yang menjalankannya. Lalu keduanya mengakui jika perasaan indah yang sedang melanda mereka adalah cinta__namun terlarang.
Entah sudah berapa lama Eza dan Arga berada di Jogja. Yang jelas, semakin hari hubungan asmara mereka semakin dekat saja. Hal itu juga ikut berpengaruh pada hubungan pekerjaan mereka. Keduanya jadi lebih bersemangat menjalani aktifitas, dan pekerjaan mereka selalu di kerjakan dengan sangat baik.
Pagi hari di ruang tamu, sebelum melakukan aktifitas, seperti biasa Eza membuka laptop dan memriksa E-mail yang masuk.
Tiba-tiba saja, terlihat senyum Eza mengembang. Bola matanya terlihat berbinar, dan wajahnya terlihat sangat bahagia__saat ia membaca kiriman Email dari Tias.
Melalui pesan email, Tias meng informasikan; bahawa 75% persen toko-toko dan beberapa swalayan telah menghubingi kantornya yang berada di Lampung.
Mereka senang atas proposal dan presentasi yang dilakukan oleh Eza dan Arga. Mereka juga tertarik dengan produk dari kantor. Oleh sebab itu, mereka ingin menjalin kerjasama dan menerima suplay barang langsung dari kantor.
"Yes!" Girang Eza sambil mengepalkan jemarinya.
Beranjak dari duduknya, Eza bergegas ingin segera memberitahu tahu kabar baik itu kepada Arga. Penuh dengan semangat, Eza berjalan cepat ke arah kamar sambil menerikan nama 'Arga'.
Eza terdiam, saat ia tidak menemukan sosok Arga di dalam kamar.
"Arga...!" Panggil Eza sambil berjalan ke kamar mandi. Kening Eza berkerut saat ia juga tidak mendapati Arga di kamar mandi.
"Kemana tuh orang?" Gumam Eza, kemudian ia berinisiatif mencari Arga di dapur, dan berharap Arga ada di sana.
Namun sayang, lagi-lagi Eza harus kecewa lantaran ia tidak melihat Arga berada di dapur. Kemudian Ia berjalan ke arah pintu dapur, lalu membukanya. Akhirnya, Eza bisa bernapas dengan legah karena melihat sosok yang sedang ia cari ternyata sedang berdiri__memunggunginya di pekarangan belakang rumah.
Eza mengulas senyum, sambil bergegas berjalan mendekati Arga. Rasanya ia sangat sudah tidak sabar ingin segera memberitahu perihal kabar baik tersebut.
Eza mengurungkan niatnya yang akan memanggil Arga, saat ia mendengar Arga sedang berbicara dengan sesorang melalui sambungan telfon.
Di belakang tubuh Arga, Eza berdiri mematung. Dengan jarak yang cukup dekat, ia bisa mendengar apa yang sedang dikatakan sama Arga dengan orang yang sedang menelponnya.
"Iya pak, tapi aku belum satu bulan kerja. Mana bisa kasbon." Ucap Arga pada orang dari seberang sana.
"..."
Meski Eza tidak bisa mendengar apa yang disampaikan oleh lawan bicara Arga, tapi mendengar kata-kata Arga barusan, Eza bisa langsung mengerti kalau Arga sedang membutuhkan uang.
"Trus udah berapa bulan bapak nunggak?" Suara Arga terdengar sangat putus asa.
"..."
Arga menghela napas, ia merasa sangat sesak mendengarkan jawaban dari sambungan telfon.
"Yaampun, jadi adek juga belum bayar semester?" Arga berdecak putus asa dengan kabar baru yang ia dengar dari orang tuanya.
"..."
"Yaudah, nanti aku usahain. Udah dulu pak aku mau siap-siap kerja. Assalamualaikum...."
Setelah mendapat balasan salam dari ayahnya, Arga menutup sambungan telfon. Memutar tubuhnya, lalu deg...!
Arga terkejut saat melihat sosok Eza sudah berdiri mematung tepat di hadapannya.
"Ka-kamu di sini?" Gugup Arga. Ia berusaha tersenyum untuk menyembunyikan kesedihan dan kebingungannya. "Dari kapan, ngagetin aja..."
Eza tersenyum simpul, "dari tadi," jawabnya.
Jawaban Eza membuat Arga mengerutkan. Sepertinya usahanya untuk menjauh, supaya obrolannya dengan orang tuanya tidak didengar oleh Eza sia-sia.
"Nggak usah bingung," ucap Eza sambil melangkahkan kakinya, berjalan mendekati Arga. Eza mengulurkan kedua tangannya, meraih pundak Arga lalu meremasnya, berusaha memberikan ketenangan pada Arga. "Bilang sama bapak, jangan khawatir lusa uangnya dikirim."
Tebakan Arga ternyata benar, Eza mendengar obrolannya dengan orang tuanya melalui telfon.
"Tapi..."
"Ada kabar bagus," ucap Eza yang membuat kening Arga berkerut.
"Kabar bagus apa?" tanya Arga.
"Kerja keras kita nggak sia-sia. Tadi aku dapet kabar dari kantor. Katanya banyak yang kerjasama sama perusahaan kita. Bahkan mereka mau membayar uang muka sebelum produk kita dikirim..."
"Serius?" Girang Arga seolah tidak percaya. Wajahnya yang murung berubah menjadi berbinar.
"Iya serius!" Jawab Eza yakin.
Seketika wajah Arga berubah 180 derajat, wajah yang tadinya terlihat mendung tiba-tiba berubah menjadi terang benderang. senyum manispun melengkung di bibirnya yang seksinya.
"Alhamduliah, syukurlah..." ucap Arga. Kemduian tanpa sadar ia menghamburkan tubuhnya memeluk erat tubuh Eza. "Berkat kerja keras kamu."
Eza mengurai pelukan Arga, mendorong tubuhnya pelan, lalu menatapnya teduh. "Bukan aku, tapi kita..." ucapnya.
Keduanya saling tersenyum simpul, dan bersitatap selama beberapa saat. Kemudian secara perlahan mereka saling mendekatkan wajah masing-masing, hingga akhirnya jarak wajah semakin dekat lalu, cup! Ciuman pun terjadi antara Arga dan juga Eza.
Mereka saling memejamkan mata, saling meresapi dan menikmati tiap-tiap lumatan bibir masing-masing. Untung saja, di belakang rumah di kelilingi oleh tembok yang menjulang tinggi, sehingga tidak ada satupun orang yang melihat adegan ciuman antara Arga dengan Eza.
Tbc