webnovel

Masalah datang

Lukman memberhentikan motor sebelum ia masuk ke dalam pintu gerbang sekolah. Ia menoleh ke arah tempat di mana Aden sering menjual ciloknya. Lukman mengerutkan keningnya, dan merasa heran karena tidak melihat sosok Aden berada di sana.

Hanya kebetulan kah? atau memang ada sesuatu yang disembunyikan sama Pandu. Karena, Aden tidak berjualan bertepatan dengan Pandu yang tidak masuk sekolah hari ini, sehingga itu membuatnya jadi memikirkan sesuatu. Entahlah, karena terkadang orang kalau sudah mempunyai pikiran yang negative, apapun selalu dikait-kaitkan.

Hari ini Lukman memang berhasil meyakinkan ibu Veronica agar Pandu tidak masuk sekolah. Lukman hanya berbohong kepada ibu Veronica kalau hari ini akan ada pertandingan basket antara kelas sebelas dengan kelas dua belas. Ibu Veronica yang memang tidak pernah setuju kalau Pandu selalu berhubungan dengan yang namanya olahraga, termasuk basket. Maka dari itu ia bisa langsung percaya begitu saja sama kata-kata Lukman. Selain itu, hari ini ia terlalu sibuk dengan acara arisannya, sehingga ia tidak bisa berpikir jernih.

Bagi ibu Veronica, yang terpenting jangan sampai Pandu bermain basket.

"Ngilatin apaan kak?" Tanya seorang remaja putra yang entah sejak kapan berada di belakang Lukman.

Lukman sedikit tersentak karenanya.

"Eh...Kepo lu," ketus Lukman, setelah ia melihat siapa yang sudah menegurnya. "Ngagetin aja."

"Yee... cuma nanya doang, jutek amat jawabnya," protes Tristant. Karena tidak ditanggapi dengan baik oleh Lukman, maka dari itu Tristant langsung berlalu meninggalkan Lukman.

"Tris tunggu..." panggil Lukman, kemudian ia menjalankan motor dengan menggunakan kedua kaki, karena ia masih duduk di atas motornya.

"Apaan kak?" Tanya Tristant setelah ia berbalik badan, dan menatap Lukman.

Lukam diam sejenak, ia mengamati wajah Tristan dengan seksama. Sebenarnya ia hanya ingin bertanya kepada Tristant, apa rasa kagumnya terhadap Pandu masih bertahan, atau sudah berpindah padanya. Cuma Lukman bingung harus memulainya dari mana.

"Lu... em," Lukman menjedah kalimatnya, membuat Tristant heran, hingga keningnya sampai berkerut.

"Apaan sih?" Tanya Tristan lagi.

"Lu masih suka sama Pandu?"

Pertanyaan Lukman membuat Tristan menarik ujung bibirnya, ia tersenyum menceng dan tertawa pelan. Tristan merasa heran, apa sih maksudnya Lukman ini? Bagi Tristant Lukman ini benar-benar ambygu. Apa iya Lukman sebenarnya suka sama Tristant? makanya Lukman sampai beberapa kali menanyakan hal itu kepada Tristant?

Jujur saja sih, sikap Lukman yang seperti itu, membuat Tristant menjadi gede rasa. Ia bisa mengambil kesimpulan kalau Lukman menyukainya. Selain itu Lukman sudah dua kali, memberikan sesuatu yang indah untuk Tristant. Tapi yang membuat Tristant terkadang membuang jauh-jauh pikirannya itu, karena Lukman selalu bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa setelah mereka melakukan adegan itu.

Tristant bingung, sebenarnya maunya Lukman itu apa? tapi tingkah Lukman itu membuat Tristan jadi menemukan ide untuk menggoda Lukman.

Tristan maju beberapa langkah, mendekati Lukman. Ia mendekatkan wajahnya tepat di wajah Lukman.

"Emang kenapa sih kak? lu suka sama gue?" Ledek Tristant dengan ekspresi wajah yang menggoda. "Lu cemburu?"

"Najis..." potong Lukman. "Amit-amit deh gue suka sama lu." Imbuhnya dengan tegas.

Pernyataan Lukman sontak membuat Tristant mendengus kesal, "trus kenapa kak Lukman nanyain itu lagi?"

"Ya... gue," Lukman nampak gelagapan menjawabnya. Ia mencoba menenangkan diri agar tidak terlihat gugup di hadapan Tristant. "Gue kan cuma pingin tau doang, kalo masih ntar gue bantu deh." Ucap Lukman berbohong. Ia tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya kepada Tristan.

"-gimana? Masih?" Tanya Lukman kembali, sorot matanya menatap Tristant dengan tatapan penuh selidik.

Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya Tristant hembuskan secara perlahan. Tristant berpikir sejenak, kemudian ia menemukan seperti ada sesuatu yang ganjal sama tingkah laku Lukman.

"Gue heran deh kak sama lu, sebenarnya tujuan kak Lukman itu apaan sih? oke gue seneng kalo kak Lukman bantu gue. Tapi gue jadi mikir kak."

Lukman menarik wajahnya, ia memotong kalimat Tristant. "Mikir apa?"

"Gue nggak yakin lu beneran bisa bantuin gue kak. Lagian apa kak Lukman berani nyuruh kak Pandu biar mau ama gue? Bisa gua bayangin marahnya kak Pandu kaya apa? Lu siap kak? Lagian apa untungnya juga sih buat kak Lukman? Emangnya kak Lukman seneng kalo temen sendiri jadi maho keyak gue?"

Skakmat! Penjelasan Tristant yang panjang lebar itu membuat Lukman menelan ludah. Wajahnya terlihat salah tingkah. Ia tidak menyangka Ttistant sampai berpikir seperti itu.

"Sekarang gue jawab pertanyaan lu kak, gue emang suka sama kak Pandu dari pertama gue lihat dia. Sampe sekarang, sampe detik ini, rasa suka gue belum berkurang sedikitpun." Ungkap Tristant dengan tegas dan jelas. Untung saja halaman sekolah masih terlihat sepi, jadi tidak ada yang mendengar obrolan mereka.

Sebenarnya cuma jawaban itu yang Lukman tunggu, masih apa enggak? dan Tristant menjawab masih. Itu membuat Lukman merasa kesal. Masak iya sudah dua kali Tristant merasakan alat vitalnya tapi masih tetap menyukai Pandu.

"Tapi kok lu mau ama gue?" Tanya Lukman.

Tristant kembali mendengus kesal, ia benar-benar dibuat pusing sama Lukman.

"Kalo lu nggak ngasih, nggak nawarin, gue juga enggak mau kali kak." Tegas Tristant.

Sekakmat untuk kedua kalinya. Lukman terjebak sama pertanyaannya sendiri. Karena dua kali mereka melakukan itu, bukan karena Ttristant yang meminta. Tapi justru Lukman yang memulai atau mengajaknya.

"Udah ah kak, jangan pancing-pancing gue lagi. Gue nggak mau nanti ada yang denger. Kakak juga nggak mau itu kan?" Kata Tristant. Kemudian ia kembali melanjutkan perjalanannya.

Lukman diam di tempat sambil memandang punggung Tristant, rasanya ia belum puas hanya sampai di situ. Bagaimanapun Tristant harus menyukainya.

"Trist tunggu..." panggil Lukman kembali. "Gue belum selesai."

Kemudian Lukman kembali menjalankan motornya dengan kedua kakinya, berusaha mendekati Tristant.

"Apa lagi kak?" Tanya Tristant setelah Lukman sudah berada dekat dengannya.

"Oke terserah lu deh masih suka ama Pandu atau enggak. Gue nggak mau tanya-tanya lagi. Tapi ntar pulang sekolah lu main kerumah gue ya?" Ajak Lukman. Entah apa lagi yang akan Lukman rencanakan. Rasanya susah sekali menaklukan Tristant supaya menjadi suka padanya.

"Mau ngapain?" Tanya Tristant. Ia menatap Lukman dengan tatapan penuh selidik.

"Emang lu udah nggak mau ngrasain punya gue lagi?"

Kalau sudah ditanya seperti itu Tristant menjadi bingung. Ia mendadak lemah dan tidak kuasa menolaknya. Apalagi cara mata lukman benar-benar menggoda. Pikiran Tristant langsung menuju ke arah selangkangan Lukman yang masih dibungkus celana seragam sekolahnya. Ia terdiam, hatinya benar-benar gelisah.

"Kok diem?" Tegur Lukman sambil mengedipkan sebelah matanya.

Lukman semakin membuat Tristant semakin lemah, hatinya berdesir dan naluri gaynya meronta-meronta.

"Nggak mau?" Tanya Lukman kembali.

Tristant menatap lekat-lekat wajah Lukman, entah kenapa untuk saat ini merasa gengsi untuk langsung menerimanya.

Terlihat Lukman mencondongkan tubuhnya, ia berusaha mendekatkan wajahnya ke telinga Lukman.

"Yaudah ntar pulang sekolah, lu gue tunggu di depan gerbang." Ucap Lukman dengan suara yang berbisik.

Setelah membisikan itu kepada Tristant, Lukman menghidupkan motornya sambil melirik penuh arti ke arah Tristant. Beberapa saat kemudian Lukman pun berlalu meninggalkan Tristant tanpa menunggu jawaban darinya.

Beberapa menit kemudian, terlihat Lukman berjalan menelusuri koridor sekolah. Ia memang salah satu cowok populer di sekolahnya. Nomor dua setelah Pandu. Jadi tidak salah jika saat berjalan banyak sekali cewek-cewek yang meliriknya. Hanya jika ia berjalan beriiringan dengan Pandu, pesonanya seolah tenggelam. Karena mereka para cewek lebih suka melihat Pandu ketimbang Lukman. Itu sebabnya ia merasa tersaingi, sehingga siapapun yang terlihat menonjol mendekati Pandu, ia selalu berusaha dengan keras untuk menggoda orang itu.

"Lukman..."

Suara lembut seorang cewek menghentikan perjalanan Lukman yang akan masuk ke kelasnya. Suara yang cukup akrab detilanganya, karena cewek itu sudah resmi menjadi pacar Lukman.

"Ada apa?" Tanya Lukman setelah Salsa sudah berdiri tepat di hadapannya.

"Ntar pulang sekolah anter gue ke mall yuk," ucap Salsa penuh harap.

Lukman diam, menatap wajah Salsa lekat-lekat. Ingin sekali ia menerima ajakan Salsa, namun ia teringat kalau sudah ada janji dengan Tristant. Sebenarnya sebagai lelaki normal tentu saja lebih memilih jalan bersama cewek secantik Salsa. Tapi karena ia sudah mendapatkan hati dan bibir Salsa, sehingga ia merasa tidak ada yang perlu diperjuangkan lagi dari Salsa.

"Sorry gue nggak bisa," Lukman menolak secara halus, kemudian ia melanjutkan perjalanannya menuju ke kelas, sedangkan Salsa mencoba mengimbangi langkah kaki Lukman. "Lain kali aja ya, gue ada janji soalnya."

Salsa mendengus kesal, ia merasa Lukman berubah akhir-akhir ini. "Lu kenapa sih? ini bukan sekali doang lu nolak ajak gue." Tanya Salsa penuh selidik.

"Bukan gitu, gue emang lagi sibuk." Tegas Lukman sambil terus berjalan santai ke arah kelasnya. "Gue janji kalau udah nggak sibuk gue bakal habisin waktu gue sama lu."

"Udahlah terserah lu aja, gue bete sama lu." Dengan perasaan kecewa Salsa berbalik arah menjauh dari Lukman.

Sementara Lukman hanya diam di tempat sambil memandang punggung Salsa yang kian menjauh. Tidak ada sedikitpun niat di hati Lukman untuk mengejar Salsa. Ia seperti tidak perduli apakah Salsa akan marah atau tidak. Karena tujuan awal Lukman mendapatkan Salsa hanya obsesi semata, agar Salsa lebih menyukainya. Dan sekarang tujuannya sudah tercapai, ia sudah bisa merasa kalau Salsa lebih menyukainya dari pada Pandu.

Sehingga Lukman berpikir, untuk apa mengejar yang sudah ada digenggamannya. Buang-buang waktu.

Yang terpenting baginya, ia sudah mampu menaklukan Salsa, salah satu cewek tercantik di sekolahnya. Dengan begitu, ia jadi merasa kalau dirinya jauh lebih baik dari pada Pandu.

Dan target Lukman kali ini adalah Tristant, meski ia tahu kalau Tristant itu laki-laki, tapi ia harus bisa membuat Tristan lebih mengagumi dirinya dari pada Pandu.

Oleh sebab itu, Lukman lebih memilih bersama Tristant agar bisa meluluhkan hatinya, dari pada harus menemani Salsa pergi ke mall.

~♡♡♡~

Deg-degan, dan tidak percaya diri. Itu adalah perasaan Aden, saat ia baru saja menginjakkan kakinya di rumah Pandu. Meskipun saat membuka pintu Pandu menyambutnya dengan ramah, tapi tetap saja Aden merasa minder.

"Eh lu, udah sampe?" Tanya Pandu.

Aden mengangguk penuh takjim seraya menjawab. "Iya?"

"Gimana nyasar nggak?"

"Enggak."

Pandu mengangguk-anggukan kepala, kemudian manik matanya menelusuri tubuh Aden dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Kemudian ia tersenyum simpul melihat penampilan Aden yang lain dari biasanya.

Hari itu Aden memang lebih rapih dari biasanya, namun penampilannya itu justru membuat ia jadi terlihat lebih tua dari usianya.

Selera berpakaian Aden memang payah, tidak seperti remaja lain yang masih seumuran dengannya. Hari itu Aden memakai kemeja tangan pendek bermotif kotak, dipadukan dengan celana berbahan dasar berwarna hitam. Kemeja yang dimasukan ke celana, bagian leher yang dikancing, serta tatanan rambut yang ia sisir miring membuat ia terlihat sangat culun.

Aden berusaha untuk berpenampilan sebaik mungkin. walaupun hasilnya terlihat aneh, namun Pandu tetap menghargai itu.

"Kenapa?" Tanya Aden dengan kening yang ia kerutkan, karena Pandu terus menatapnya. Kemudian Aden menunduk dan melihat dirinya sendiri, karena khawatir ada yang salah.

"Oh enggak papa," Pandu sedikit tersentak, "hari ini lu keren." Puji Pandu sambil memberikan acungan jempol ke arah Aden.

Aden mengembangkan senyum, ia memamerkan deretan giginya yang rata.

"Siapa Ndu?" Tanya ibu Veronica yang kebetulan sedang berjalan melewati ruang tamu.

Pandu dan Aden menatap ibu Veronica, yang berada beberapa langkah di belakang Pandu.

"Ini mi, mamang ciloknya udah dateng," jawab Pandu sambil menatap Aden saat mengatakan 'mamang cilok'.

Namun itu membuat Aden kembali tersenyum nyengir, karena ia tahu saat mengatakan itu, Pandu hanya bercanda.

"Ooh..." ucap bu Veronica.

Dari jarak yang hanya beberapa langkah dari Pandu dan Aden, ibu Veronica diam dan mematung. Sama seperti Pandu, ibu Veronica juga memperhatikan Aden dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia juga merasa heran saat melihat wajah tukang cilok itu ternyata usianya sama seperti anaknya.

Masih muda sudah jadi tukang cilok. Emang enggak sekolah? Mungkin itu yang ada di pikiran ibu Veronica saat melihat Aden. Namun karena merasa itu bukan urusannya, sehingga ia tidak mau ambil pusing.

Urusannya dengan Aden hanya antara pedagang dengan customer. Setelah itu sudah tidak ada urusan lagi.

"Yaudah, Pandu tolong kamu bantu mami antar mamang ciloknya ke taman belakang. Ohiya meja buat dia yang dipisah ya yang deket kolam renang." Perintah ibu Veronica sambil memberikan petunjuk.

"Siap mi," ucap Pandu.

Kemudian ibu Veronica, melanjutkan perjalanannya menaiki anak tangga yang bentuknya seperti di istana.

"Yuk... gue anter." Ajak Pandu, yang langsung di balas dengan anggukkan kepala sama Aden.

Kemudian Aden mengambil tupperware berisi cilok yang ia taruh di lantai.

"Mau gue bantu?" Tawar Pandu.

"Nggak usah, enteng kok."

"Yaudah..." ucap Pandu. Kemudian ia berjalan ke arah taman, diikuti Aden di belakangnya.

Jarak antara ruang tamu menuju taman lumayan jauh, karena rumah Pandu sangat luas. Selama perjalanan menuju taman, Aden tidak berhenti berdecak kagum, melihat kemewahan di dalam rumah Pandu. Semua interior di rumah Pandu semua terlihat begitu sangat berkelas. Ini kali pertama Aden masuk kedalam rumah yang sangat mewah. Jadi wajar saja kalau matanya menebar ke segala penjuru rumah.

"Ohiya Ndu, kamu nggak sekolah?" Tanya Aden saat mereka sedang berjalan melewati kolam renang.

"Males gue," jawab Pandu enteng.

Aden tersenyum simpul sambil menggelangkan kepalanya pelan. Kata-kata 'males sekolah' membuat Aden merasa cemburu. Bagaimana tidak? di saat ia begitu mengharapkan untuk bisa sekolah, namun terhalang karena biaya. Namun Pandu yang mampu sekolah, dengan entengnya mengatakan malas. Hati Aden rasanya seperti dicubit.

"Oh..." Aden tidak ingin bertanya lebih jauh lagi, kenapa Pandu sampai malas sekolah.

"Mereka siapa?" Tanya Aden, saat ia melihat beberapa orang pria yang memakai setelan jas, dan berdasi kupu-kupu.

"Itu karyawan restoran, mereka diminta sama nyokap gue buat bantu nyipain makan siangnya." Jelas Pandu.

Aden mengangguk-anggukan kepalanya, "seragamnya bagus, kaya orang kantoran." Ucapnya.

Pandu hanya tersenyum simpul.

"Ini meja kamu Den," kata Pandu saat mereka sudah sampai pada tempat yang dimaksud ibu Veronica.

Aden meletakan tupperware yang dari tadi ia bawa, di atas meja yang ditunjuk oleh Pandu.

Ada dua meja berbentuk segi empat di sana, satu berukuran kecil, sudah ada kompor gas mini di atasnya. Dan satu ukurannya lebih besar untuk meletakan tupperware berisi cilok milik Aden.

Aden mengedarkan pandangannya di sekitaran taman. Lagi-lagi ia dibuat kagum dengan apa yang ia lihat. Semua yang ada di rumah Pandu tidak ada yang jelek, semuanya terlihat bagus dan berkelas.

Selain itu Aden benar-benar tidak menyangka, jika acara arisan itu sangat mewah.

"Kenapa Den?" Tanya Pandu sambil melipat kedua tangannya di dada.

Aden tersenyum simpul, "nggak papa, cuma heran. Acara arisan mewah amat ya? ngalahin... acara hajatannya bupati di tempatku."

Pandu hanyaa tersenyum. Entahlah, sejak tadi Pandu membuka pintu untuk Aden, Pandu lebih banyak tersenyum.

Aden baru saja selesai megeluarkan cilok dari tupperware, dan dipindahkan ke dalam mangkuk besar yang sudah di siapkan sama ibu Veronica. Sedangkan Pandu masih tetap setia menemaninya. Ia masih belum ingin meninggalkan Aden sendirian.

"Emang acaranya jam berapa Ndu?"

Pandu melihat arlogi yang melingkar di pergelangannya, "paling bentar lagi."

"Kok aku deg-degkan ya," aku Aden sambil menghela napas untuk melegakan hatinya. Karena ia benar-benar merasa tidak percaya diri setelah melihat semua yang ada di hadapannya.

"Deg-degkan kenapa?" Tanya Pandu.

"Nggak tau, pokonya mah deg-degkan. Apa karena aku malu ya? habisnya mewah banget sih. Yang dateng pasti orang-orang kaya." Jelas Aden dengan gayanya yang polos.

Hari ini Aden benar-benar membuat Pandu jadi banyak tersenyum. "Santai aja, nggak usah malu. Kaya miskin sama aja, mereka juga manusia makannya nasi."

"Iya sih, tapi tetep aja aku malu."

"Yaudah biar tenang kita duduk aja di situ yuk," ajak Pandu sambil menunjuk kursi taman yang berada dekat di kolam renang.

"Yaudah."

Pandu dan Aden jalan beriringan menuju kursi yang ditunjuk Aden barusan. Setelah sampai di kursi keduanya duduk berdampingan menghadap ke kolam renang yang.

Belum ada obrolan lagi setelah keduanya duduk, Pandu masih menghadap ke arah kolam, sedangkan Aden menatap wajah Pandu lekat-lekat. Kemudian ia tersenyum nyengir saat Pandu menoleh dan melihat ia sedang menatapnya. Secara otomatis pandangan mata keduanya bertemu, dan saling tatap selama beberapa detik.

Meski sempat beberapa laki berpandangan, namun tatapan Aden kali ini membuat ada sesuatu yang menghangat di hati Pandu.

"Kenapa?" Tanya Pandu. Ia mencoba melepaskan diri dari momen yang membuat hatinya semakin berdesir. Soalnya cara Aden melihatnya kali ini beda dari biasanya.

Tapi mungkin itu hanya perasaan Pandu saja.

"Nggak papa," jawab Aden. "Ternyata kamu baik ya. Padahal tadinya akutuh takut sama kamu?"

"Hem..." Pandu menarik wajahnya, ia sedikit tersentak karena mendengar kata 'takut' keluar dari mulut Aden. "Takut? Kenapa?" Tanya Pandu.

"Ya... takut aja. Habis kata anak-anak kamu suka nakal, terus temen-temen kamu juga kayaknya nurut banget sama kamu. Sebenernya sih cuma kuatir aja, nanti kamu usil sama aku."

Keterangan Aden membuat Pandu terkekeh pelan, ternyata Aden benar-benar polo menurut Pandu. "Ada-ada aja," ucap Pandu. "Gue nggak nakal, gue juga nggak usil. Kecuali kalau ada yang nakal dan usil sama gue, itu baru... gue nggak akan bisa diem."

"Iya tau..." jawab Aden.

"Tapi lu udah nggak takut lagi kan sama gu?" Tanya Pandu, hatinya sedikit cemas.

"Sekarang mah enggak, kamu baik."

Jawaban Aden membuat Pandu tersenyum simpul, dan hatinya merasa lega sekarang.

Beberapa saat kemudian Pandu melihat ibu Veronica dan beberapa orang wanita sedang berjalan ke arahnya.

Melihat penampilan wanita-wanita yang bersama ibu Veronica, sudah dipastikan meraka adalah orang yang berkelas. Tas yang mereka jinjing, pakaian yang mereka kenakan juga terlihat sangat bagus dan bermerek. Pasti harganya juga sangat mahal.

"Tuh nyokap gue," kata Pandu memberi tahu. "Empat orang itu temennya yang mau ikut arisan. Paling bentar lagi yang lain dateng."

Melihat ibu Veronica dan teman-temannya rasa tidak percaya diri Aden kembali muncul. Meskipun dari rumah, ia sudah berusaha berpenampilan semaksimal mukin.

Pandu dan Aden berdiri dari duduknya, saat ibu Veronica dan teman-temannya sudah menadekati mereka.

"Gimana ciloknya apa sudah disiapin?" Tanya Ibu Veronica saat ia sudah berada di depan Pandu dan Aden.

"Sudah bu..." jawab Aden penuh takjim.

"Bagus kalau gitu," ucap ibu Vernica. "Ohiya siapa nama kamu?" Tanya ibu Veronica yang ditujukan kepada Aden.

"Aden bu..."

"Oh Aden, tolong kamu siapin lima porsi yah buat mereka, sekalian ibu juga pingin nyobain."

Untuk saja ibu Veronica bersikap hangat dan ramah, sehingga itu bisa menambah rasa percaya diri bagi Aden. Walaupun teman-teman ibu Veronica yang berdiri di belakang, terlihat senyum-senyum seperti mengejek mengejek penampilan Aden. Namun Aden berusaha untuk teteap cuek. Yang penting sambutan tuan rumahnya bagus.

"Kami juga pingin liat kamu cara membuatnya, mereka penasaran. Ibu sudah bilang sama mereka kalau rasanya enak, jadi tolong jangan bikin kecewa ya." Ucap ibu Veronica.

Aden tersenyum simpul, "iya bu..." ucapnya.

"Yaudah..." ibu Veronica berjalan meninggalkan Aden dan Pandu, dan teman-teman ibu Veronica mengikuti dari belakang setelah ia mengucapkan. "Yuk ses..."

"Den... gue tinggal nggak papa kan?" Ucap Pandu saat Aden akan berjalan mengikuti ibunya.

"Ya udah nggak papa..." jawab Pandu.

"Semangat ya..." Pandu mengacungkan jempolnya ke arah Aden.

Aden membalasnya hanya mengangguk sambil tersenyum simpul. Beberapa detik kemudian Aden berjalan ke arah meja dimana sudah ada ibu Veromica dan teman-temannya menunggu di sana.

Sementara Pandu berjalan ke arah rumahnya, Pandu ingin melihat Aden dari balkon kamarnya saja. Karena sebenarnya ia sangat malas berada dekat dengan ibu-ibu arisan.

Aden sedang menyiapkan cilok yang dipesan oleh ibu Veronica, meskipun tangamnya gemetaran, dan keringat dingin keluar karena rasa grogi, tapi ia berusaha melakukannya sebaik mungkin. Aden tidak ingin mengecewakan Pandu dan ibu Veronica.

Tangan Aden begitu terlihat sangat cekatan saat sedang meracik dan menggoreng ciloknya. Ibu Veronica dan teman-temannya juga nampak begitu kagum melihat Aden.

"Kamu trampil sekali," celetuk salah seorang wanita yang diketahui bernama tante Marisa.

"Iya lues seklai, kami aja yang perempuan belum tentu bisa lho..." puji tante Tamara.

Aden hanya memberikan senyum yang menawan, untuk menanggapi wanita-wanita sosialita itu.

Beberapa menit kemudian, Aden sudah menyelesaikan pesanan ibu-ibu arisan itu. Kemudian ia memberikan cilok yang sudah ia taruh di dalam mangkuk berukuran kecil. Lengkap dengan garpu kecil agar mereka mudah memakannya.

Mangkuk dan garpu kecil sudah disiapkan sama ibu Veronica sebelumnya.

Jantung Aden kembali berdebar, saat ia melihat para ibu-ibu mulai mamsukan cilok kedalam mulut mereka.

"Enak..."

Hembusan napas lega keluar dari mulut Aden, saat mendengar kata enak barusan.

"Iya enak, ini kamu yang bikin bumbunya?" Tanya Tante Tamara.

Belum sempat Aden menjawab pertanyaan, berbagai macam pujian kembali keluar dari mulut mereka. Sehingga Aden hanya mampu memberikan senyumannya saja. Biasa ibu-ibu kalau sudah berkumpul menjadi satu, pasti selalu ribut.

Kemudian secara tidak sengaja Aden menoleh ke arah balkon. Ia melihat ternyata ada Pandu yang sedang berdiri sambil memperhatikannya. Senyum Aden mengembang saat Pandu memberikan acungan jempol ke arahnya.

Aden kembali mengalihkan perhatiannya ke arah ibu-ibu, saat ia mendengar ibu-ibu itu kembali berkicau.

"Ternyata buatan lokal enak juga ya."

"Kayaknya kita harus mulai cinta dalam negeri deh."

"Selain itu ini terlihat lebih tradisional, bebas bahan pengawet."

"Eh... ses-ses kayaknya arisan bulan depan kita pake menu-menu tradisional aja deh."

"Setuju, aku juga mau usul, bulan depan anak ini diundang lagi aja." Kata tante Marisa sambil menunjuk ke arah Aden.

"Ide bagus itu."

Mendengar celoteh para ibu-ibu Aden hanya mesam-mesem. Ia cukup mendengarkan karena sebenarnya ia tidak tahu apa-apa. Bagi Aden yang penting pekerjaannya selesai, dan hasilnya memuaskan.

"Eh... Inggrid dateng tuh," ucap tante Marisa yang membuat semua pandangan menoleh ke arah yang pintu bagian belakang rumah Pandu. Dimana wanita yang bernama Inggrid dan beberapa wanita lainnya baru saja keluar dari sana.

Termasuk Aden juga reflek ikut menengok ke arah sana.

Ibu Veronica meletakan mangkok berisi cilok di atas meja di dekat Aden. Kemudian ia berjalan mendekati rombongan arisan yang baru saja sampai di rumahnya.

Dari dua puluh lima anggota arisan, wanita yang bernama Inggrid itu yang paling sering menjadi bahan gosip. Selain ia paling cantik dan terlihat segar, setatusnya yang janda selalu menjadi topik menarik untuk dibicarakan sama ibu-ibu arisan lainnya.

"Makin cantik aja ya si Inggrid itu," ucap Tante Tamara, namun gaya bicaranya terlihat sinis.

"Iya badannya juga makin langsing aja."

"Biasalah sedot lemak."

"Eh tau nggak sih itu baju yang dia pakai rancangan desainer terkanl, harganya katanya tujuh puluh juta."

"Tau dari mana ses?"

"Diakan eksis di sosmed ses. Sejak suaminya meninggal dia itu seperti bebas."

"Tapi dia kok nggak ada sedih-sedihnya ditinggal suami."

"Gimana mau sedih, warisan suaminya banyak. SPBU nya aja kesebar di seluruh Indonesia."

"Eh kabarnya ni, dia sering jalan sama berondong-berondong."

"Iya tau, minggu lalu aku juga liat dia nonton sama berondong baru."

Aden mengerutkan kening, saat mendengar berbagai macam cibiran yang ditunjukan untuk wanita bernama Inggrid. Ternyata dunia luar benar-benar mengerikan menurut Aden.

Beberapa saat kemudian, wajah ibu-ibu arisan yang mulanya sinis, sekarang berubah sangat ramah dan manis saat tabte Inggrid dan yang lain sudah berada di dekat mereka.

"Hai ibu-ibu..."

Para ibu-ibu saling sapa cupika-cupiki dan memberikan senyum semanis mungkin, walaupun di belakang mereka memutar bola matanya.

"Cantik banget deh..." sala satu ibu-ibu memuji tante Inggrid.

Yang dipuji tersenyum mereka, sambil memutar tubuhnya bergaya ala model, memarkan busananya.

"Apa itu?" Tanya tante Inggrid.

"Cilok, mau coba?" Jawab tante Tamara.

"Oh yang di grup WA itu?" Tanya Tante Inggrid.

"Iya enak lho..."

"Aku mau dong coba."

Kemudian tante Inggrid dan beberapa ibu-ibu lainnya berjalan ke meja dimana ada Aden di sana.

Kedatangan tante Inggrid dan yang lainnya membuat Aden menjadi tidak percaya diri lagi. Apalagi setelah ia mendengar gosip tentang tantu Inggrid barusan. Nyalinya semakin menciut.

Keringat dingin semakin banyak keluar dari tubuh Aden. Ia benar-benar gugup dan grogi karena berada dekat dengan wanita-wanita sosialita semakin merapat padanya.

Apalagi setelah tante Inggrid berjalan mendekat dan berdiri di belakangnya. Aden semakin gemetaran dam tidak konsentrasi.

"Jangan gugup santai aja," ucap tante Inggrid yang hanya dibalas dengan anggukkan sama Aden.

"Kamunya terlalu dekat Nggrid, dia nerfous."

"Ah biasa aja." Jawab tante Inggrid.

Beberapa saat kemudian, tante Inggrid nampak sedang mengamati waja Aden yang sedang sibuk melakukan tugasnya. Matanya menyipit, dan senyumnya mengembang. Enatah apa yang dipikirkannya.

Setelah beberapa menit, Aden sudah memasukan cilok kedalam mangkuk kecil. Kemudian ia menyusun mangkuk itu di atas nampan, untuk diberikan kepada ibu-ibu.

Lalu pada saat ia sudah mengangkat nampan berisi mangkuk cilok, ia berbalik badan untuk membawa cilok kepada ibu-ibu. Tangannya masih gemetar, dan ia masih terlihat gugup. Sialnya pada saat Aden akan melangkah, kakinya tersandung kaki tante Inggrid yang masih berada di belakangnya. Dan parahanya lagi, semua mangkuk berisi cilok yang sudah dilumuri dengan bumbu dan kecap, menumpahi pakaian tante Inggrid.

"Aaaaaaaaa..."

Terikan histeris tante Inggrid mengundang semua perhatian ibu-ibu arisan.

Wajah Aden mendadak pucat, dan tubuhnya terasa sangat lemas.

"Bajuku!" Teriak tante Inggrid.

Nächstes Kapitel