webnovel

Bad boy bagi teman, baby boy bagi mama

"Ini rumah lu kak?" Tanya Tristan sambil merapihkan tas gendong di punggung nya. Manik matanya tidak berkedip menatap kesebuah bangunan rumah bercat cream yang mempunyai tiga lantai itu. Rumah yang terlihat sangat mewah, perpaduan antara klasik dan moderen.

"Bukan...!" Lukman mencabut kontak motor setelah ia mengunci stang nya.

"Trus rumah siapa? ngapain kita kesini?" Tristan menjadi penasaran.

"Ini rumah bokap sama nyokap gue," jawab Lukman sambil tersenyum meringis dan menaik-turunkan alisnya. Menatap Tristan.

Yang ditatap mendengus kesal, "sama aja kali...!" Ucapnya.

"Yuk... masuk..." Lukman menarik pergelangan Tristan, kemudian kedua remaja itu berjalan mendekati pintu rumah.

Meskipun bengong dan bingung, namun tetap saja Tristan pasrah mengikuti Lukman.

"Emang mau ngapain sih kak?" Tristan semakin penasaran.

"Udah diem, katanya lu mau ngelakuin apa aja biar bisa gabung bareng kita?"

Ucap Lukman mengingatkan kata-kata Tristan.

Bebrapa saat kemudian, terlihat Lukman yang masih menggandeng Tristan membuka pintu depan, kemudian Lukman menutup pintu rumah setelah mereka berada di dalamnya.

Sementara di tempat berbeda, Roby, Jonathan dan Aldo sedang berkumpul di satu kamar, di rumah Alex.

"You has been slained"

"Anjir... mati gue." Jonathan mengumpat saat pengisi suara dari game yang sedang ia mainkan, membari tahu kalau hero yang sedang ia mainkan terbunuh oleh lawan. "Bego banget dah yang pake maraksman, gue bantuin palah kabur... dasar bocah. Sial!!"

"-pantes bego, liat aja item dia. Masak Lesly pake Concentrated Energy? Itukan bulit nya mage." Jonathan semakin kesal saat ia mengecek hero yang dipakai teman team nya, memakai item yang bukan seharusnya.

"Lex lo solo lord, gue pancing mereka ke bawah." Perintah Roby yang juga masih bermain game satu team dengan Jonathan.

Jonathan, Alex dan Roby kalau sedang berkumpul, mereka selalu asik bermain game bersama, dan bergabung dalam satu team. Atau mabar.

Kecuali dengan Aldo. Ia lebih asik dengan dunianya sendiri. Dari kelima teman Pandu, Aldo satu-satunya anak yang tidak hoby bermain game. Ia lebih senang membaca komik, sambil mendengarkan musik dari HP, melalui headset nya. Ia paling malas kalau sudah mendengar teriakan teman-temannya saat sedang bermain game itu.

Pandu dan Lukman sebenarnya juga tidak begitu hoby. Hanya saja sesekali mereka berdua menerima ajakan, Jonathan, Alex, dan Aldo untuk bermain bersama-sama.

Jonathan yang sedang menunggu heronya Cooldown, atau menunggu heronya kembali hidup. Ia beringsut merapat ke Alex, untuk melihat permainannya.

"Kuat nggak lo nge-lord sendiri?" Tanya Jonathan.

"Tenang aja sih. Alucard gue udah jadi. Enteng." Jawab Alex dengan gayanya yang sombong.

"Eh gimana si Lukman udah bilang sama Pandu belum?" Tanya Aldo sambil melepas headset yang menutup telinganya.

"Entah," jawab Jonathan tanpa menoleh. Ia masih asik melihat Alex bermain game. "Kayaknya sih udah, cuma belum chat lagi."

Meskipun ke enam anak remaja itu selalu bersama, cuma mereka tidak satu kelas. Hanya Pandu dan Lukman yang berada di kelas yang sama. Yang lainya masing-masing berbeda kelas. Sedangkan pada saat mereka membahas soal clubing tadi, Pandu sedang tidak berkumpul bersama mereka.

"Kumpul di mana?" Tanya Aldo lagi.

"Cafe biasa aja..." jawab Jonathan.

Aldo mengangguk-anggukan kepala. Kemudian ia kembali memasang headset, dan lanjut membaca komiknya.

~♡♡♡~

Mobil Alphard yang dikendarai sopir pribadi Pandu, sudah sampai di garasi rumah milik keluarga Pandu. Meskipun rumah Pandu hanya dua tingkat, cuma untuk ukuran luas, lebih besar dari rumah Lukman. Desain rumahnya pun, terlihat sangat moderen bergaya Eropa.

"Pandu...!"

Suara ibu Veronica yang keras, menghentikan niat Pandu yang akan menggeser pintu mobilnya.

"Apaan sih mi? ngagetin aja."

Mata ibu Veronica menatap tajam ke arah saku seragam Pandu. Dan itu sontak membuat terkejut langsung memegangi kantong seragamnya.

"Kamu ngrokok!?"

"Ini... ini punya temen," jawab Pandu dengan suara yang gelagapan. "Tadi Pandu gak sengaja ngegap temen ngrokok, makanya Pandu sita." Imbuhnya berbohong.

Biasanya ibu Veronica tidak pernah ikut menjemput Pandu. Oleh sebab itu ia belum siap menyembunyikan rokoknya. Pada saat Pandu masuk ke dalam mobil ternyata sudah ada ibu Veronica di dalamnya, Pandu juga sedikit lupa kalau ia menaruh rokok di dalam saku seragam nya.

Ibu Veronica mendekatkan hidungnya di tubuh Pandu. Ia mengendus, dan mencium mencari apakah, ada bau rokok di tubuh Pandu.

"Seriusan mi, Pandu enggak ngerokok." Pandu mengambil bungkus roko di sakunya, kemudian ia memberikannya pada pak Parmin. Supir pribadinya. "Ni pak buat bapak aja rokoknya."

"Wah rejeki, terima kasih mas Pandu," ucap pak Parmin setelah ia menerima rokok pemberian Pandu.

Pak Parmin juga tidak pernah tahu kalau majikannya itu sering merokok.

"Awas ya kalau sampai kamu merokok." Ancam ibu Veronica. Wajahnya terlihat gelisah dan cemas. "Mami nggak mau racun nikotin itu merusak badan kamu."

Pandu membuang napas lega, sepertinya ibu Veronica sudah percaya kalau Pandu tidak merokok.

"Iya Mi, tenang aja, Pandu nggak akan ngerokok." Ucap Pandu. "Ohiya Mi, ntar malem Pandu ada tugas sekolah, mau ngerjainnya di rumah Lukman, boleh ya Mi?"

Ibu Veronica diam dan sedang berpikir, sedangkan Pandu terlihat harap-harap cemas.

"Yaudah nggak papa kalau buat belajar, mami setuju-setuju aja." Ucap bu Veronica sambil membuka pintu mobilnya.

"Huuuuft..." Pandu kembali membuang napas lega.

Sedangkan Aden sedang menurunkan gerobak ciloknya dari motor. Ia baru saja sampai di depan rumah kontrakan yang sangat kecil.

"Udah pulang Dan?" Tanya Anis yang baru saja keluar dari kontrakannya. "Abis ya dagangan kamu?" Imbuh Anis bertanya kembali. Bibirnya tersenyum simpul melihat gerobak Aden yang kosong karena ciloknya habis terjual.

"Iya teh, lagi rame." Jawab Aden, ia juga mengembangkan senyumnya yang menawan.

"Si A'a malah sakit Den, masuk angin tadi teteh kerikin." Ujar Anis memberi tahu. Wajahnya tiba-tiba murung. "Udah pulang dari pagi." Imbuhnya.

"Yah kasihan, terus dagangannya gimana teh?" Tanya Aden.

"Atuh masih utuh la Den, mana besok minggu lagi, kan sekolah pada libur, takut basi aja Den."

Aden mengusap keringat di pelipis menggunakan punggung tangan. Terliat ia diam namun sambil berpikir.

"Kalau nggak biar nanti malam aku keliling lagi aja teh," ujarnya.

"Keliling ke mana Den? Malem-malem mana ada yang beli cilok." Wajah Anis terlihat sangat putus asa.

"Yah usaha dulu atuh teteh, kali aja laku. Walaupun enggak habis kan lumayan bisa berkurang." Aden tersenyum, mencoba menghibur kakaknya. "Jadi biar enggak rugi-rugi amat."

"Memangnya kamu enggak capek?"

"Nggak ada kerjaan yang nggak bikin capeh teteh. Lagian besokkan hari minggu aku bisa istirahat." Ujar Aden, sambil berjalan masuk kedalam kontrakan. Sedangkan Anis mengekor dari belakang.

"-kayaknya di cafe yang deket taman rame teh, banyak anak muda nya. Nanti malam aku mau jualan di sana aja. Moga aja laris."

"Makasih kalau gitu Den, ya udah sana makan dulu, kamu pasti laper." Ujar Anis setelah mereka sudah berada di dalam kontrakan. "Si aa mah udah makan, lagi tidur orangnya." Imbuh Anis.

"Iya teh aku ganti baju dulu, sekalian mandi." Aden masuk kedalam kamarnya. Kemudian ia menutup pintu setelah berada di dalamnya.

Sebelum membuka bajunya, Aden duduk di atas kasur yang di gelar di lanta. Tidak ada dipan karena kamar kontarakan yang lumayan kecil.

Terlihat Aden mengambil uang yang ia gulung kemudian diikat menggunakan karet. Uang itu sengaja ia pisahkan karena itu adalah uang kembalian Pandu yang belum sempat ia berikan.

Aden menarik ujung bibirnya, ia tersenyum tipis sambil memandangi uang itu, seraya membatin "Hemss orang kaya."

Beberapa saat kemudian Aden memasukan kembali uang itu kedalam tas pinggangnya. Setelah itu Aden berdiri, dan melepaskan semua pakaiannya. Setelah ia telanjang dan hanya memakai celana dalam, Aden menyambar handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya.

Kemudian Aden keluar kamar, pergi ke kamar mandi yang tempatnya terpisah dari rumah kontrakan nya.

Nächstes Kapitel