webnovel

Kehilangan Nafsu Makan

Satu suapan berhasil memenuhi mulutku. Kuah pedas asam manis berpadu dengan nasi putih hangat —kau bisa melihat asap mengepul keluar dari sana— adalah kenikmatan tiada tara yang bisa kau nikmati sebagai sarapan. Nasi adalah satu bentuk kelangkaan yang akan kau jumpai ketika tinggal di daerahku. Makanan pokok seperti roti gandum dan jagung lebih populer di sini. Nasi hanya di temukan di pusat perkotaan, dan bukannya di pinggiran kota. Beberapa perbelanjaan memang menyediakan beras, tetapi mereka begitu licik karena mematok harga dua kali lipat lebih mahal ketimbang jika kau membelinya di pusat kota. Itulah kenapa masyarakat sekitar lebih memilih makan jagung, gandum, atau kentang sebagai makanan harian.

Aku cukup beruntung karena Dad memiliki pekerjaan yang membuatnya dapat berpergian dari satu kota ke kota lain, bahkan kadang melewati negara bagian lain untuk mengantar barang. Tak jarang ketika pulang dia membawa sekarung beras dan makanan lain yang tak bisa ditemui di daerahku (atau karena terlalu mahal jika membeli di sini). Saking sering memakan nasi, tubuhku seolah telah beradaptasi. Tidak bisa kenyang meskipun aku sudah menghabiskan berlapis-lapis roti, semangkuk jagung serut, atau kentang tumbuk. Secara alami alam bawah sadarku membentuk satu pola pikir dimana, segala makanan ku anggap hanya camilan saja jika tak ditambahkan dengan nasi.

"Apakah enak?"

Aku mengangguk cepat dengan kedua pipi menggembung. Entah kenapa makanan ini terasa lebih lezat dari yang biasa ku makan. Apakah karena Dad membelinya di tempat yang tepat, atau karena keberadaan orang lain yang membuat rasa makanan semakin enak di lidah.

"Hahaha.. Pelan-pelan saja." Dad mengelus rambutku. "Kau bisa menghabiskan semuanya kalau bisa."

"Tentu saja akan ku habiskan!" Saking bersemangat tanpa sadar suaraku meninggi.

Berapapun usiaku, seberapa tinggi aku tumbuh, di mata Dad aku tetaplah jagoan kecilnya. Tidak ada yang berubah meski waktu telah berlalu sangat cepat, sampai kau tidak bisa lagi mengingat hal-hal kecil secara detail. Dan aku selalu bersikap senyaman mungkin ketika berada di dekatnya.

"Atau kau bisa menyisakan sedikit untuk dimakan bersama Ibumu ketika dia pulang nanti."

Rahangku berhenti bergerak. Sepenggal kalimat yang Dad lontarkan berhasil memutar balikan suasana hati, 180 derajat, paling tidak cukup untuk menjatuhkan pandanganku. Menghapus nafsu makan yang beberapa saat lalu merubahku seperti zombi kelaparan.

Ketimbang Dad, hubungan dengan Mom serasa lebih jauh. Itu yang bisa ku tangkap selama ini. Dia memiliki pekerjaan yang jauh lebih bagus ketimbang Dad, tetapi pekerjaan itu juga yang membuatnya tak bisa berlama-lama tinggal di dalam rumah. Keluargaku masih utuh, secara resmi karena tak pernah terdengar pertikaian yang bisa membuat mereka saling mengajukan gugatan cerai. Tetapi pikiran rasionalku berkata sebaliknya. Aku tak pernah diberitahu perihal pekerjaan Mom, hanya saja gaji yang dia dapatkan memang lebih tinggi daripada milik Dad. Itulah kenapa aku sering mempunyai pikiran untuk bersikap seenaknya.

Namun sampai kapan akan begini? Cukup lama Mom tak pulang.

Mungkinkah secara tidak langsung dia telah membuang kami?

Diam-diam memiliki keluarga lain di luar sana?

Hentikan Bryan!

"Apa tidak enak?" tanya Dad. Sorot matanya menyiratkan kekhawatiran.

"Tidak Dad, ini enak.." Aku mencoba tersenyum seperti biasa. Tetapi wajah Dad belum kembali seperti semula, kerutan masih bertengger di dahinya. Pada akhirnya aku menyerah, sekuat apapun aku berusaha menutupi perasaan, Dad selalu dapat menggalinya. Tanpa paksaan, namun sukses besar menggoyahkan pertahanan. "Mom tidak akan pulang, dia selalu tidak pulang."

Suasana berubah menjadi sunyi. Atmosfer turun satu tingkat, dan aku mulai kehilangan nafsu makan.

"Hey, Mom pasti pulang," ujar Dad seraya meletakan tangan pada pundak kananku, lalu meremasnya pelan. Usahanya dalam menenangkan ku seperti yang sudah-sudah. Seperti saat aku mendapatkan nilai buruk ketika hari pertama sekolah, atau saat jatuh di genangan bekas air hujan, atau tak sengaja menumpahkan kuah mie di atas buku komik yang baru ku beli.

'Tidak apa-apa'

Selalu begitu.

Terkadang aku merasa kalau hanya memiliki satu orang tua saja. Dad selalu bisa mendukungku meski pekerjaannya membuat dia tak memiliki banyak waktu untuk tinggal. Tetapi entah bagaimana, dia selalu bisa menemaniku. Membuatku tak merasa kesepian.

Aku mengangguk pelan. "Aku sudah kenyang Dad, terimakasih atas makanannya." Aku membawa piring kotor ke arah wastafel, membuang sisa makanan yang lumayan banyak ke dalam tong sampah beralaskan plastik hitam di dalamnya. Aku tak meninggalkan piring kotor begitu saja, tergeletak di dalam wastafel. Sudah menjadi kebiasaan untuk mencucinya tepat setelah selesai makan. Begitu juga yang ku lakukan sekarang.

Tidak ada suara selain air mengalir, berkecipak saat aku membasuh piring kotor dengan sabun. Tidak ada percakapan lagi antara aku dan Dad. Aku pura-pura menyibukkan diri dalam posisi memunggungi pria tua itu. Padahal aku tahu, Dad diam-diam memperhatikanku di antara acara menghabiskan makanan. Tetapi dia sama sekali tak menyela, tak membahas, tak memaksaku untuk bersikap seperti anak penurut.

"Aku akan ke tempat Lucas dan mungkin akan menginap di sana," ucapku dengan tangan sibuk menggesek kain berbahan handuk yang memang sengaja di gantung pada sisi kiri atas wastafel. Melangkah pergi melewati meja makan dengan Dad yang masih memandangiku. Dari sudut mata, aku bisa melihat bibirnya terbuka setengah. Hendak mengatakan sesuatu namun masih ragu.

Kemudian, setelah aku berlalu cukup jauh darinya, tepat ketika kaki kananku menapaki anak tangga paling bawah. Suara berdecit terdengar, pergesekan antara kaki kursi dan lantai di bawahnya.

"Sebentar, Aku akan memanaskan truk—"

"Tidak perlu Dad.." Ucapanku telah membuat tubuhnya berhenti bergerak. Membatu di tempat, seperti saat mem-pause sebuah video. "Aku bisa naik bus."

"Tapi pemberhentian Bus cukup jauh dari sini."

Aku tahu Dad. Aku bahkan sudah terlalu hafal berapa langkah kaki yang harus ditempuh hanya untuk sampai di pemberhentian bus terdekat. Berapa lama waktu untuk sampai di sana. Nomor-nomor yang terpatri di sisi depan bus, juga pada bagian belakangnya.

"Tidak masalah."

Menapaki dua anak tangga sekaligus untuk sampai di lantai atas, meraih jaket jeans biru laut. Potret dua bocah seolah memberi salam perpisahan sementara. 'Hati-hati di jalan' dan 'Jangan sampai menyesal'.

Dad masih ada di dapur, aku bisa melihatnya ketika turun dari tangga. Memandangku dalam diam.

"Aku pergi."

Dan aku tak pernah membalikkan badan lagi. Tak ingin terlihat menyedihkan di hadapannya. Dad adalah sosok sempurna, seorang panutan, dan aku harus bersikap seperti pria sejati. Tetapi, aku masih belum bisa sesempurna Dad. Perasaanku masih kacau setiap kali pembahasan mengenai Mom ditarik ke permukaan.

Aku tidak bisa mengatakan secara terang-terangan kalau aku mulai mengukir perasaan benci terhadap wanita itu.

Barangkali ini yang terjadi setelah aku melihatnya bersama wanita lain di dalam kamarnya. Di atas tempat tidur Dad.

Nächstes Kapitel