webnovel

Menghabisi Manusia Tak Ada Artinya

Max mengepalkan tinjunya dan menarik nafas dalam-dalam. Menghabisi manusia tak ada artinya saat ini, katanya dalam hati. Tujuan utamaku bukan untuk menghabisi mereka, kesayangan Rang Rang jauh lebih penting, tanpa mereka Taman Eden juga bisa hancur. Mereka juga kunci keseimbangan. Aku harus bergegas dan segera kembali ke Melianor. Aku rasa mencari jawaban dari kematian Bibi akan menghubungkanku dengan seluruh rantai keganjilan ini. Dulu, tak ada satupun manusia yang menginjakkan kaki di sini, sekarang sejak orang sakral itu tak ada, oknum-oknum busuk jadi bebas berkeliaran. Sebaiknya kuurus mereka nanti. Max menarik nafas lagi. Untuk terakhir kalinya, dia memindai seluruh area gosong.

Max mengedarkan pandangannya sekali lagi. Dia melihat ada beberapa alat berat di suatu sudut. Ada juga rumah petak terbuat dari terpal, kayu, dan seng, tempat para pekerja beristirahat. Max menggeram, tapi dia segera ingat tujuannya. Kesayangan Rang Rang harus diutamakan.

Max menatap rimbunan Bambu Gila di perbukitan seberang lahan gosong itu. Dia harus melewati lahan gosong yang membentang ratusan hektar di depannya agar bisa sampai ke Hutan Bambu Gila, tapi dia tak bisa menyebarang secara langsung. Lahan yang terbuka seperti itu akan membuatnya dilihat manusia. Dia tak mau menimbulkan kegemparan ketika saat berwujud setengah manusia. Pikiran manusia yang pendek akan menambah kerumitan. Kembali ke wujud manusia lalu menyeberang mungkin akan aman. Orang-orang akan menganggapnya sebagai pendaki gila, tapi tidak ada jaminan dia tidak akan tertahan oleh manusia yang melihatnya lalu ikut campur dengan urusannya. Setelah mempertimbangkan beberapa kemungkinan, dia lalu memilih jalan memutar ke arah tenggara agar bisa sampai ke Bambu Gila.

Cahaya matahari sudah menghilang saat Max berdiri di depan Hutan Bambu Gila. Diberi nama hutan bambu gila karena terdiri atas tanaman bambu berwarna kelabu dari batang sampai daunnya. Pucuk mereka saling terjalin dan merunduk, seperti rotan yang dianyam, sehingga menghalangi siapapun yang berdiri di bawahnya untuk melihat langit. Ini juga membuat tanah di Hutan Bambu Gila tak tersinari oleh matahari. Ketika ada angin berhembus, mereka seperti bergerak, bergeser, dan menimbulkan suara seperti perempuan-perempuan yang sedang saling mengejek. Belum lagi jika kabut turun.

Max menoleh ke belakang, rupanya manusia masih punya rasa takut terhadap area ini atau mereka hanya sedang mencari cara untuk menghancurkannya? tapi kurasa itu tidak akan mudah. Kabut akan membuat mereka gila duluan sebelum menyentuh satu batang bambu.

Max lalu fokus mengidentifikasi jejak para kesayangan Rang Rang. Ada jejak yang cukup jelas, bagaimana mereka menerobos tanaman bambu. Jejak yang tertinggal juga menjelaskan bagaimana mereka mencoba menghindari api dan tetap hidup. Sementara itu, jika dilihat dari kerapatan bambu, mustahil bagi mereka bisa menerobos dapuran bambu itu dengan mudah.

Dia pasti membukakan jalan untuk mereka, pikir Max. Kalau begitu, aku bisa bertanya padanya lebih dulu.

Max menyentuh salah satu batang bambu. Kemudian dia berjalan beberapa meter ke dalam Hutan Bambu Gila. Dia harus hati-hati saat memasukinya karena dapuran bambu itu juga dihuni makhluk-makhluk tertentu. Mereka mengawasi di antara kelembaban udara dan kerapatan batang bambu. Pendengaran Max yang tajam membuatnya bisa mendengar desis ular.

Ular-ular ini akan segera membunuh manusia jika mereka berani mengusik tempat tinggal mereka, pikir Max.

Di depan dapuran bambu hitam bercincin merah, Max berhenti. Dia meletakkan lutut kirinya ke tanah, siku lengan kanannya bersandar pada lutut kanan, kemudian telapak tangan kirinya menyentuh tanah. Telapak tangannya merasakan kelembaban permukaan tanah yang dipenuhi oleh humus dan daun bambu yang membusuk. Permukaan itu sedikit berair, namun itulah tempat tinggal makhluk yang dicarinya.

"Maafkan aku karena datang terlambat, aku datang untuk membawa kembali mereka," kata Max pada seekor ular yang melongok dari goanya di bawah rumpun bambu dengan batang-batang bercincin merah itu. Dia merespon aura yang mengetuk pintunya.

Ular dengan tubuh warna hitam dengan cincin merah menyala di tubuhnya bergerak keluar dari sarang. Ular itu memiliki mata awas berwarna emas.

"Anda dan penghuni lain telah membuka jalan untuk mereka, jika tidak, Bambu Gila tidak akan bisa dilewati oleh mereka, karena itu saya datang berterimakasih dan sekaligus untuk menjemput mereka," Max bicara sopan dengan ular itu.

Ular itu mendesis. "Mereka hampir mati terpanggang! saudara-saudaraku, mereka terpanggang hidup-hidup! apa yang kau lakukan di dunia manusia hah?! jadi bagian dari mereka?! kau melupakan posisimu di hutan ini!"

Max tidak bisa menghindari kemarahan ular itu. Dia menelan ludah. Tak mudah menjelaskan situasinya, apalagi di depan ular yang sedang marah. Hanya satu harapannya, ular itu tidak mengutuknya.

Ular itu mengelilingi Max yang masih diam dalam posisinya. "Jika suatu hari nanti mereka berani menyentuh tempat ini, aku pastikan mereka menderita tujuh turunan," bisik ular itu. Max tak membantah. Dia ingat tentang karma. Baginya manusia juga sudah melebihi batas kewajaran dalam mengeksploitasi hutan, jadi jika Gelombang akhirnya setuju menurunkan karma kolektif pada mereka, dia pun tak bisa berbuat apa-apa. Namun, sebelum itu terjadi, dia berharap bisa melakukan sesuatu dan menahan dampaknya.

"Kau datang untuk menyelamatkan mereka?"

Max mengangguk. Akhirnya ular itu bicara dengan lebih lembut, tapi kelembutan itu terasa angker.

"Silahkan saja, kalau kau bisa," ular itu mendesis tajam kemudian masuk lagi ke dalam goanya.

Max menarik nafas. Dia memahami arti kata-kata ular itu. "Tuan Pertapa! apa yang harus saya lakukan untuk membuat kesadaran mereka kembali?" Max bicara dengan pintu goa.

"Kalau kau sungguh seorang pemimpin sejati, kau pasti menemukan cara!" seru ular itu dari dalam goa.

Max menghela nafas. Ucapan Tuan Pertapa berwujud ular hitam bercincin merah menyala itu membuatnya introspeksi diri.

Apa yang kulakukan selama ini? aku sepertinya tidak pernah menunjukkan kemampuanku sebagai pemimpin. Di depan goa itu, dia meragukan dirinya sendiri.

"Sejujurnya, aku pun merasa tak layak sebagai pemimpin. Sejak dulu kupikir Goraksana lebih baik, tapi jika ini kesempatanku untuk membuktikannya, aku sangat khawatir tak mampu melakukannya, karena itu tidak bisakah Anda memberi saya petunjuk? Anda telah tinggal di tempat ini dalam waktu yang sangat lama, Anda mengenali tempat ini lebih baik dari saya," kata Max pada mulut goa. Pada saat itu, kabut tebal turun memabasahi punggungnya. Tuan Pertapa sudah tidak menanggapi Max. Dia menunggu selama beberapa saat, berharap Tuan Pertapa memberitahunya cara untuk menghilangkan pengaruh energi negatif Bambu Gila pada para binatang.

Setelah beberapa saat menunggu, petunjuk yang diinginkan tak diberikan. Dengan perasaan berat, Max kembali berdiri dengan kedua kakinya. Dia melihat sekeliling. Kabut terlihat sangat berkuasa di tempat itu.

Siapapun bisa tersesat ke dalam pikirannya sendiri jika dikelilingi oleh kabut seperti ini, Max takjub pada kekuatan magi di tempat itu.

Max tidak bisa melihat jalan di depannya dengan jelas. Sekelilingnya menjadi putih. Batang-batang bambu terlihat seperti hanya goresan garis putus-putus tak beraturan di atas kanvas. Jalan yang tadi dilaluinya telah berubah menjadi gumpalan awan lembut. Kini, dia hanya bisa melihat ujung kakinya.

Max tersenyum sambil merasa miris dalam hati, "Rasanya aku seperti ditelan oleh kabut. Unsur alam di tempat ini mengandung magi murni yang berbahaya."

Max memutuskan untuk duduk. Dia mengubah posenya menjadi bersila. "Lebih baik tidak nekat melewati kabut setebal ini. Apalagi magi yang dikandungnya bisa menyesatkan. Pertama-tama aku harus mengontrol diri lebih dulu agar tak terpengaruh."

Desis suara kabut terdengar semakin jelas di telinga Max saat dia memejamkan mata. Lambat laun, desis itu terasa seperti ratusan juta jarum berjatuhan dari langit menusuk tubuhnya. Max meringis saat mencoba menahan rasa sakitnya.

Terima kasih sudah sampai bab ini. Mudah-mudahan kamu semakin tertarik untuk mengetahui jati diri Elia, Max, Melianor, Theria dan yang lainnya.

Untuk segmen ini, saya ciptakan karena saya sering melihat kabut dan merasa itu unik. Ada suatu kesan misterius hal yang membuatnya istimewa di alam semesta ini bukan?

Salam

Mutayacreators' thoughts
Nächstes Kapitel