Elia merasa kalau penampilan Sunshine sesuai dengan namanya. Suaranya jernih dan hangat seperti cahaya matahari yang menyinari taman yang dilewatinya. Hal tak terduga dari Sunshine adalah keramahan dan nampan berisi potongan kue yang menggoda selera makan itu. Dia pikir, Sunshine akan memperlihatkan aura misterius dengan wajah licik. Kekhasan sang penyihir dalam imajinasinya buyar seketika ketika melihat Sunshine.
"Kue ini baru selesai dipanggang, kalian datang tepat ketika aku sedang mengirisnya, jadi masih terlihat uap panasnya, nah ayo, duduk di taman belakang. Kalian bisa lebih rileks di sana daripada di sini."
Sunshine melihat sekitar.
"Ada banyak barang-barang tua," katanya yang kemudian berjalan lebih dulu ke area yang disebutkannya. Bagi Elia, Sunshine seperti sedang menggiring dua keponakannya yang datang untuk minta kue.
Elia beradu pandang dengan Max. Dia tahu arti bahasa tubuh Max padanya adalah supaya dia menahan rasa ingin tahunya tentang Sunshine. Max tersenyum yang berarti supaya dia menahan ekspresi terkejutnya. Dia merasa Max akan tertawa gila jika dia menceritakan bayangannya tentang Sunshine sejak pertama kali melihatnya.
Dengan mengabaikan perasaan ganjil, Elia sekarang berjalan mengikuti Max dan Sunshine. Sekali lagi, Sunshine dan tempat tinggalnya membuatnya takjub. Taman belakang benar-benar taman yang memberikan hawa rileks. Dia tidak membayangkan ada sebuah kolam berisi kura-kura. Dia melihat ada dua kura-kura yang sedang malu-malu berjemur di pinggiran kolam. Di dalam kolam itu juga ada penyu. Lehernya yang panjang sedang melongok naik. Dia merasa baru saja bertatapan dengan kedua mata penyu leher panjang itu. Buru-buru dia mengalihkan pandangannya ke sekitar. Kontak matanya beradu dengan beragam tanaman hias. Bisa dipastikan bahwa semuanya merupakan tanaman hias langka. Bunga yang menarik baginya di taman itu adalah tanaman bunga wisteria yang sedang mekar. Dia jadi merasa berada di dunia lain. Ketika melihat ke langit-langit, barulah dia tahu kalau taman itu merupakan rumah kaca khusus untuk menumbuhkan berbagai macam tanaman bunga langka. Setelah cukup lama memperhatikan lingkungan semi outdoor itu, dia akhirnya duduk di depan Max.
"Aku akan mengambil teh, oh ya kue ini bernama semburat pagi," ujar Sunshine dengan ceria lalu berjalan masuk.
Elia dan Max hanya saling tatap beberapa detik. Max masih menunjukkan ekspresi tidak mau menjelaskan apapun. Elia lalu memperhatikan tekstur kue yang ada di depannya. Warnanya kuning kecokelatan dengan tekstur yang memperlihatkan pola akar, tidak beraturan, tapi menyenangkan dipandang mata. Dia mengingat kue lapis legit saat melihat kue itu.
"Ini lapis legit kan?"
"Sunshine suka menamai kue-kue buatannya sendiri," jawab Max sambil mengambil sepotong lalu melahapnya.
Cara Max menikmati kue semburat pagi membuat Elia tergoda. Dia ikut mengambil sepotong dan mengunyahnya. Dia langsung sadar kalau rasa kue itu benar-benar cocok untuk sarapan. Ketika mengunyahnya, dia merasakan cita rasanya meningkatkan semangat di dalam dirinya. Kue itu juga lembut dan tidak membuatnya sulit menelan. Tanpa minuman, dia sudah bisa menghabiskan dua potong. Potongan kue di atas nampan tinggal setengah ketika Sunshine muncul lagi.
"Bagaimana rasanya?" Sunshine kembali dengan nampan berisi tiga cangkir dan sebuah teko kaca berisi teh. Aroma melati tercium oleh semua orang ketika Sunshine menuangkannya.
"Teh melati pasti cocok untuk suasana ini."
"Aku tak menyangka ada suasana seperti ini di tengah kota."
Elia bermaksud memuji tapi Sunshine sudah terbiasa dengan kalimat seperti itu. Reaksi Sunshine yang biasa membuatnya canggung.
"Itulah nilai seni tempat ini."
Sunshine lalu duduk bersama mereka.
"Nah habiskan, aku akan membuat yang lain lagi nanti."
Elia mendapatkan sinyal dari Max untuk mengeluarkan barang yang dititipkan padanya. Dia lalu mengeluarkannya dengan senang bercampur harapan Sunshine bisa segera membuatnya tahu kebenaran di balik kematian ibunya dan juga siapa ayahnya. Dia agak gugup ketika menyadari Sunshine mengamatinya.
"Sudah lama aku tidak ketemu denganmu, jadi aku merasa bersalah saat datang hanya ketika aku punya permintaan," ungkap Max sambil menimang-timang benda silinder terbuat dari kayu gaharu itu di tangannya.
Elia mengamati kedua orang itu. Sunshine memperhatikan benda yang dibawa Max dengan sikap tenang yang anggun. Elia pikir Sunshine sedang menebak-nebak apa yang diinginkan Max.
"Aku akan pertimbangkan permintaanmu, apa ini ada hubungannya dengan dia?" Sunshine menunjuk Elia dengan jari lentiknya. Kuku jari Sunshine tidak dihiasi oleh kutek. Kuku indah itu hadir dengan warna aslinya. Elia terkesima dengan kecantikan jari dan kuku Sunshine. Gugup, Elia menjawab, "Saya Elia, umm...teman Max."
"Oh" alis Sunshine terangkat saat mengatakan satu kata singkat itu. Ekspresinya menunjukkan banyak hal. Terlintas di benak Elia kalau keberadaannya sudah diketahui. Kemudian terasakan olehnya kalau Sunshine sedang melakukan screening padanya. Sikap yang tak pernah dia rasakan sebelumnya dari lawan bicaranya itu membuatnya meminta bantuan secara non verbal pada Max.
"Dia anak Bibi."
Fakta itu membuat Sunshine mengubah objek pandangnya. Max kini jadi pusat perhatiannya.
"Kita bicara empat mata dan berikan itu padaku," ucap Sunshine pada Max seraya menerima benda silinder itu dari Max. Lalu dia beralih pada Elia dengan tatapan kurang tertarik.
"Kamu tetap di sini. Bebas melihat-lihat," nada bicaranya yang ramah berubah jadi instruksi tegas.
Kemudian, tanpa menunggu jawaban dari Elia, Sunshine dan Max sudah beriringan masuk ke dalam ruangan yang beraroma kayu manis. Belum selesai Elia terkejut, kesadarannya memaksanya untuk menikmati situasi daripada mencoba menerimanya secara logis.
"Apa mereka punya hubungan khusus? Apa itu tadi? bahasa tubuh Max meliuk begitu. Ah iya, pria mana sih yang nggak tertarik padanya. Tinggi, seksi, kulit bersih, rambut hitam panjang berkilau dan lihat ini, dia bisa bikin kue seenak ini. Aku aja ketagihan. Mungkin masakannya yang lain juga enak."
Elia melahap satu potong lagi.
"Apa yang mereka bicarakan ya? apa itu hal yang harus dirahasiakan dariku?"
Tiba-tiba dia ingat aksi konyolnya, membuka bra di depan Max dengan sikap erotis. Elia merinding. Dia mengusap kedua lengannya sendiri. "Nggak mungkin mereka melakukannya siang bolong begini kan?"
Elia lalu melihat-lihat sekitar untuk mengalihkan pikirannya. Tatapannya tertuju pada sekelompok bunga wisteria. Corak merah muda dan putihnya membuatnya tenang. Elia bertanya-tanya kenapa warna yang biasanya tidak menarik baginya selama ini membuatnya tidak bisa berhenti memandangnya. Apakah itu karena cahaya yang menyinarinya?
Elia bergerak mendekati serangkaian kelopak bunga wisteria itu. Kelenturan tangkainya membuat kelopak bunga itu hampir seperti tirai lembut, membuatnya tergoda untuk menyentuhnya. Elia sudah dekat dan hampir menyentuhnya.
"Stop!"
Elia terhenti seketika. Di tengah kebingungan itu, saat menoleh, dia melihat Sunshine berjalan mendekatinya. Tinggi tubuhnya membuatnya terlihat indah di sekitar tanaman yang berwarna-warni. Mungkin karena pakaiannya, dia terlihat sangat sempurna, Elia memuji dalam hati.
"Maaf aku tidak bermaksud merusaknya. Hanya penasaran."
Elia merinding dengan tatapan Sunshine yang sangat halus padanya tapi membuatnya merasa bersalah seketika walau tidak melakukan kesalahan fatal.