webnovel

Kesalahpahaman Elia

Sejak awal aku sangat takut dan bingung. Aku tidak tahu harus melakukan apa karena itu, aku hanya mengikuti kata orang itu. Tak kusangka kalau orang itu bukan Max. Setelah selesai dari ruang mayat, aku hanya berpikir kalau pergi ke Bar Jam akan membuatku bertemu dengannya. Aku selalu berpikir paling mudah menemukannya di sana. Saat keluar dari Bar Jam, kupikir ada orang yang mengikutiku tapi aku tidak yakin, jadi aku mengabaikannya dan terus berjalan sampai ke rumahnya. Saat melihatnya aku benar-benar lega dan aku hanya bisa mengatakan hal yang selama ini terulang-ulang di pikiranku. Jika ibuku pelacur, maka aku akan jadi seperti dia. Aku akan membalasnya karena meninggalkanku seperti ini. Begitu tekadku. Saat dia bilang ibuku bukan pelacur, air mataku tumpah. Akhirnya ada seseorang yang memberitahuku hal yang selama ini kupercayai. Dalam hati kecil, aku tidak percaya kalau ibuku pelacur, tapi ketika orang-orang menyebutnya seperti itu, aku mungkin mulai merasa dikhianati dan kesal karenanya. Untungnya, Max menganggap serius omonganku dengan cara yang tidak kubayangkan. Aku memikirkan ulang setiap tindakanku sejak semalam, aku benar-benar bodoh dan malu. Sekarang, aku merasa cukup aman ketika Max bilang akan melibatkanku dalam rencananya, bagaimanapun aku tidak mau ditinggalkan sendirian. Aku juga ingin menemukan kebenaran di balik kematian ibuku dengan kekuatan, mata, dan kepalaku sendiri. Elia mengakui semua itu dengan mulut terdiam sambil melihat ke arah taman. Setelah mengakui semuanya, dia pikir lebih baik memberitahu hal yang mengganggunya saat dalam perjalanan ke rumah Max.

"Max..." Elia memanggil laki-laki yang sedang menyajikan bakmi goreng ke piring itu dengan misterius. Max tentu saja langsung mengangkat wajahnya.

"Aku ingat sesuatu," kata Elia.

"Oke katakan."

Dari cara Max menanggapinya, Elia baru tahu kalau Max sebenarnya sudah menunggu supaya dia mengatakan hal-hal yang mungkin terlewatkan olehnya. Pantaslah dia membuatkanku kopi, roti panggang, dan sekarang bakmi Jawa lengkap dengan bakso dan sosis, itu semua dilakukannya agar aku lebih rileks, pikir Elia yang kemudian berkata, "Sebenarnya semalam saat aku jalan ke sini ada yang mengikutiku, tapi aku pikir hanya halusinasiku saja, soalnya aku nggak kepikiran sedang dikuntit."

Elia menyadari reaksi Max yang maklum padanya sambil mendorong sepiring bakmi Jawa lebih dekat padanya. Sepiring lainnya sudah ada di depan Max.

"Kamu tahu seperti apa orangnya?"

Elia menggeleng. "Tidak, waktu itu gelap, dia juga menjaga jaraknya dariku sampai menjadi antara ada dan tiada."

"Santailah dulu sambil makan. Kamu belum makan sejak semalam. Setelah itu mandi dan beristirahat dulu sebentar," Max memberi saran sambil mengambil dua garpu. Satu diletakkannya di depan Elia.

"Aku tidak yakin aku bisa makan."

"Cobalah," Max menyantap mienya sendiri.

Melihat cara Max mengunyah, Elia tergoda juga. Dia mulai menyantap. Aneh, dalam situasi yang aku tak tahu ini bahaya besar atau bisa terlewatkan dengan cepat, makanan tetap terasa penting bagi tubuhku. Aku bisa menikmati masakannya. Ini enak. Batin Elia gembira.

Selesai makan, Max tidak mengajaknya membicarakan misteri tasnya yang hilang atau pun membicarakan ibunya. Dia merasa Max sudah memiliki tersangka dan sengaja menghindari kedua topik itu. Semoga hanya sementara waktu, pikir Elia sambil membuka pakaiannya. Dia siap untuk mandi.

Saat menggosok tubuh dengan sabun, Elia melihat ada semacam bekas luka. Dia tidak bisa melihatnya dengan jelas karena letaknya menjorok bagian belakang bahu sampai ke tulang lehernya. Apakah semalam Max melihatnya? tunggu, kenapa aku tidak tahu? apa yang terlewatkan olehku? kenapa aku tidak tahu kalau aku punya luka seperti ini? sejak kapan ini ada?

Elia buru-buru memakai bra dan kaos pinjaman dari Max. Dia berlari ke bawah.

"Max!"

Tak ada sahutan.

"Max!"

Elia panik.

"Max!"

Panggilan yang ketiga kalinya baru membuahkan hasil. Max muncul dari belakangnya dengan wajah khawatir. Dia sempat heran karena tak mendengar langkah kaki Max, tapi dia mengabaikan itu sementara waktu.

"Lihat ini Max!"

Dia membuka kaosnya dan memperlihatkan tanda bekas luka yang tadi dilihatnya. Max menghampirinya dengan wajah tanda tanya. "Apa ini?"

Max memperhatikan dengan seksama. Sementara itu Elia membuat suara seperti dicekik.

"Apa ini Max?"

Elia menarik kedua lengan dan mengamati wajah Max secara bergantian. Dia memperhatikan semua yang dilihatnya dengan kagum. "Luar biasa, bagaimana kamu membuatnya? ini tato jenis baru? tapi semalam aku tidak melihatnya. Ini baru dibuat? tidak mungkin, baru sekitar sepuluh menit kita pisah nggak cukup waktu untuk membuat tato baru. Kamu tahu Max, wajahmu terlihat bersinar tadi, sekarang sudah tidak, tapi aku melihatnya, garis kebiruan di wajah dan lenganmu. Sekarang jadi samar, eh, kenapa begitu?"

"Tepatnya seperti apa garis itu?"

"Ummm, aku tidak pernah melihatnya, apa ya? bentuknya seperti gelombang pantai, memangnya itu apa?"

"Pakai lagi kaosmu!"

"Ah sorry, aku tadi terlalu bersemangat."

"Kamu baru saja melihatnya?"

Max membuat Elia waspada.

"Memangnya ini sesuatu yang semestinya kumiliki dari dulu atau sudah bisa kulihat dari dulu?"

Ekspresi Max membuat Elia tertegun. Ini bukan saat yang tepat untuk bercanda. Max lebih serius daripada sesaat sebelum dia membuatkan sarapan Bakmi Jawa. Padahal menurutnya, situasi kehilangan tas dan tamu tak diundang malam-malam di saat dia dalam keadaan terikat adalah situasi yang lebih buruk daripada saat ini. Kenapa Max malah lebih khawatir pada situasi saat ini daripada tadi?

"Aku tidak pernah terluka di bagian ini. Aku pernah jatuh, lukanya di bagian lutut dan sekarang sudah menghilang."

Max mengamati lutut Elia. Itu membuat Elia refleks melihat lututnya sendiri.

"Apa hubungan ini dengan situasiku sekarang? bukankah sekarang seharusnya kita mencari ibuku? eh tidak, maksudku mencari handphone ibuku dan menemukan orang yang menginginkannya?"

Elia mengikuti Max yang tiba-tiba berbalik dan berjalan ke lain ruangan. Dia melihat sebuah rak didorong oleh Max. Oh dari sini rupanya dia muncul tadi, Elia kagum.

Rak hanyalah fungsi ganda dari pintu yang dibuat secara unik itu. Elia mengikuti Max masuk tanpa ragu sedikitpun karena Max tidak melarangnya. Pada momen seperti ini dia jadi merasa tidak tahu apa-apa tentang Max. Semua hal dalam diri Max dan rumahnya jadi semakin misterius baginya.

Elia melewati anak tangga yang panjangnya kurang lebih empat meter. Sekarang dia berada di bawah tanah bersama Max. Dia menduga garasi berada sekitar tiga meter di atas mereka. Ruangan itu membuatnya merinding karena kelembaban dan frekuensi udaranya berbeda dengan di permukaan. Tubuhnya butuh waktu untuk beradaptasi. Dia mulai berpikir sudah berada di dunia lain. Dia merasa telah mencium aroma arwah gentayangan. Dia sempat berhenti dan gugup di belakang Max. Dia melongokkan kepalanya melewati pundak sisi kanan Max dan dengan begitu dia bisa melihat sebuah meja penyimpanan. Ketika meja itu digerakkan tampaklah fungsi aslinya sebagai explotion box. Dengan segera dia mengagumi benda-benda yang ada di dalamnya. Semua nampak tua dan antik. Tidak ada satu pun yang terlihat murahan. Pada saat yang bersamaan dia juga bingung, "Apa ini? apa hubungan semua ini dengan ibuku? apa ini benda-benda peninggalan ibuku? benda yang dirahasiakan olehnya dan sekarang sedang diincar oleh entah siapa?"

I tagged this book, come and support me with a thumbs up!

Mutayacreators' thoughts
Nächstes Kapitel