Max memarkir mobilnya di halaman parkir lokasi bisnis bernama Bar Jam. Dia membuka pintu masuk Bar yang sudah bertandakan closed dengan kunci yang diambilnya dari saku jaket jeansnya.
Max sudah hapal setiap sisi bar. Setengah lebih sedikit aset bar ini miliknya. Dia berjalan masuk dengan percaya diri. Bayangannya tertelan oleh lorong yang gelap. Di ujung, dia menaiki tangga menuju ke lantai dua. Dia mendorong sebuah pintu kaca. Pintu itu terasa agak berat, seret, dan menimbulkan bunyi juga. Dia tak peduli dengan gangguan itu. Kakinya melangkah masuk dan mendapati seseorang sedang melihat berita malam di televisi. Dia tidak heran kalau orang itu tidak menoleh untuk menyambutnya karena sudah terbiasa dia datang lewat jam operasional.
"Mau bir?"
Max mendengar orang itu menawarinya sambil mengangkat kaleng bir tanpa menoleh. Tanpa berkata iya, dia duduk di sebelah orang yang acuh tak acuh padanya. Dia meletakkan bokongnya dengan kasar ke sofa yang sudah lusuh sambil menghela nafas.
"Bagaimana Elia? kalau kamu di sini berarti kamu menyia-nyiakannya."
Max melihat jam dinding menunjukkan waktu jam dua pagi. Dia menoleh, orang itu terlihat sedang menenggak birnya.
"Jam, bagaimana kamu tahu kalau dia ke tempatku dengan niat seperti itu?"
"Tadi dia kemari, minum sampai hampir tengah malam, ngoceh ngalor ngidul sampai dia memutuskan untuk menemuimu."
Max menggertakkan giginya. Dia ingat mencium aroma alkohol dari Elia. Saat dia membawa Elia ke kamar itu, sebenarnya dia cukup bernafsu tapi menahan diri karena merasa bersalah jika melakukannya pada seseorang yang sedang emosional.
Max lalu fokus pada televisi yang memberitakan penemuan mayat perempuan yang disebut-sebut sebagai pekerja prostitusi. Perempuan itu ditemukan di kolam renang sebuah hotel bintang lima dengan kondisi telanjang, bertato, dan punya banyak luka. Adegan selanjutnya di dalam berita adalah lokasi kolam renang sebagai tempat penemuan mayat. Narasi dalam berita itu menyebut bahwa perempuan itu adalah pekerja seks komersil paling hot dan sedang jadi perbincangan di komunitas terkait. Mereka tidak menyebutkan secara jelas kondisi mayat, hasil autopsi, dan juga indikasi dengan siapa terakhir kali di sana.
"Kenapa tidak kamu lanjutkan?"
Di telinga Max, pertanyaan Jam seperti mengolok-oloknya. Dia jadi meradang lalu mengambil remote dan mematikan televisi.
"Dia bersikeras menjadi pekerja seks, pelacur! kau tahu?!"
"Ya, dia membicarakan itu juga," kata Jam dengan santai. Max dengan sabar menunggu Jam menghabiskan satu kaleng bir dalam sekali tenggak.
"Brengsek! apa yang kamu pikirkan, kamu memberinya nasehat agar pergi ke tempatku atau apa? apa yang kamu katakan padanya?"
Max menggertakkan giginya untuk menahan emosinya. Dia melihat Jam masih tetap tenang bahkan sedang berusaha membuka satu kaleng bir lagi. Dia merebut kaleng itu dari tangan Jam. Jam melenguh, dia mengeluh Max bertindak berlebihan.
"Berlebihan kamu bilang? heh! kalau dia mau menjual tubuhnya itu bebas! terserah dia, yang jadi masalah dia mau pergi ke Bawah Tanah!"
Max mendapati Jam tidak terkejut dengan informasi yang baru saja diteriakkannya. Dia mencapai kesimpulan kalau Elia sudah bicara dengan Jam lebih dulu dan akhirnya Jam memberitahu Elia kalau dia memiliki koneksi ke Bawah Tanah, karena itulah Elia bersikeras datang ke tempatnya bahkan sudah siap mengganti jasanya dengan bersetubuh.
"Kau gila! kau tahu apa itu Bawah Tanah bukan?!"
"Kita tidak bisa menghindar lagi, Bibi masih di ruang autopsi, Elia pasti melihat berita ini tadi sebelum ke Bar dan akhirnya ngoceh macam-macam."
"Kamu bisa menghentikannya dengan membuatnya menerima kenyataan dan tak perlu mengikuti jejak ibunya sendiri!"
"Aku sudah berusaha! kau pikir aku tidak melakukannya? dan juga bukan aku yang memberitahu kalau kamu punya koneksi ke sana. Dia mengetahuinya sendiri. Mungkin kamulah yang tanpa sengaja membongkar identitasmu sendiri."
Max lalu berpikir. Dalam hati dia menolak fakta jika dia pernah teledor.
"Tidak selamanya kamu bisa menyembunyikan identitasmu karena dia cerdas. Jika dia sudah bertekad hampir tidak mungkin kita menghentikannya, kecuali dia sendiri memutuskan untuk melupakan tekadnya."
Max mendengarkan setiap kata Jam dengan frustasi.
"Kamu juga pasti tahu soal itu."
Max melihat Jam kembali mengambil sekaleng bir yang masih utuh. Dia terlihat mau membukanya tapi tidak jadi. "Kamu benar-benar tidak melakukannya?"
"Kenapa? kamu menginginkannya?"
"Sial!" Jam melempar kaleng bir yang tak jadi dibukanya ke meja. Bunyi kelontang terdengar jelas dan membuat suasana tegang di antara mereka menghilang. Perubahan mendadak itu membuat Max tertawa.
"Jangan bilang kamu sudah mencoba merayunya."
Max melihat sekeliling. Tatapannya terpaku pada sebuah pakaian yang tak sesuai dengan keseluruhan isi ruangan itu. Max berdiri dan mengambilnya. Itu sebuah blush pendek. Blush itu tergeletak disisi ranjang.
"Oh, jadi dia sempat naik ke tempat tidurmu tapi akhirnya melarikan diri? pantas dia sampai ke tempatku hanya dengan bra dan mantel," kata Max, ada perasaan kecewa dalam dirinya yang tiba-tiba menyeruak dan membuatnya kecewa juga pada Jam. Max menyandarkan tubuhnya kembali ke sofa. Dia ingat momen-momen saat Elia duduk di pangkuanya. Itu terjadi beberapa menit lalu. Dia lalu membayangkan apa yang terjadi sebelum Elia berlari ke rumahnya. Elia dalam keadaan setengah mabuk saat dipapah Jam ke atas tempat tidurnya. Elia kemungkinan sudah diajak Jam bicara empat mata di sini sejak awal. Melihat Elia sangat frustasi, Jam berpikir bisa menenangkannya dengan cara itu seperti yang biasa dia lakukan pada setiap perempuan yang berhasil dibawanya naik ke tempat tidur.
Max lalu mengamati Jam sedang menata dirinya. Dia tahu Jam memejamkan mata sambil tiduran di sofa yang lain untuk menenangkan perasaan. Dia yakin Jam merasa masih punya kesempatan pada Elia. Dalam hati, dia bertekad tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
"Bagaimana kalau sekarang kita lupakan sejenak soal memiliki Elia? kita fokus pada apa yang harus kita lakukan pada Elia agar melupakan niatnya," kata Max sambil menoleh. Dia sadar betul butuh bantuan Jam untuk melakukannya.
"Dia anak satu-satunya Bibi dan Bibi sudah berpesan agar menjauhkannya dari Bawah Tanah," imbuh Max.
"Sudah kubilang itu mustahil," jawab Jam. "Daripada mencari cara membuat Elia mengubah niatnya, bukankah lebih baik memikirkan apa yang bisa kita lakukan untuknya? jika dia mau pergi ke Bawah Tanah, sebaiknya kita memberikan jalan paling aman untuknya."
Max memikirkan kata-kata Jam. Dia tahu tidak ada 'jalan aman' jika sudah masuk Bawah Tanah. Masalahnya dia juga tidak bisa memberitahu apa itu Bawah Tanah yang sebenarnya pada Jam. Informasi internal tak bisa disebutkannya pada orang lain, termasuk Jam, sekalipun dia adalah rekan bisnis.
"Kalau kita tidak melakukannya, dia akan mencari orang lain yang bisa membukakan jalan untuknya. Kita mengenalnya belasan tahun. Kita sama-sama tahu karakternya."
Max menghela nafas. Dia merasa berat dengan usulan Jam tapi pendapat Jam tidak salah. "Jam, Bawah Tanah bisa mambuat Elia berubah total," katanya untuk memperingatkan Jam.
Max tak melihat reaksi Jam akan membantah kata-katanya atau mengiyakannya.
"Itu salah satu dari sekian banyak hal yang harus kita terima sebagai orang terdekatnya," sambut Jam dengan dingin alih-alih mencarikan cara lain untuk mencegah Elia masuk ke Bawah Tanah seperti yang diinginkan Max.
"Kau gila!"
Max menduga Jam memiliki motif lain di dalam saran-saran itu. Jika Elia masuk ke Bawah Tanah, Jam bisa kapan saja mengambil kesempatan. Dia lalu mengakhiri percakapan dengan Jam. Dia membalik badan. Dengan langkah-langkah lebar, dia kembali ke mobilnya dan menyalakannya.
Dalam perjalanan kembali ke rumah, di persimpangan jalan, Max melihat perkelahian. Keningnya terasa mengeras. Dia tak suka perjalanannya terganggu. Dia terpaksa menghentikan mobilnya karena perkelahian antar dua orang itu terjadi tepat di tengah jalan. Dia menyalakan rokok untuk menunggu salah satu dari mereka memenangkan pertarungan.
Hasilnya jelas terlihat ketika putung rokok Max tinggal setengah. Dia melihat orang yang memenangkan pertarungan menghampirinya. Orang itu bertato di lengan kiri. Tangan kanannya menggenggam pisau yang masih beruap setelah menembus jantung lawannya. Max mengenali tato itu karena dia yang membuatnya.
"Oh bos Max, sedang apa pagi-pagi begini di sini? Baru dari bar?"
Max mengangguk. "Singkirkan mayatnya Draft, aku mau lewat."
"Siap," ujar Draft.
Tatapan Max mengikuti langkah Draft yang bergegas menyeret mayat seorang laki-laki ke pinggir jalan. Draft menenteng orang itu seperti menenteng kain basah. Dia bisa melihat darah menetes dari tubuh orang itu. Draft tak hanya menusuk, tapi juga menyayatnya dengan pisau. Dia beradu pandang dengan Draft sekilas.
"Hati-hati di jalan Bos!" seru Draft.
Max acuh tak acuh. Dia membawa mobilnya memasuki jalan menuju rumahnya. Di ufuk timur, garis jingga mulai tampak. Bias cahaya matahari mulai menerangi gedung-gedung tua di sekitarnya.