webnovel

FIRASAT TEMAN

Megha melempar senyum ramahnya, begitulah ia bersikap terhadap orang-orang yang sudah akrab kepadanya dan selalu berlaku baik pula. Berbeda apa bila orang itu baru ia kenal atau tidak memiliki rasa dekat kepadanya, wanita itu akan lebih menghemat senyum dan terkesan judes.

"Alvan di rumah?" tanya Megha.

"Siapa yang datang, Pen?" Belum sempat Setepen menjawab, Alvan sudah muncul dengan luka memarnya. Tentu saja hal itu mengejutkan Megha. Ia langsung berjalan menyongsong Alvan, tak peduli tuan rumah belum mempersilakannya masuk.

"Bokap?" pertanyaan ragu Megha bercampur dengan kekhawatirannya.

Alvan tak sanggup menatap mata Megha, mulutnya bungkam lantas hanya mengangguk pelan.

"Kita udah 25 tahun! udah sangat bisa protes kalau kita nggak suka diperlakukan semena-mena!" amarah Megha mulai naik.

"Ga pa-pa lah, Gha. Ini semua salah gue juga, kok. Gue yang udah bikin malu bokap. Gue yang udah rusak kepercayaan dia. Bokap, Rako –"

"Rako?!"

"Iya. Rasa sakit pukulan ini sama sekali ngga sebanding dengan rasa kecewa mereka."

"Jadi Rako ikut-ikutan mukulin elo?!"

"Harusnya lo udah bisa nebak, kan?"

Megha menggaruk keningnya. Wajahnya terlihat semerawut dalam hati menyesali sikap kasar Rako. "Pasti dia deh, yang paling keras mukul!"

"Udahlah, nggak usah lo pikirin. Beberapa hari lagi juga memarnya hilang, kok."

Megha bertolak pinggang, menatap Alvan penuh keseriusan. "Gue emang ngga bisa protes sama bokap lo, tapi gue bisa protes sama Rako!"

Hampir Megha membalikkan badan untuk pergi, Alvan secepat kilat langsung menahannya. "Ey, jangan-jangan!" pinta Alvan. "Gue nggak mau persoalan pukul memukul jadi panjang. Mending kita fokus, buat siapin pernikahan kita."

"Tapi Rako harus –"

"Gha..." sela Alvan, tatapannya hangat mencoba memberi Megha pengertian. "Terima kasih buat kepedulian lo sama gue. Tapi gue tau kok, Gha. Kapan saat gue mengalah, dan kapan saat gue membalas."

"Dan sejak dulu lo selalu aja ngalah!"

Bibir Alvan seketika terkatup, tak mampu membalas timpalan Megha, karena di dalam benaknya pun ia memang membenarkan hal itu.

Sadar dengan arti diam Alvan. Megha membuang sisa kekesalannya dengan menghembuskan nafas dalam-dalam. "Ya udah, kita stop pembahasan ini."

Langsung saja, senyuman bahagia dari bibir pria itu terpancar.

Megha enggan membalas senyuman itu. Matanya lebih memilih memandangi arah menuju ruang makan.

"Gue lapar!" celetuk Megha tanpa malu-malu.

Tawa Alvan hampir pecah, sebelum akhirnya ia mengaduh kesakitan. "Aw – aw!"

"Nah, kan! Kualat lo ngetawain orang yang lagi kelaparan!" ejek Megha.

"Iya – iya...." Alvan melempar pandangan ke arah Setepen yang sejak tadi mematung. "Pen, bilang sama Pak Hendar siapin makan buat Megha."

"Iya, Mas."

Megha memandangi Setepen kebingungan. "Loh, dari tadi kamu masih di situ, Pen."

"Ma – maaf, Mba. Ngelihat Mba sewot saya sampe lupa diri buat tau diri," Setepen menjawab polos. Membuat Alvan tersenyum geleng-geleng melihat tingkahnya. Sementara Megha, terlihat tak sedikit pun mengedipkan mata memandangi Setepen.

Tidak ingin menjadi bahan kekesalan selanjutnya, Setepen langsung berniat melarikan diri. "Pe – permisi Mbak, Mas. Saya minta bapak saya siapin makanan dulu," pamit Setepen. Berjalan melewati Megha dengan perasaan ngeri.

Setelah Setepen menjauh. Alvan mulai teringat sesuatu.

"Eh! Tapi kenapa lo bisa kesini, ya? Tadi kan gue udah bilang kalo kita nggak usah ketemu dulu," ujar Alvan.

Megha menyilangkan tangan. Ia hampiri wajah Alvan lebih dekat dengan sorot matanya yang lagi-lagi tajam. Pria itu larut dalam tegang, tidak mengerti kenapa ia menjadi sasaran wanita yang wajahnya sedang masam.

"Ini yang disebut firasat seorang sahabat. Jadi jangan coba-coba menyembunyikan kesusahan lo dari gue!" tandas Megha, kembali mengambil jarak dari Alvan.

Alvan mengunci mulutnya. Hanya mengangguk-angguk tak bisa beralasan karena sudah ketahuan.

***

TOK – TOK – TOK

Pak Rudi masuk ke dalam ruang kerja Papi Darma sambil membawa berkas yang dibutuhkan untuk pria itu tanda tangani. Tampak jelas raut suram Papi Darma yang Pak Rudi tangkap. Ia ingin sekali menjadi teman bercerita bosnya, namun rasa sungkannya untuk membuka pembicaraan menahannya untuk melakukan hal itu.

"Gimana kabar anak dan istri kamu Rud?" tiba-tiba saja Papi Darma bertanya, setelah memberikan beberapa dokumen yang telah ia tanda tangani.

Pak cukup terkejut oleh pertanya Papi Darma, sangat jarang sekali pria itu menanyakan keadaan keluarganya.

"Alhamdulillah sehat, Pak," jawab Pak Rudi singkat.

"Hem... siapa nama anak tunggal kamu?"

"Vicka."

"Ah ya, Vicka. Semester berapa dia sekarang?"

Pak Rudi tersenyum menyambut pertanyaan Papi Darma yang terakhir. "Vicka baru saja di wisuda, Pak."

"Oh ya?! Ternyata selama ini saya banyak ketinggalan informasi tentang keluarga kamu. Lalu apa rencananya sekarang?"

"Dia sedang menunggu panggilan untuk ikut tes di Mahawira Group."

"Jadi dia melamar kerja di Mahawira?"

Pak Rudi mengangguk yakin. "Betul, Pak."

Papi Darma terdiam, pikirannya melayang mulai merencanakan sesuatu.

"Saya permisi, Pak."

"Tunggu, Rud."

"Iya. Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?"

"Besok, di jam makan malam tolong kamu atur pertemuan antara saya dengan Pak Agung dan Bu Mawar."

Mata Pak Rudi sedikit melebar, ia menduga akan ada pembicaraan besar esok malam. "Baik, Pak.

"Dan pastikan anak-anak juga hadir."

"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi."

Setelah Pak Rudi pergi, Papi Darma lantas mengambil sebuah foto berbingkai yang terduduk di meja kerjanya.

Di foto itu keluarganya terlihat lengkap. Ia, Alvan dan Rako yang masih SMU, dan istrinya Mami Hanum yang sudah tak hadir lagi di tengah mereka.

"Num," Papi Rudi berujar sambil memandang lekat pada foto istrinya. "Keinginan kamu untuk menjadikan Megha sebagai pendamping Alvan sebentar lagi akan terwujud. Bahkan kita sebentar lagi akan punya cucu dari mereka. Tapi... kenapa caranya harus begini, Num?

"Aku rela melepas nama baikku kalau memang ini adalah bayaran dari impian kamu, Num. Tapi kenapa harus ada yang kecewa di dalam impian kamu. Dan yang kecewa pun tidak jauh dari hati kita.

"Apa keputusanku untuk merestui mereka sudah tepat, Num?"

Papi Darma menghela nafasnya, ia letakkan kembali foto itu lalu bersandar lemah di kursi kerjanya. Teringat kembali kenangan masa lalunya, di mana Mami Hanum selalu saja berkata ingin menjadikan Megha menantu dari sisi Alvan.

Megha Azkia, mampu mencuri hati Mami Hanum sejak pertama kali mereka bertemu. Saat itu Megha dan Alvan berada di dalam satu kelas yang sama di SMU, hal itulah yang membuat mereka dekat, bahkan sering mengerjakan tugas sekolah bersama di rumah.

Megha yang dimata Mami Hanum bisa menjadi obat kehampaan di dalam rumah. Ketika orang-orang di dalamnya disibukkan dengan berbagai rutinitas, Megha hadir menjadi teman yang menghangatkan untuk Mami Hanum.

Nächstes Kapitel