webnovel

SINGA DAN HARIMAU BETINA

"Pah, pisahin dong, Pa!"

"Duh Ma, dari yang sudah-sudah. Papa bisa ngga sengaja ikutan kena jambak juga."

"Terus Papa mau biarin mereka gitu aja?!"

Papa Agung mendesah pasrah.

"Ada apa ini, Pak?" tiba-tiba Mang Iyuk muncul karena mendengar keramaian.

"Nah, untung kamu datang, Yuk. Pisahin Yuk! Pisahin mereka sekarang!"

Bukannya bergerak cepat, Mang Iyuk justru melongo mendapat perintah dari majikannya. Terlintas kenangan dalam pikiran Mang Iyuk, bagaimana ia pernah kena cakar saat memisahkan Metha dan Megha dalam perkelahian.

"Yuk, kok kamu malah diam?! Cepetan!" perintah Papa Agung lagi.

"Oh!" Iyuk tersadar. "Ba – baik tuan!"

Mang Iyuk menarik nafasnya. Bersiap melompat ke tengah arena menjadi tembok bagi Metha dan Megha.

"Bismillahirrohmanirrohim...."

Papa Agung memandang ngeri, Mama Mawar terbelalak sambil menutup mulutnya sendiri.

Hap – Mang Iyuk langsung melompat memisahkan Metha dan Megha.

"Non-non! Sudah Non, jangan berantem begini!" pinta Mang Iyuk dengan muka memelas. Berusaha melepaskan cengkeraman tangan Metha dari kepala Megha. Sayang ia gagal, genggaman tangan Metha begitu kuat.

Mang Iyuk beralih mencoba ke arah tangan Megha, agar ia mau mengalah melepas rambut kakak kembarnya. Namun hasilnya sama, Megha tak kalah kuat.

"LEPASIN GUE! SAKIT TAU!" teriak Metha.

"LU DULUAN YANG JAMBAK GUE, YA LU DULUAN YANG LEPASIN LAH!"

"Non, sudah Non," pinta Mang Iyuk. "Gimana nanti kalo rambut Non Metha sama Non Megha rusak, bisa botak!"

"Hah! Botak?!" ujar Metha dan Megha bersamaan.

Amarah keduanya justru semakin menjadi-jadi.

"AWAS AJA KALO RAMBUT GUE RUSAK GARA-GARA ELO!" ancam Metha.

"BIAR! GUE SUMPAHIN KEPALA LO BOTAK!"

"NAMBAH NANTANGIN GUE LO YA!"

Lagi-lagi mereka berputar-putar bagai gasing di atas lantai. Mang Iyuk sudah hampir kewalahan melerai.

"Yuk! Kamu harus bertahan!" dukung Mama Mawar.

"Baik bu."

Mang Iyuk menaikkan lengan kaosnya. Hap – lagi-lagi ia melompat, sekuat tenaga memisahkan dua anak majikannya.

Pergulatan di antara mereka bertiga terlihat begitu sengit. Keringat semakin deras bercucuran. Cakaran dan jambakan harus pula Mang Iyuk rasakan. Pedih batin penjaga kebun itu, harus turun di medan perang tanpa berpamitan pada sang istri sebelumnya.

"DASAR PELAKOR LO YA!" bentak Metha lagi-lagi memberi panggilan buruk pada adiknya.

"JANGAN SEMBARANGAN NGOMONG LO! LO ITU BELUM JADI BININYA ALVAN, DIA BEBAS MILIH NIKAH SAMA SIAPAPUN!"

"POKOKNYA GUE AKAN TETAP JADI ISTRINYA ALVAN!"

"HA! NGEMIS BANGET SIH LO, BUANG-BUANG WAKTU! MENDING LO CARI COWOK LAIN YANG SAMA NYEBELINNYA KAYAK LO!"

Terus saja dua wanita kembar itu berdebat sambil menjambak rambut masing-masingnya. Rasa sakit di kepala tidak membuat lidah keduanya tumpul memberi cacian, bahkan nyatanya jauh lebih tajam.

Nasib naas tak lagi bisa Iyuk hindari, tubuhnya yang pendek dan kurus terpental terdorong oleh tubuh mereka. Iyuk tersungkur kehilangan keseimbangan.

Papa Agung semakin gerah melihat kelakuan kedua anaknya, terlebih melihat Iyuk yang sudah tak punya daya membuat batinnya lelah sekaligus ingin meledak marah.

"TINGGALIN ALVAN!" bentak Metha.

"ENGGAK!"

"TINGGALIN!"

"ENGGAK!"

"TINGGALIN...!"

"ENGGAAA!"

"CUKUUUUUUUUUUUUPPPPPPPP!"

Mang Iyuk merasa pertolongan dari langit datang. Suara menggelegar itu telah menjadi senjata api yang meletus menghentikan kekacauan.

"CUKUP PAPA BILANG!"

Sunyi senyap pun seketika lahir di antara mereka. Kesadaran untuk menghentikan pertikaian itu pun menyusup di benak Metha dan Megha. Mereka saling melempar pandangan, perlahan juga saling melepaskan cengkeraman.

"KALIAN INI SUDAH DEWASA! KENAPA MASIH BERTENGKAR SEPERTI ANAK KECIL!" bentak Papa Agung. "APA KALIAN NGGAK MENGHORMATI PAPA SAMA MAMA YANG ADA DISINI!"

Nafas Metha dan Megha masih terengah-engah. Mereka sudah tak sanggup membela diri lagi di depan Papa Agung.

"Megha, sebaiknya kamu kembali ke kamar kamu!" perintah Papa Agung mulai menurunkan suara.

"Aku mau langsung pulang ke apartemen aku aja, Pa," balas Megha.

"Oke, kalau itu mau kamu. Biar Pak Amud yang antar. Pulang dan istirahat, tenangkan diri kamu."

"Iya, Pa."

Megha melirik sejenak ke arah Metha. Tatapan kakaknya masih terlihat jengkel, tak mau kalah wanita itu pun memberi ekspresi yang sama masamnya.

"Aku pulang, Pa, Ma," ucap Megha pamit.

"Megha. Papa harus membicarakan hal ini pada keluarga Alvan. Jadi bukan berarti masalah ini sudah selesai."

"Papa tetap mau aku menjalani perjodohan yang Papa buat?!"

Papa Agung tersadar, pembicaraan seperti ini akan kembali menyulut emosi Megha lagi.

"Sudahlah, Nak. Kita bicarakan lagi nanti. Istirahat ya."

Megha mengangguk pasrah menerima pemintaan dari ayahnya. Ia pun akhirnya pamit, pergi meninggalkan para penghuni rumah. Tidak terkecuali Metha, yang memandanginya masih penuh dengan amarah.

Batin Metha berkata. "Gue akan berusaha semampu gue buat batalin pernikahan lo sama Alvan, Gha!"

***

Megha menuruni anak tangga dan menyempatkan diri untuk mampir ke ruang powder room sejenak merapikan rambutnya yang berantakan. Di tengah kesendiriannya, perasaan kalutnya semakin menjadi-jadi mengingat rencana ayahnya untuk menjodohkan ia dengan pria lain. Megha berpikir situasinya akan semakin sulit jika perjodohan itu betul-betul dilakukan.

Megha buru-buru mengambil handphone di tasnya. Ia mencoba menghubungi Rako berniat mengajak bertemu untuk menceritakan rencana ayahnya, namun sayang pria itu berkali-kali ditelepon belum juga menjawab.

"Gue ke kantornya aja, deh," pikir Megha. Lalu buru-buru berjalan keluar dan menaiki mobilnya.

"Pak Amud. Kita mampir ke kantor Mahawira dulu, ya," pinta Megha langsung, saat baru saja memasuki mobil antarannya.

"Baik, Non," balas Pak Amud singkat.

Sepanjang perjalanan Megha terus berusaha menghubungi Rako. Namun berkali-kali juga pria itu masih tidak mengangkat teleponnya.

"Angkat dong, Rako...." ucap Megha berharap-harap cemas. Sayang, hasilnya tetap sia-sia.

Megha menyerah lalu memasukkan handphone-nya lagi ke dalam tas. Akan tetapi, belum sempat ia menutup tas bahunya rapat-rapat, handphone-nya tiba-tiba saja berdering.

"Pasti Rako," pikir Megha sambil buru-buru mengeluarkan handphone-nya lagi dari dalam tas.

"Hah? Alvan?" ujarnya heran.

Megha meragu menjawab panggilan telepon itu. Ia biarkan panggilan itu berdering cukup lama, bahkan Pak Amud sampai melirik heran lewat kaca spion tengahnya.

Megha menduga, Alvan pasti menanyakan soal pertemuannya dengan Rako dan juga orangtuanya. Megha merasa tak siap jika harus menabur bumbu kebohongan dalam komunikasi mereka saat itu. Tetapi jika dibiarkan, dia juga merasa tidak enak hati, Alvan pasti akan curiga. Toh kemarin handphone-nya sudah seharian mati.

"Gimana nih," batin Megha. Hingga akhirnya ia putuskan untuk menjawab telepon pria itu.

"Ya ampun, Megha! Dari mana aja sih lo?!" Alvan terdengar gusar. "Gue berusaha hubungin lo tapi ngga bisa-bisa!"

"Kenapa emang?! Kangen?!" goda Megha berusaha mencairkan suasana.

Alvan terdiam enggan terpancing oleh gurauan Megha.

"Sorry deh, kemarin gue betul-betul pingin sendiri. Jadi gue matiin handphone gue," ucap Megha memberi alasan.

"Trus gimana soal tanggapan Rako?"

Nächstes Kapitel