webnovel

Rasa Nikmat Yang Beda

Ibrahim : Rasa nikmat yang berbeda

_________________________________________

Batangku terus menyeruak, menembus liang kewanitaan Rasty dengan liar, tubuh Rasty yang ramping menggeliat, menggelinjang, meliuk berputar bagai lintah yang disiram air garam, peluh membanjiri tubuh Rasty, sudah setengah jam aku menghujamkan batangku di dalam goa sempitnya, tapi aku merasakan ada sesuatu yang berbeda, tak seperti yang aku rasakan saat batang kejantananku keluar masuk di liang senggama Gabriel. Ah ... sialan, kenapa aku jadi mengingat teman priaku itu, kenapa aku malah membayangkan persetubuhan dengan Gabriel, kenapa aku malah berharap Gabriel yang menggeliat dipelukanku saat ini.

Kejantananku yang menegang mendadak terkulai di dalam liang kewanitaan Rasty, Rasty membuka matanya, ia menatapku nanar, merasakan keanehan yang terjadi, aku berusaha memusatkan pikiranku kembali, berusaha semaksimal mungkin untuk kembali tegang dan memberi kenikmatan pada Rasty, tapi semakin aku berusaha, rasanya semakin berat, aku jadi tidak menikmati, aku ingin menyudahi pergumulan ini.

Menyadari keanehan yang tiba-tiba Rasty rasakan, ia melepas Kerisku yang mengecil didalam warangka miliknya.

"Kamu kenapa? kok jadi impotent gini?" tanya Rasty menatapku nanar.

"Kayaknya aku kecapekan karena banyak kerjaan aja, Ras" jawabku berbohong.

Namun Rasty cukup pintar menelisik dan membaca gurat di mataku. Ia menyipitkan matanya seolah tak percaya. ayang benar saja, seorang Ibrahim yusuf Almuzakky, pria keturunan arab yang berkali-kali membuat liangnya melebar karena menggenjot dengan brutal, tiba-tiba kehilangan nafsunya ditengah persenggamaan, tentu ... sudah pasti ini hal tidak biasa bagi Rasty dan juga bagiku.

"Nggak mungkin, secapek apapun kamu, kamu gak akan tiba-tiba loyo gini Baim, ada sesuatu yang kamu sembunyiin dari aku kan?" tuding Rasty.

Rasty mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai, dia marah, dia berang, wajahnya memerah menahan kekecewaan, dengan cepat Rasty mengenakan pakaiannya kembali, dan meninggalkan kamar apartementku. Aku berusaha menahannya, namun Rasty melepaskan genggaman tanganku dengan kasar dan pergi meninggalkan apartementku.

Rasty melengos, sebelum berlalu pergi ia berkata, "aku nggak akan tinggal diam kalo kamu ngekhianatin aku, Im"

Sial, aku memaki sepuas-puasnya, menyalahkan barangku yang tiba-tiba loyo, kenapa bisa begini, kenapa aku mengharapkan menggenjot Gabriel. Seharusnya, di hari minggu ceria seperti ini aku bisa bercinta sepanjang hari dengan Rasty, tapi kejadian barusan, arghhh ... bodoh, kenapa aku tidak merindukan tubuh molek Rasty.

Disela umpatanku yang memaki diriku sendiri, tiba-tiba handphoneku berdering, dengan langkah gontai aku menuju meja yang kugunakan untuk melanjutkan pekerjaan kantor. Aku tersenyum bahagia saat mengetahui yang menelponku adalah Gabriel, entah kenapa aku jadi sebahagia ini menerima telepon dari pria yang tak lain adalah partner kerja sekaligus temanku itu.

Aku menekan tombol untuk menjawab panggilan, lalu menghempaskan tubuh telanjangku di tepi kasur "hallo" jawabku saat panggilan telah tersambung.

"Selamat pagi menjelang siang bapak Ibra yang sok sibuk, gua disuruh Mba Mel nelponin lu tau gak, Mba Mel berkali-kali nelpon gak direspon, lagian Mba Mel bloon banget, ya kali minggu gini nelponin lu, lu kan pasti lagi ngegenjot Rasty, hadeeh" Gabriel berceloteh ria, tapi aku malah bahagia mendengar celotehannya, apalagi dia satu-satunya yang memanggil namaku Ibra, jujur aku sangat menyukainya, ingin rasanya berlama-lama mendengar celotehan Gabriel.

"Hallo, nih orang malah diem, weey, hallooooo, Ibra lu gak mati kan!!" Gabriel berteriak diujung sana, membuyarkan lamunanku yang mengkhayalkan sosoknya.

"Riel ke apart gua dong!" ujarku menjawab panggilan Gabriel.

"apa-apaan, Gua cuma disuruh mba mel buat bilang perbaiki laporan lu, ini data yang dikasih Lusi agak berbeda sama system, lu cek dulu, terus kirim ulang ke mbak mel, nanti gua email"

"Ya udah gak usah diemail, pindahin aja ke flashdisk, terus lu bawa kesini"

"Gak bisa, gua mau ke gereja"

"Gereja apaan? ini udah hampir jam 12, gua tau, lu tiap minggu ibadah tadi pagi, bukan ibadah siang begini"

"Nggak bisa Ibra, beneran"

"Pliiis riel, ayolah, masa lu tega" aku memelas.

"Bacot! bilang aja pengen ngentot"

"Iya Riel, gua pengen ngentod sama lu, mau ya, tolonglah" ujarku mengakui dan tersenyum saat mengatakan itu. Kejantananku sepertinya mengangguk tanda setuju, bahkan mendengar Gabriel berkata jorok, kejantananku langsung paham, dengan cepat berdiri menantang, lah kok bisa? tadi pas di liangnya Rasty alat vitalku ini malah melempem.

"Ya udah, gua kesitu" ujar Gabriel pasrah dan mematikan panggilan teleponnya.

"Yeaahhhhh ...." Aku berteriak kegirangan, melompat-lompat diatas spring bed seperti anak kecil, kejantananku jadi gundal-gandul, "sabar ya tol, bentar lagi dibikin enak ama Gabriel" aku berkata seolah mengajak kejantananku berbicara. Fuck, sepertinya seorang Ibrahim sudah gila, alat vital sendiri diajak bicara, bodo amat, yang penting hari minggu yang ceria ini, aku bisa menggenjot temanku itu, salah sendiri pantatnya enak dan bikin ketagihan. Ah ... tidak cuma pantat, mulutnya juga enak, dadanya juga, perutnya juga, nafasnya juga. Semuanya enak, ya sudahlah, Aku memang harus mengakui semua bagian tubuh Gabriel enak, "uhh Gabriel, malaikat pembawa rizkiku," sepertinya aku terlalu berlebihan.

Aku mengendus badanku, baunya asem-asem enak, jelas saja karena aku belum mandi pagi ini, yang kutahu perjalanan dari kost Gabriel ke apartemenku berjarak kurang lebih 20 menit, aku langsung pergunakan waktu untuk mandi terlebih dahulu, agar nanti wangi saat dicium dan dipeluk Gabriel, gila ... aku seperti orang kasmaran yang ingin bertemu kekasih pujaan hati saja.

Ding Dong

Tak lama bel apartementku berbunyi, sudah pasti itu Gabriel. Aku baru saja selesai mandi, sekarang tubuhku sudah wangi, saatnya menemui pria berkulit putih yang sedikit lebih mungil daripada aku tapi lebih menggemaskan itu. Sosok menggemaskan itu melotot di balik pintu apartementku, dia pikir ekpsresi seperti itu menakutkan, nyatanya tidak, bahkan membuatku ingin menerkamnya saat ini juga, Gabriel Florentinus Lauw, menggoda sekali dirinya berpakaian casual seperti ini.

"Selamat datang di istana Raja Salman, wahai Kaisar Xiang Xiang Maling Chang Chut" ujarku membungkuk mempersilahkan pria keturunan kaisar Xiang Xiang Maling Xeng didepanku.

Lihat wajahnya, menahan tawa yang jelas-jelas ia pendam, dasar gengsian, semakin membuat gemas saja.

"Nih Flashdisknya, udah ya ... gua cabut dulu" Gabriel kembali melangkah ingin menyentuh gagang pintu, tidak semudah itu menghindar dari kesangean Ibrahim Yusuf Al Muzakky.

Aku menarik tangannya dan dengan segera mendaratkan ciuman di bibirnya. Gabriel tertunduk, wajah putihnya memerah, merona, ah ... senang sekali melihat ekspresinya seperti itu.

"Enak aja, dateng diundang pulang harus telanjang" aku terkekeh menggodanya.

Kurengkuh wajah oriental Pria yang ada didepanku, tangannya berpegangan pada lenganku.

"Riel, aku ... say ... sange" hampir saja aku keceplosan berkata sayang, khawatir ia tersinggung dan pulang.

Tanpa membiarkan lebih lama detakan jam berbunyi sekeras jantungku, aku segera mencium bibir pria yang merekah bagai bunga mawar yang mekar ini, emphhh ... nikmat, tak ada rasa lipstik yang lengket ataupun rasa lipgloss yang melekat, yang ada rasa hambar namun memabukkan, asli dari bibir yang tak pernah terhias lipstik seperti bibir wanita yang sering kucumbu, bibir Gabriel jauh lebih memabukkan, rasanya ahhhh ... mantabb.

Gabriel melingkarkan tangannya di leherku, berkalung seperti anak monyet yang menggantung di leher ibunya, bahasa yang tidak mengenakkan sekali, tapi seperti itulah kenyataanya agar kalian bisa tahu cara membayangkannya, tapi tolong jangan bayangkan kami seperti monyet juga, ini dua manusia dengan jenis kelamin yang sama sedang beradu bibir dan beradu pedang yang menggeliat di bawah sana.

"Ibra ... aaghh" desah Gabriel disela melepas pagutan bibirku.

Aku menggendong tubuhnya, mencari lokasi yang tepat untuk bercumbu. Aku sudah pernah di kasur, di sofa juga sudah pernah, akhirnya aku putuskan membawa tubuh Gabriel dan meletakkannya di atas meja makan, masa bodoh jika meja makanku harus dipenuhi maniku dan Gabriel nantinya.

"Ibra, kok nggak ke kamar?" tanya Gabriel keheranan.

"Bosen, aku mau sesuatu yang baru" ujarku tersenyum mesum, "ada salam dari Ibra Junior"

Aku melepas handuk yang melilit pinggangku, batang kejantananku dengan bangga mengucap salam selamat datang pada Gabriel, Gabriel tertawa dengan manja, ia memukul bahuku, aku bahkan dengan rela, rasanya ingin kukatakan pukul aku sekerasnya Riel, aku rela jika harus merasakan lebam yang penting aku dapat memberikan Gabriel ruam, tentu ruam di leher dan dadanya yang menggiurkan.

"Boleh aku mulai sekarang riel?" tanyaku memandang wajah tampannya. Sungguh, aku sepertinya mulai memiliki perasaan lain pada pria ini.

"Sejak kapan kamu minta ijin?" pelotot Gabriel.

Aku terkekeh lagi, iya juga, sejak kapan aku meminta ijin, dan kenapa juga aku meminta ijinnya. Aku membuka baju yang ia kenakan lalu celananya, tak lupa celana dalamnya, ada lagi? ah ternyata dia sudah telanjang, dan ini saatnya Ibrahim is coming. Aku menyentuh dagunya yang sedikit lancip, lalu mencium bibir ranumnya yang memabukkan, aku terbuai dalam ciumannya yang mematikan, liurnya yang beraroma mint, sebentar, aku seperti mengenal aroma ini, baunya seperti permen favoritku, ah ... semakin menambah gairah saja, ditambah lagi aku sudah menyikat gigi dengan pasta gigi yang menyegarkan nafas seharian, menurut iklannya sih begitu.

Tangan Gabriel beralih ke dadaku, memberi belaian lembut lalu kembali melingkar dileherku, kurapatkan tubuhnya lebih menepi di meja makan, penisnya menyentuh perutku yang berbulu, berdenyut seolah mengetuk bagian roti sobek yang ada di perutku.

Aku tak pernah bosan mencium bibir Gabriel, bahkan tak sudi kulepaskan, tanpa menggenjotpun jika hanya berciuman sebenarnya aku sudah rela dan sudah sangat bahagia, tapi Ibrahim Junior seolah tak setuju, ia menginginkan hal yang lebih.

Kulepas pagutan bibir Gabriel, kususuri inci demi inci leher gabriel menggunakan lidahku yang menjulur membasahi tubuhnya, kutitipkan sebuah kecupan di lehernya yang putih dan jenjang, setelah itu kugerakkan lagi semakin kebawah menuju putingnya yang sekecil biji gandum, kecil-kecil cabe rawit, walaupun kecil tapi tetap kugigit, dan tetap saja rasanya menggiurkan, menggiurkan saat lidahku menari melingkari putingnya.

"Aachhh ... Ibra ... accchh" rintihnya. Merintihlah Gabriel, merintihlah sepuasnya, tidak perlu ragu, tidak akan kukatakan bahwa kau jangan berisik, tapi berisiklah semaumu.

"Merintihlah riel, Aku menyukai rintihan kamu" ujarku meliriknya.

"Achhhhhhh ... Ibraaaaaa" desahnya lebih kencang, lebih mengeluarkan sebuah raungan.

"Panggil namaku terus riel"

"Ibraaaa ... achhhhh"

Mataku tertuju pada batang Gabriel, batang berkulup dengan semburat kulit kemerahan, selama ini aku tidak pernah memberi batangnya kenikmatan, egoisnya Ibrahim, aku harus menebus kesalahanku.

Dan Happp.

Mulutku melumat alat kejantanan Gabriel dengan mata yang menatap kearahnya, mata Gabriel terbelalak, mulutnya menganga, biar kutebak, pasti dia tak percaya kenapa aku bisa melakukan ini padanya.

"Ibra, ka ... muu achhhhhh ...."

Dugaanku ternyata tepat, tapi sepertinya Gabriel sudah terbuai hisapanku yang melumat, bahkan tangannya dengan berani menjambak rambutku dengan kuat, menggelinjang menahan nikmat, tubuhnya menggeliat, kulit putihnya mengeluarkan keringat, batangnya dimulutku bergetar hebat, terus kuhisap erat, kubiarkan hisapanku sampai membuat kulupnya terangkat, inikah rasanya batang tak bersunat, ternyata cukup lezat, aah ... bangsyatttt.

"Ibraaaaa A ... ku, aachhh, A ... ku mau eghh ... kee ... luar achhhh ..." ucap Gabriel terbata-bata, tangannya meremas rambutku semakin kuat sedangkan mulutku tetap bergerilya slurpppp slurpppp kuhisap semakin bertenaga.

Gabriel melemah, karena maninya sudah tumpah di dalam mulutku, aku bingung harus diapakan, saat kuingat sebelumnya Gabriel pernah menelan pejuhku, apakah harus kutelan juga. Namun ditengah kebimbangan, pria oriental di depanku menarik tubuhku dan menciumi mulutku dengan brutal, berbagi cairannya yang masih kutampung di mulut, achhh ... ini gila tapi nikmat, aku menyukainya, lengket tapi ... ah sudahlah biarkan saja, aku mau fokus berciuman berebut cairan Gabriel yang tersisa.

"Ibra, terima kasih" ucap Gabriel melepas pagutannya setelah cairan di mulutku habis oleh kami berdua.

"Belum selesai, Mas Ibra belum keluar" ujarku penuh senyum menggoda.

Gabriel ingin turun dari meja, ia memegang Ibra Junior yang sedari tadi menyaksikan pergumulan mulut tuannya.

"Ssstt, gak usah, aku mau langsung keintinya aja" ujarku melarang Gabriel, aku tahu dia ingin menjilati batangku seperti aku menjilati batangnya.

"ka ... kamu, se ... serius?" tanyanya terbata-bata, aku hanya menjawab dengan anggukan kepala sebanyak tiga kali, sia malah tersenyum membelai wajahku, sentuhan ini, sentuhan ini memabukkan sekali.

Aku menunduk, paha Gabriel kusingkap dan goa sempitnya menyemburat, kembang kempis berwarna kemerahan, liang yang selama ini dikecap oleh kejantananku, tak adil rasanya jika lidahku tak ikut merasakannya, lalu kurapatkan wajahku, kuhirup aromanya, aahh wangi ternyata, apakah cologne Gabriel sampai kebagian anusnya.

Aku menjulurkan lidah, menjilat liang senggama Gabriel, rasanya aneh, tidak enak karena bercampur keringat Gabriel, tapi kuteruskan saja karena melihat Gabriel mendesah, berarti tandanya Gabriel menyukainya, jujur lebih enak menjilati liangnya Rasty, tapi melihat Gabriel yang menggelinjang, aku rela melakukan ini untuknya.

"Ouchhhh ... achhhh Ibraaa, apppaa .. yang engh ... kamu lakukan aahhhh ..." Gabriel berteriak sangat kencang.

Aku merasa bangga bisa memberikannya servis yang luar biasa, kusibak lobangnya dengan kedua jariku, kembali kujilat dan kujulurkan lidahku masuk kedalam dinding goanya, lagi-lagi rasanya tidak enak, tapi tidak bau, Gabriel seperti sangat merawatnya, mulus tak ada bulu, berbeda dengan pantatku yang kubiarkan buluku tumbuh disana, tapi lagi-lagi melihat ekpresi Gabriel yang mendongak dengan mulut menganga dan terus-menerus menyebut namaku, membuatku lagi lagi ikhlas melakukannya. Aku menyudahi jilatanku, kening Gabriel berkeringat, aku tersenyum, lalu kuusap keringatnya dengan tanganku.

"Kamu gila" Gabriel memukul dadaku, aku menggenggam tangannya dan meletakkan tangan mulus Gabriel di wajahku yang berbulu.

"Iya aku gila, kamulah penyebabnya"

Hei ... kenapa dia malah memalingkan muka seperti wanita yang malu-malu seperti itu. Ibra junior sepertinya sudah memberontak, ia menunggu Giliran, ia sudah siap membuat Gabriel kembali menyebut nama tuannya.

Kuangkat paha Gabriel, lalu juhujamkan batangku yang sudah sering mengecap liang senggamanya, saat batangku di dalam liang gabriel, rasanya tetap saja sangat hangat, enak, menjepit kuat, dan kenapa batangku malah semakin mengeras dan berurat, berbeda saat aku menyetubuhi Rasty, Oh shit ... ada rasa nikmat yang berbeda yang tidak bisa kuungkapkan. Aku menggoyang pinggangku, memberi irama maju mundur perlahan, mengguncang tubuh Gabriel yang merebahkan diri di meja, oh shit ... nikmatnya.

"Oughhh aghhhh, Riel, ahhh ... Gabriel" teriakku menggelegar ke seisi dapur, tak ada lagi kata jangan berisik, aku ingin berisik bahkan berteriak sekerasnya.

Aku terus bergerak maju mundur, batangku menusuk ke dalam liang senggama Gabriel, sebelah kaki Gabriel berpangku pada bahuku, matanya memejam sambil terus meracau "achh entod aku Ibra achh" racauannya sangat nyaring dan semakin kencang seiring aku mengencangkan pinggangku yang semakin menggesek dinding liang senggama Gabriel.

"Achhhh Gabrielll, aachhh aku cin--, aachh cincin, ya ... aachh, pantat kamu sempit kayak lubang cincin" ralatku, lagi-lagi hampir saja Aku salah berucap.

"Achh Ibra, punya kamu ... ahhh, punya kamu gede bangettttt ... ahh ...."

pekiknya.

Aku menganggap itu sebuah pujian, dan aku menyukainya, sesuatu yang tidak pernah dikatakan oleh wanita yang pernah kusetubuhi, kebanyakan dari mereka tak meracaukan batangku, hanya aach ouchhh saja, tapi Gabriel, baru saja ia memuji kejantananku dan aku merasa bangga.

"Ibraa, aahhh ... aku udah gila sama punya kamu ... ahhhh ... ahh"

"Kamu bakal dapetin tiap hari kapanpun kamu mau, Riel"

Rasanya indah sekali, menggenjot Gabriel sambil mengobrol, tidak hanya ah uh saja, ini sesuatu yang berbeda, aku benar-benar menggilainya, selagi terus meracau, aku tetap fokus menggenjot liang senggama Gabriel, aku ingin membuahinya, aku ingin menyiramkan benih dibdalam liang senggama Gabriel, aku ingin menghamilinya, ya ... walaupun opsi yang terakhir itu adalah hal yang mustahil.

"Rielllll agh .... Aku keluar aaghh" teriakku kembali memecah dinding dinding dapur.

Entah sudah tidak terhitung denyutan batangku yang menembakkan lahar panas ke dalam liang senggama Gabriel, "huuuchh" aku sampai mengehela nafas dengan kencang, pergumulan yang sangat nikmat.

Lelehan lahar cairanku di dalam liang Gabriel ikut keluar seiring aku mencabut batangku yang kuhujamkan. Aku iseng, dengan menggunakan jari kumasukkan lagi lelehannya, aku tidak sudi setetespun tumpah, biarkan mengalir di dalam usus Gabriel, agar ada diriku yang lain di dalam tubuhnya.

"Ishhhh ... apa-apaan sih!!" omelnya memukul lenganku.

"Biar kamu hamil" jawabku singkat.

"Aku nggak punya rahim!!" bentaknya lagi.

"Yaa ... kali aja kan bisa hamil, penasaran nanti anaknya kayak apa bentuknya"

"Ngaco hahhaa" ujar Gabriel tertawa.

Aku memeluknya, lalu kuangkat tubuh Gabriel yang sudah lemas menuju tempat tidur, tanpa membersihkan diri kurebahkan tubuh Gabriel di kasur. Aku langsung melompat di sampingnya, kuberikan bicepku sebagai alas kepala Gabriel, padahal sudah ada bantal, tapi bantalpun membuatku cemburu, aku tidak rela rambut lembutnya disentuh benda lain selain tubuhku.

"Makasih ... TTM" ucap Gabriel mencium pipiku.

Aku mengangguk, namun hatiku sesak, kenapa Gabriel mengingatkan pada TTM sialan yang kukatakan waktu itu, kenapa hatiku menginginkan lebih dari sekedar Teman Tapi Mengentot, aku justru menginginkan teman yang lain, yaitu Teman Tapi Memiliki.

To be continued

_________________________________________

Nächstes Kapitel