webnovel

Episode 8 Insiden Menyakitkan

Ica, Della, Sherin, Lia, dan Mutmainah bercengkerama dan bersenda gurau sembari menunggu bel masuk jam pelajaran pertama berbunyi. Lia benar, tak perlu merasa hambar menjalani kehidupan masa SMA karena tidak populer dan tidak punya pacar. Tertawa bersama teman – temannya di sini membuatnya riang gembira. Betapa ia menyadari bahwa mereka selalu ada untuk membuatnya tertawa dan melewati masa – masa sulit di sekolah sedari kelas X. Ia hanya perlu bercerita tentang masalahnya pada mereka, dan ia seharusnya memiliki rasa percaya diri tinggi karena keberadaan mereka yang selalu memandang tinggi dirinya.

Di momen – momen seperti ini Ica tak memikirkan apapun lagi, tak mengeluhkan apapun lagi. Ia tak lagi berandai – andai menjadi Nadira, ia tak lagi khawatir akan Anna, ia tak lagi memandang rendah dirinya. Mereka yang tertawa bersamanya di sini selalu memuliakan dirinya. Ketika bersama mereka, Ica melupakan insekuritas. Terkadang bahkan ia tak memperhatikan apapun lagi di sekitarnya.

Hingga akhirnya Kiki tiba di ruang kelas XI-IPS 1 . . .

Untuk pertama kalinya, Ica dapat teralihkan perhatiannya ketika sedang bersenda gurau bersama teman – temannya. Ia memandangi Kiki yang berjalan memasuki ruangan kelas XI-IPS 1 bersama Muzammil, Edo, dan Hadi. Kiki terlalu asyik berbincang dengan mereka untuk menyadari dirinya sedang dipandang. Ica tidak mengerti dengan dirinya. Baru saja ia mengumumkan bahwa dirinya tak akan peduli tentang laki – laki selama ia bersekolah.

Namun ia tetaplah perempuan. Lain di lisan, lain di hati . . .

"Heh, Ketua Kelas ! Kok siang banget lo datengnya ?", teriak Mutmainah. Della, Lia, dan Sherin terkejut karenanya.

"Oh, hey ! Gue udah nyampe dari 10 menit yang lalu, tapi gue ketemu temen lama gue dari ekskul Futsal bentar", balas Kiki. "Trus papasan sama bertiga ini, abis itu ke sini deh".

"Kasian nih Wakil lo sendirian dari tadi nungguin lo !", semprot Mutmainah.

Kiki terperangah mendengarnya. Ia menoleh ke arah Ica.

Ica melambaikan tangannya dengan menyilang, mengisyaratkan sanggahan.

"Mute ! Apaan si, ah ! Jangan gituin dia dong, apalagi di depan sekelas gini !", desis Ica.

"Err . . . tapi bukannya daritadi Ica di sini sama lo pada ramean begini ?", respon Kiki dengan kikuk.

"Tadi dia sendirian tau sampe gue dan Lia dateng ! Trus akhirnya Della main kesini, dan terakhir Mute deh", celetuk Sherin. "Besok pagian yah temenin doi", cuit Sherin.

Ica melotot bereaksi terhadap kata – kata Sherin, namun Sherin membalasnya dengan kedipan mata yang genit.

"Ehm . . . oke deh. Gue usahain besok lebih pagi gue dateng", balas Kiki dengan canggung. Wajahnya tampak memerah.

"Tapi kalo Kiki dateng pagian buat nemenin Ica, nanti Della yang bingung mau recokin siapa pagi – pagi", ledek Muzammil yang berjalan mendekati para gadis.

Della tertawa terkekeh – kekeh. "Kalo gitu mungkin gue recokin lo aja biar gue ngga jadi nyamuk ?"

"Asal lo tahan sama obrolan – obrolan makhluk jantan, gue sambut lo", balas Muzammil dengan senyuman licik. "Berdua ini langganan ngerecokin gue pagi – pagi, dan topik kita kebanyakan tentang cewek. Tapi versi cowok", lanjutnya sambil menoleh ke Hadi dan Edo yang juga tersenyum licik.

Wajah Della merengut, lalu ia menghela napas panjang sambil tertawa cekikikan menggelengkan kepalanya.

"Lo ngga berubah ngeselinnya dari kelas X deh, Mil !"

"Nggak mungkin baru jeda libur kenaikan kelas gue udah berubah gitu aja kan ?", balas Muzammil dengan senyuman.

Bel tanda masuk pelajaran pertama berbunyi.

Della beranjak dari tempat duduk Kiki yang ia duduki dan berpamitan dengan teman – temannya di kelas XI – IPS 1 ini untuk kembali ke kelasnya di XI-IPS 2. Sherin, Lia, dan Mutmainah pun kembali ke tempat duduk mereka masing – masing, begitu juga dengan Muzammil, Edo, dan Hadi. Kiki menduduki tempat duduknya dan menyapa Ica.

"Dari dulu kalian suka gossip pagi – pagi dulu kaya tadi sebelom masuk ?", tanya Kiki.

"Ya gitu deh ! Kebiasaan cewek – cewek yang dateng pagi kalo nggak ada ujian blok atau PR yang belom dikerjain", jawab Ica dengan riang.

"Gue asumsiin berarti gue nggak perlu dateng pagian kayak yang disuruh Mutmainah buat nemenin lo kan ?", tanya Kiki dengan senyum menyeringai.

"Kalau pun lo udah dateng pagian, mereka akan tetep ngumpul ke sini. Dan seorang cowok nggak akan mau deket – deket kita kalo udah pada ngumpul, percaya deh", jawab Ica dengan senyum manis yang dibuat - buat.

Kiki tertawa terkekeh – kekeh merespon itu.

"Oiya, hari ini pelajaran pertama kita apaan ya ?", tanya Kiki.

"Kok lo nggak tau ? Kemaren kan kita udah dibagiin jadwal pelajaran sama Bu Diah ! Argh ! Jangan bilang kalo selebaran jadwal pelajaran lo ilang ? Ini pelajaran pertama Sejarah gurunya cukup killer nih, Bu Sembiring !", jawab Ica dengan sewot. Ia bahkan tak tahu kenapa harus sewot.

"Oh, iya, gue inget ! Selow, Ca ! Gue cuma lupa urutannya aja, kalo selebarannya mah gue simpen di rumah. Gue bawa semua buku sesuai jadwal kok", ungkap Kiki. Ia tampak keheranan dengan reaksi Ica.

"Oh ! Alhamdulillah, bagus deh kalo gitu", respon Ica. "Sorry yah, kalo gue — rada lebay barusan".

"Wah, santai kok Ca. Gapapa", balas Kiki meyakinkannya.

Ica merasa canggung setelah bereaksi seperti itu. Ia seharusnya tak perlu merasa sewot atau . . . panik ?

Panik karena Kiki mungkin lupa jadwal dan akan dihukum beberapa guru karena tidak bawa buku – buku yang diperlukan untuk kegiatan belajar mengajar ?

Konyol sekali, rasanya tidak mungkin Ica merasa begitu.

Buat apa merasa terlalu khawatir terhadap teman baru sampai segitunya ? Mungkin itu hanya momen impulsif.

Mungkin . . .

Setelah melalui mata pelajaran Sejarah dan Bahasa Indonesia, akhirnya kelas XI-IPS 1 mendapatkan waktu istirahat pertama dengan berbunyinya bel. Sebagian besar dari mereka keluar dari ruang kelas untuk jajan di Kantin atau Koperasi Sekolah, atau menemui teman – teman mereka dari kelas lain. Beberapa yang sudah beruntung mungkin menemui pacar mereka.

"Lo mau kemana di jam istirahat ini, Ca ?", tanya Kiki.

"Gue kayaknya mau makan ke kantin sama Della dan cewek – cewek yang tadi ngumpul", jawab Ica. "Kalo lo gimana ?", ia bertanya balik.

"Gue juga kepikir mau ke kantin sih. Tapi baru bel gini pasti rame banget, mager gue ngantrinya. Gue paling mau main dulu ke kelasnya temen lama, Mamat, di Sos 4", jawab Kiki.

"Iyasih, gue juga mikir gitu. Tapi mendingan di awal waktu daripada di akhir waktu istirahat. Kalo mepet bel masuk nanti jadi nggak nyantai makannya", ungkap Ica.

"Kalo jajannya makanan berat sih iya bener waktunya mepet banget. Tapi hari ini gue cuma jajan siomay aja sama minuman, jadi bisa mepet bel aja gue kesana", tanggap Kiki.

"Oh, gitu yah ? Okedeh, Ki. Yang penting jangan telat masuk kelasnya, apalagi lo Ketua Kelas", Ica mengingatkan.

"Sip, Ca ! Gue udah di sini lagi sebelom bel kok", balas Kiki.

Ica mengakhiri percakapan dengan senyum ramah, lalu berpamitan dengan Kiki dan menghampiri Sherin dan Lia yang masih duduk di tempat duduk mereka.

"Sherin ! Lia ! Ke Kantin yuk sama Della juga !", ajak Ica.

"Duh, kali ini gue skip dulu yah, Ca. Gue ada janji ketemuan sama Kak Veronica, senior gue di ekskul ROKRIS. Mungkin nanti yah kita jajan lagi di istirahat kedua. Sorry nih, Ca", respon Sherin.

"Okeh, Sher. Selow, kok. Nanti kita ke Kantin lagi di jam istirahat kedua", Ica memaklumi. "Kalo lo gimana, Li ?", tanyanya pada Lia.

"Gue juga mau main ke kelasnya Bella di IPA 1 sih. Sorry juga yah, Ca !", jawab Lia.

"Okedeh, berarti gue sama Della aja kali ini", Ica menyimpulkan. "Kalo gitu gue ke Kantin dulu yah. Dadah Sher, Li !", pamit Ica dengan ramah, melambaikan tangan.

Sherin dan Lia membalasnya dengan lambaian tangan dan senyum yang riang. Begitu Ica berpaling untuk berjalan ke pintu ruang kelas XI-IPS 1, Kiki sudah tidak ada di tempat duduknya. Ia berjalan keluar ruang kelasnya dan ternyata sudah ditunggu Della di depan pintu.

"Eh, Del ?! Baru aja gue mau nyamperin lo !", Ica mencicit.

"Gue udah kelaperan banget, jadi gue langsung aja kesini", balas Della dengan riang.

Dua sahabat itu berjalan menuju Kantin Sekolah. Sepanjang perjalanan, mereka melihat banyak siswa – siswi baru yang masih berseragam SMP asalnya berjalan menuju ke arah Kantin Sekolah seperti mereka. Mungkin memang benar keputusan Ica berangkat ke Kantin lebih awal.

Atau mungkin tidak . . .

Setibanya di Kantin, mereka mendapati berbagai kios dipadati antrian panjang. Ica dan Della begitu kecewa melihatnya, terutama Della yang sudah sangat lapar.

"Panjang banget yah antriannya, Del. Nggak nyangka gue bakal separah ini", keluh Ica.

"Iyanih, Ca. Mana gue udah laper banget lagi ! Adek – adek kelas kita pada ketagihan ke Kantin kayaknya abis hari pertama kemaren", gerutu Della.

"Apa kita jajan ke Koperasi aja ?", cetus Ica.

"Gapapa deh kita ngantri aja, Ca. Gue liat sih antriannya mayan cepet kok geraknya", jawab Della.

"Tapi mejanya pada penuh kayaknya", unjuk Ica.

"Biasanya ada aja yang kosong kok, Ca. Lo udah cukup hapal kan suasana Kantin jam segini ?", Della meyakinkan.

"Hm, okedeh, Del. Kalo lo ngga masalah, gue mah oke aja. Yuk deh kalo gitu !", Ica memutuskan.

Mereka berjalan menyusuri keramaian di Kantin, mencari – cari meja yang mungkin masih kosong atau baru saja kosong sebelum mengantri membeli makanan dan minuman. Sebelum akhirnya benar – benar menyerah, Ica dengan jeli akhirnya membidik satu meja yang baru saja ditinggalkan sekelompok siswa dan siswi.

"Del ! Ada meja yang baru kosong di situ !", unjuk Ica. "Salah satu dari kita nempatin meja itu dulu gih sebelom ada yang dudukin. Mau gue aja apa lo nih ?", cetusnya.

"Lo aja deh, Ca. Gue ngga kuat bengong sendirian di sana pas laper banget gini. Mendingan gue ngantri aja biar bisa ketahan lapernya karena fokus", usul Della.

"Okedeh, kalo gitu gue samain aja sama lo jajanannya. Lo mau beli nasi pake ayam bakarnya Bu Mus, kan ?", tanya Ica.

"Yoih", Della mengkonfirmasi. "Trus minumannya ?"

"Gue minumannya es teh manis aja, Del", jawab Ica.

Ica bergegas menempati meja kosong yang ia temukan tadi. Untung saja masih belom ada yang menempatinya. Ica melihat ke sekelilingnya, suasana Kantin Sekolah yang begitu ramai dipadati siswa – siwi dari berbagai tingkatan. Ia sendiri bukan termasuk siswi yang sering jajan di Kantin. Biasanya ia membawa bekal makanan sendiri dari rumah. Namun pagi ini ia lupa menyiapkan bekalnya, dan bahkan ia lupa untuk sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah. Perutnya sama keroncongannya seperti Della, namun ia selalu jadi yang lebih kuat menahan lapar dibanding Della.

Sudah hampir sepuluh menit Ica menunggu Della sendirian. Della sudah tak terlihat lagi di antara kerumunan, nampaknya sudah berada di barisan terdepan antrian para siswa – siswi yang ingin membeli ayam bakar Bu Mus yang melegenda di SMA Cijantung dari masa ke masa.

Akhirnya Ica tidak sendirian, bukan karena Della tiba . . .

Tiga gadis yang sangat familiar berjalan ke arah mejanya dengan membawa jajanan mereka masing – masing. Mereka bertiga adalah seniornya yang terkenal, Akeera, Anna, dan Nadira. Ica tidak menyangka akan bertemu mereka sekaligus di sini, dan ia merasa nasibnya lebih menuju sial dibanding beruntung. Belum apa – apa, Anna sudah menatapnya dengan sinis. Sang primadona sekolah tak pernah lupa.

"Oh ! Kebetulan banget gue ketemu muka junior yang familiar di sini", cibir Anna.

"Eh, ini Aisyah yang anak Mading itu kan yah ?", tanya Nadira dengan ramah.

"Iya, Kak", jawab Ica dengan gugup.

"Aku inget karena artikel Mading tentang profil aku tahun lalu. Aku tanya temen aku si Riza siapa yang nulis, katanya kamu. Bagus banget tulisan kamu dan bahasannya, aku suka deh. Makasih yah, Aisyah !", kenang Nadira.

Anna dan Akeera sekejap saling bertatapan bereaksi atas penyebutan nama Riza. Ica pun merasa tidak nyaman karenanya, karena teringat Riza dan melihat reaksi Anna.

"Ehm . . . sama – sama yah, kak. Aku juga makasih sama kakak buat apresiasinya", balas Ica dengan sungkan.

"Oiya, Aisyah, kebetulan kita bertiga tadi nggak dapet meja dan ngantri dulu jadinya sambil nunggu ada yang kosong. Abis ngantri pun masih pada penuh. Kalo boleh, kita izin join kamu di sini, yah ? Kamu sendirian kan ?" tanya Nadira.

"Err . . . aku — aku cuma berdua aja sih sama temen aku, kak. Dia masih ngantri", jawab Ica.

"Kalo gitu gapapa yah kita join kalian di sini ?", tanya Nadira lagi, mengkonfirmasi dengan santun untuk terakhir kalinya.

"Gapapa kok, kak. Mari kakak semuanya duduk di sini", Ica mempersilahkan dengan sungkan.

"Makasih yah, Aisyah", tutur Nadira berseri – seri.

Ica menerima terima kasihnya dengan mengangguk sungkan. Ia hanya berharap Anna tidak melakukan apapun yang dapat mengintimidasinya. Seingatnya, Anna pun sudah memiliki pacar baru berdasarkan gossip terkini di kalangan anak – anak ekskul Mading. Tapi sikap Anna nampaknya tidak berubah kepadanya. Tatapan sinis itu masih ada, ia tak pernah melupakan momen dirinya "dipermalukan" oleh Riza karena Ica.

"Eh, girls ! Kita nanti dulu yah makannya. Kita tungguin dulu temennya Aisyah dateng bawain makanan mereka, biar mulainya bareng – bareng", cetus Nadira.

"Ih, ngapain sih, Nad ?! Kita udah ngantri daritadi loh ! Masa sekarang makanan udah di hadapan kita mau nunggu lagi ?! Kita juga ngga tau temennya dia ini kapan nyampenya", protes Anna.

"Na ! Masa kita makan ngeduluin orang yang udah ngasih kita tempat, sih ? Jangan gitu dong !", tegur Nadira.

"Gue rasa ngga ada hubungannya siapa duluan yang nempatin meja Kantin sama siapa duluan yang bisa makan !", bantah Anna.

"Ya emang nggak ada, itu harusnya inisiatif etika kita !", tegas Nadira. "Nunggu dikit lagi bisa dong ?"

"Gini aja deh, gimana kalo kita tunggu tiga menit ? Kalo temennya Aisyah ini belom dateng juga, kita makan duluan", usul Akeera.

Akeera Savitri tidak secantik kedua sahabatnya yang sedang berdebat, tapi bagi Ica wajahnya terlihat manis mempesona dengan kulit sawo matang yang eksotis. Akeera mempunyai postur yang ramping, lebih ramping bahkan daripada Nadira, dan yang bertinggi badan paling pendek di antara tiga sekawan itu. Ia nampak frustasi karena kelaparan dan perdebatan kedua sahabatnya.

"Ehm . . . kalo mau makan duluan gapapa kok, kak. Della mungkin kesini dikit lagi. Dia udah ngantri dari tadi", ujar Ica dengan amat sungkan, berusaha menengahi perdebatan.

"Eh ?! Jangan ah, Ca ! Kita —", respon Nadira.

"Yang nempatin duluan udah bilang sendiri, Nad ! Udah lah, yuk mulai !", sela Anna.

"Kita ikutin usulannya Kira. Tunggu tiga menit lagi !", desis Nadira, menatap Anna dengan tajam.

Anna terlihat tak lagi berkutik setelah itu. Ia menuruti Nadira dan hanya bisa mengerang karena frustasi. Ica takjub akan betapa elegannya Nadira menjinakkan Anna tanpa meninggikan suara atau mengeluarkan kata – kata kasar.

Satu menit kemudian, Della datang dengan membawa makanan dan minuman untuk Ica dan dirinya sendiri.

"Sorry yah, Ca ! Antriannya panjang trus —"

Della menoleh kepada tiga kakak kelasnya dengan ekspresi terkejut. Ketiganya menatap Della, hanya Nadira yang masih memasang ekspresi ramah dan tidak lesu kelaparan.

"Pagi, kakak – kakak ! Maaf, aku baru nyadar kalo — "

"Iya, gapapa. Sekarang please duduk, trus kita makan sama – sama !", sela Anna dengan senyuman menyeringai dan intonasi yang agak ketus.

Della hanya bisa mengangguk dengan canggung. Ia duduk di sebelah Ica dan memberikan Ica makanan dan minuman pesanannya.

"Selamat makan yah, temen – temen semuanya !", Nadira mengawali dengan berseri - seri.

Akhirnya mereka berlima pun makan bersama, dua siswi kelas XI dan tiga siswi kelas XII.

"Oh iya, Aisyah ! Dulu Riza banyak cerita soal kamu loh ! Aku kurang lebih tau tentang kamu dari ceritanya Riza semenjak dia kasih tau aku kalo kamu yang nulis artikel profil aku buat Mading Sekolah", ujar Nadira memulai percakapan setelah menelan makanannya.

Ica merasa canggung harus merespon perbincangan yang menyebut nama Riza dengan Anna tepat ada di depannya. Ica memang pernah menyukai Riza, namun tidak pernah mencintainya. Ia langsung menghindar dari Riza begitu ia mengetahui bahwa Anna juga menyukai Riza. Bukan memori tentang Riza yang mengusik batinnya, tetapi Anna yang ada di depannya.

"Emang iya yah, kak ? Aku nggak banyak ngobrol sih sama Kak Riza dulu, cuma kalo ada yang penting – penting aja soal kegiatan ekskul Mading , balas Ica".

"Oh ya ? Tapi dia cerita banyak soal kamu nggak cuma sekedar kegiatan kalian di ekskul Mading loh ! Kayaknya waktu itu dia suka sama kamu", kenang Nadira.

Yang satu ini benar – benar mengeringkan darah dari wajah Ica. Kenapa topiknya harus tentang Kak Riza sih ? Apa Kak Nadira nggak tau kalau Kak Anna dulu juga suka sama Kak Riza dan jadinya sebel sama aku karena itu ?, pikirnya.

"Aku nggak tau sih soal itu kak", tepis Ica. "Kak Riza —"

"Riza emang beneran suka sama dia, Nad", sela Anna.

"Kok gue nggak tau yah ?", celetuk Akeera.

"Riza orangnya nggak banyak curhat", respon Anna.

"Gue ngiranya Riza itu sukanya sama lo, Na. Waktu kayaknya kalian deket banget, sering makan bareng di luar juga abis pulang sekolah", kenang Akeera. "Dan waktu itu bukannya lo juga suka sama dia, Na ?", lanjutnya bertanya.

Della dan Nadira pun menoleh ke wajah Akeera dan Anna dengan makanan masih penuh di mulut mereka. Ica merasa seperti terkena stroke ringan, ia merasa tubuhnya tegang dan adrenalin dalam tubuhnya meningkat karena Akeera akhirnya mengaitkan Riza dengan Anna.

"Bener itu, dulu gue suka sama Riza. Tapi Riza lebih suka sama Aisyah ini ternyata, dan kedekatan yang lo liat itu mungkin karena Riza cuma nganggep gue temen sekelas yang deket aja", jawab Anna dengan sinis, lalu kembali menyantap makanannya. Tempo bersantapnya makin cepat.

"Lo — lo suka sama Riza ?! Lo ngga cerita soal itu sama gue atau Kira dulu !", respon Nadira, terkejut.

"Gue nggak yakin mau ceritain itu sama kalian di saat Rizanya cuma nganggep gue temen doang dan suka sama cewek lain. Gue pun bingung sebenernya kenapa Riza suka sama adek kelas yang satu ini, nothing special !. Gue maklum deh kalo Riza jadiannya sama yang macem Chintya atau Nesya daripada gue, tapi kalo sama yang ini ? Gaje abis berarti Riza !", cibir Anna.

"Eh, Na ! Apa – apaan si lo ngomong gitu di depan —", tegur Nadira dengan tegas. Kali ini nadanya akhirnya meninggi.

"Di depan orang yang dulu disukain Riza ?" sela Anna. "Bodo amat kali, Nad ! Lagian Rizanya juga udah jadian sama cewek lain di luar sekolah ini, badhay lagi anaknya ! Gue pun juga udah jadian sama Daffa, jadi gapapa blak – blakan dikit sama apa yang gue rasain dulu lah ! Dan yang satu ini — masih jadi cewek hambar yang sama kayaknya", lanjutnya dengan ketus sambil menoleh ke wajah Ica saat mengucapkan kalimat terakhir.

Anna pun meninggalkan tempat duduknya setelah kata – kata kasar itu, disusul oleh Akeera. Nadira terperanjat karena ulah sahabatnya itu, dan menyadari bahwa Ica sedang berusaha menahan rasa sakit di hatinya.

"Aisyah, sorry banget yah ! Kita — kita ngobrol lagi kapan – kapan. Dadah !", pamit Nadira dengan tatapan bersimpati.

Ica dan Della pun beranjak dan kembali ke kelas.

Nächstes Kapitel