webnovel

Sifat pemarah yang sama

Mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari mantan calon pegawainya darah Christian naik, tanpa mengalihkan pandangannya dari bus yang baru saja dinaiki oleh Elena dengan cepat Christian menghubungi Kainer yang masih berada di kantor.

"Cari tahu semua informasi tentang sekretaris tidak berkompeten yang sudah aku pecat itu," ucap Christian serak tidak terbantah.

"Sekretaris yang sudah anda pecat?"

"Namanya ELENA WILSON." Christian mengeja nama Elena dengan sempurna, memiliki kecerdasan diatas rata-rata membuat Christian dengan mudah mengingat nama seseorang hanya dengan satu kali baca.

Di meja kerjanya, Kainer nyaris tersedak air liurnya sendiri. Dia tidak percaya mendengar apa yang baru saja diucapkan sang tuan. "A-anda serius, Tuan muda?"

Christian menyeringai mendengar suara serak Kainer. "Sangat amat serius, aku ingin kau memanggilnya ke kantor besok pagi untuk bertemu denganku."

"Tapi Tuan, saya sudah menghancurkan berkas Nona Elena Wilson sesuai instruksi anda. Jadi rasanya akan cukup sulit untuk..."

"Gunakan semua sumber daya yang kita miliki untuk membawa perempuan itu bekerja denganku, Luksemburg tidak sebesar Swiss, Kainer. Aku yakin kau dengan mudah menemukan gadis kurang ajar itu," ucap Christian pelan memotong perkataan Kainer.

Kainer tersentak, tubuhnya langsung kaku mendengar penekanan setiap kata yang baru saja Christian ucapkan.

"Waktumu terus berjalan, Kainer. Semakin cepat kau melakukan tugas yang aku berikan maka semakin cepat juga kau menemukan gadis itu," ucap Christian kembali sebelum akhirnya menutup teleponnya tanpa permisi.

Kainer yang sempat terdiam beberapa detik akhirnya tersadar, tanpa bersuara Kainer pun mulai melakukan tugas yang baru saja diberikan oleh sang tuan, mencari dan membawa Elena Wilson ke hadapan Christian Clarke.

Setelah memberikan perintah pada Kainer untuk membawa Elena kehadapannya besok pagi, Christian pun bergegas masuk kedalam mobil dan segera meninggalkan tempat dimana dia mendapatkan tamparan untuk pertama kali dalam hidupnya. Sebuah tamparan yang dilakukan seorang perempuan kelas rendah yang tidak tahu diri karena berani berkonfrontasi dengan Christian Clarke.

***

Mansion Areez, Auckland, Selandia Baru.

Brak..

Brak..

Brak...

Puluhan kantong belanja berbagai merk yang masih terdapat isinya berserakan di lantai, penyebab utamanya tentu saja Suri. Suri yang dibawa pulang secara paksa oleh Areez tadi pagi merasa kesal karena Areez selalu memaksanya melakukan semua hal yang diinginkan lelaki itu.

Seperti saat ini, Suri diminta mencoba perhiasan yang cocok untuk dipasangkan dengan gaun pesta yang sudah siap untuk dia pakai. Selain sudah merenggut kebebasannya sebagai manusia merdeka, Areez juga selalu membuat Suri layaknya boneka. Yang bisa dia hias sesuka hatinya. Suri benar-benar sudah muak, kesabarannya menghadapi Areez si tuan bangsawan yang sangat menyebalkan itu sudah berada di dasar jurang. Suri sudah tidak punya sisa kesabaran lagi dalam dirinya saat ini. Areez benar-benar sudah keterlaluan.

"Tidak suka? Apa kau kurang suka dengan modelnya? Atau..."

"AKu tidak suka padamu, sialan! Kau lah sumber dari segala sumber kesialan di dunia ini!" Sumpah serapah mengerikan dan tentu saja tidak pantas terlontar dari bibir mungil Suri untuk Areez yang sudah berdiri di tengah-tengah pintu kamar Suri yang kini berantakan.

Bukanya marah, senyum hangat justru mengembang di wajah Areez saat ini. "Apa ini pelajaran yang kau dapatkan selama dua minggu di Akademi?"

"Areez, tidak bisakah kau bicara dengan cara yang normal seperti orang lain?" tanya Suri frustasi, setiap kekacauan yang sudah dibuatnya hanya berujung sia-sia. Areez sama sekali tidak tergoda untuk marah, seolah kesabarannya diciptakan untuknya terbuat dari baja. "Jangan perlakukan aku seperti ini, aku bukan boneka yang bisa kau hias sesuka hatimu. Aku punya kehidupan sendiri, Areez. Aku punya keluarga..."

"Aku keluargamu," ucap Areez singkat memotong perkataan Suri tanpa rasa bersalah.

Jesus, cobaan apalagi ini?

Suri memijat keningnya yang terasa sakit, terus marah-marah sejak dua jam lalu membuat kepalanya pusing.

"Yang aku katakan benar, di dalam surat penting milikku ada namamu disana..."

"Namaku?"

Areez mengangguk pelan. "Iya, Mira Johnson."

"Sudah aku katakan untuk kesejuta kalinya padamu kalau namaku adalah Suri Mireya, bukan Mira."

"Jadi kalau seandainya aku mengubah namamu di sertifikat daftar keluargaku dengan nama buatanmu yang aneh itu maka..."

"Nama buatanmu yang aneh, Areez! Namaku jauh lebih berkelas dari nama itu!"

Areez tersenyum kecil. "Perdebatan soal nama ini kita sudahi, waktu terus berjalan dan kau harus segera siap. Para tamu undangan sudah mulai berdatang, aku tunggu dibawah."

Setelah berkata seperti itu, tanpa rasa bersalah Areez berjalan pergi meninggalkan Suri dan pelayannya yang sejak tadi tidak ada yang berani mengangkat kepala selama Areez berbicara dengan Suri.

"Aku membencimu, Areez!" jerit Suri dengan keras sebelum akhirnya suaranya tertinggal di kamarnya sendiri karena para pelayan yang berjaga di depan kamarnya langsung menutup pintu kamar itu begitu Areez keluar.

"Nona Mira..."

Suri langsung memalingkan wajahnya ke arah sang pelayan yang memanggilnya dengan nama Mira. "Namaku Suri, kau tidak tuli, kan?"

"M-maaf Nona, kami tidak berani."

Suri menghentakkan kakinya ke lantai granit berwarna putih berkilau dengan kesal. "Lebih baik kalian keluar, aku mau mandi."

"Tapi kami disini diperintahkan Tuan Areez untuk membantu anda bersiap, Nona. Kasihani kami, Nona. Kami bisa kehilangan nyawa jika sampai mengabaikan perintah Tuan."

Rasa sakit dikepala Suri makin bertambah mendengar perkataan pelayan barunya itu, Areez rutin mengganti pelayan pribadi Suri tiap dua minggu sekali jika Suri sedang berada dirumah. Hal ini dilakukan Areez untuk memutus keakraban antara Suri dan pelayan-pelayannya, Areez tidak mau kecolongan dua kali dimana enam bulan yang lalu Suri berhasil keluar dari rumah karena bantuan pelayan yang tergoda akan rayuan Suri. Meskipun akhirnya Suri tertangkap kembali, namun trauma Areez akan kejadian itu masih tertinggal. Karenanya dia tidak mau melakukan kesalahan yang sama, lebih baik mencegah daripada menyesal adalah motto yang Areez pegang akhir-akhir ini.

"Nona..."

"Ok..ok... kalian bisa membantuku bersiap, tapi aku mau mandi sendiri," ucap Suri ketus, tidak tega melihat wajah tiga pelayan muda yang sudah sepucat kertas itu akhirnya membuat Suri kembali mematuhi keinginan Areez untuk membiarkan para pelayan itu membantunya.

"Baik Nona, baik. Kami akan menunggu anda di luar," jawab ketiga pelayan muda itu secara bersamaan.

Suri yang sudah sangat lelah langsung melangkahkan kakinya masuk kedalam kamar mandi yang ukurannya tidak jauh berbeda dengan kamar mandinya di rumah, bahkan kalau boleh jujur kamarnya dirumah Areez saat ini masih jauh lebih besar dari kamarnya yang ada di Swiss. Tapi meski begitu Suri merasa tetap berada lebih nyaman di kamarnya sendiri daripada dirumah besar milik Areez yang terasa sangat mencekam di saat malam sudah mulai datang itu.

Meskipun sudah mengenal Areez selama tiga tahun, Suri masih belum tahu sifat asli lelaki itu. Areez selalu sabar ketika berhadapan dengan semua sifat ajaib Suri, akan tetapi jika para pelayan di rumahnya berbuat salah lelaki itu tidak segan melepaskan satu peluru dari pistolnya.

"Pesta dansa yang menyebalkan lagi," ucap Suri lirih. "Aku benar-benar sudah muak berada di rumah Areez si bangsawan brengsek itu!"

Tok..

Tok...

"Nona Mira, Tuan Areez minta anda untuk menyudahi kegiatan anda di dalam kamar mandi, Nona," ucap seorang pelayan dari balik pintu, suaranya serak terdengar panik.

Suri yang sudah selesai mandi sejak lima menit yang lalu itu lantas bangun dari bathtub, Suri kemudian membalut tubuhnya dengan satu handuk besar dan bergegas keluar dari kamar mandi.

Wajah ketiga pelayan yang sudah membuat kamar Suri menjadi rapi kembali itu terlihat lega ketika melihat Suri sudah keluar dari kamar mandi.

"Silahkan masuk ke walk in closet, Nona. Kami akan membantu anda berpakaian."

Suri memutar bola matanya, jengah. Dia mendengus kesal, bahkan untuk memakai pakaian saja dia tidak diperbolehkan melakukan sendiri. Areez, dewa haus darah dalam mitologi Yunani sepertinya memang cocok digunakan untuk lelaki sakit jiwa itu.

Sesampainya di walk in closet Suri merentangkan kedua tangannya, membiarkan ketiga pelayan itu menelanjangi tubuhnya sebelum akhirnya membantunya memakai baju.

Bersambung

Nächstes Kapitel