Pohon dan pohon, hanya itu yang terlihat sejak satu jam yang lalu. Mereka sudah berada di hutan saat ini dan mereka masih belum sampai di tempat tujuan. Tempat tujuan yang akan menjadi sangkar cantik untuk Caroline.
Seperti ucapan ayahnya yang ingin mengurungnya di dalam sebuah kata cacat dan penderitaan. Memang benar Caroline menolak tapi ucapan sang ibu membuat Caroline tidak bisa menolak. Ucapan yang mengatakan bahwa ibunya akan di bunuh oleh ayahnya jika dia berani kabur.
Dan Caroline tertawa saat mendengarnya, bahkan dia tidak percaya ayahnya nekat melakukan hal seperti itu. Seperti keinginan ayahnya Caroline menurut dan pergi bersama Luis menuju ke tempat tujuan mereka. Rasanya memuakkan tapi Caroline tidak bisa diam saja jika nyawa orang lain menjadi taruhannya.
Apalagi nyawa ibunya yang menjadi taruhannya, walau dia selalu kesal terhadap ibunya tapi Caroline tetap seorang anak yang ingin melihat orang tuanya bahagia. Dan dia tau ayahnya itu gila dan jika dia membantah Pasti ibunya akan di bunuh. Tangan Caroline mengepal kuat mengabaikan Luis yang duduk di sebelahnya.
"Roline.."
Luis tau dirinya lemah dan tidak bisa menjaga Caroline dengan benar, tapi Luis ingin berusaha sebisanya. Walau Caroline menganggap hal itu buruk alaskan Caroline dalam keadaan baik-baik saja maka Luis akan melakukannya.
Caroline berdecak kesal melirik Luis yang terlihat bersalah, tatapan mata Luis yang seperti itu sangat memuakkan bagi Caroline. Dia tidak suka dengan perasaan bersalah sepupunya, tapi Caroline hanya kecewa. Dia kecewa karena tidak bisa melakukan apa pun demi dirinya sendiri.
Dia selalu saja membebankan orang lain, padahal dia ingin hidup mandiri. Tapi dia selalu menjadi beban bagi Luis dan selalu saja seperti itu. Tangan Caroline semakin mengepal bahkan kuku panjangnya sampai menusuk telapak tangannya. Cairan berwarna merah darah itu mengalir perlahan di genggaman Caroline, tapi dia tidak peduli.
Dia ingin melampiaskan emosinya sekarang, emosi yang sejak tadi dia pendam sendiri. Maniknya tertutup merasakan rasa sakit yang memuakkan, bukan dari tangannya melainkan dari dada kirinya yang entah kenapa mulai terasa sesak.
"Caroline.." teriak Luis melihat darah yang membasahi pakaian Caroline.
Ibu Caroline yang tengah menyetirpun sampai berhenti menatap ke belakang di mana Caroline tengah menatapnya datar. Tatapan itu membuat dia bergetar, tatapan yang mengisyaratkan sebuah kebencian yang dalam.
"Lepas!" Caroline menyentak tangan Luis mengabaikan cairan merah yang masih mengalir di telapak tangannya.
Luis hanya terdiam menatap Caroline yang memilih diam dengan manik menatap ke arah jendela. Sepertinya Caroline hanya ingin sendiri dan Luis tidak bisa menolak jika itu yang di inginkan Caroline sekarang. Tapi dia khawatir akan luka Caroline yang masih terbuka, walau darahnya mulai mengering tapi luka itu bisa infeksi.
"Aku obati lukamu oke" Luis hanya berusaha tapi Caroline kembali menyentak tangannya yang menyentuh bahu Caroline.
"Abaikan aku!!"
Luis menghela nafas melirik ibu Caroline yang ternyata juga khawatir tapi mereka akhirnya mengangguk. Mobil kembali berjalan dan tidak perlu waktu lama hanya lima belas menit setelah itu mereka sampai di sebuah pohon besar yang aneh. Ibu Caroline menatap Luis yang masih terlihat khawatir pada Caroline tapi Caroline hanya terdiam di tempatnya.
"Kita sudah sampai"
"Tunggulah di sini"
Ibu Caroline keluar dari mobil dan langsung mendekati pohon besar itu, sebuah cahaya muncul tidak lama setelah ibu Caroline menyentuh pohon itu. Cahaya kecil itu semakin membesar, Luis yang ada di dalam mobil kagum akan apa yang baru saja dia lihat.
Sebuah pagar besar menjadi awal penglihatan Luis sampai dia bisa melihat sebuah bangunan yang besar. Pagar itu terbuka memperlihatkan sebuah tanah kosong dengan satu orang wanita yang menyambut kedatangan mereka.
"Selamat datang nyonya Edgar" ucap wanita itu dengan senyuman yang mengembang di bibir tipisnya.
"Senang bertemu denganmu Jennifer"
"Oh.. nyonya Edgar" terdengar suara dari belakang di mana ada seorang pria dan wanita yang mengunakan jubah putih kebesaran.
Ibu Caroline terkejut dan langsung membungkuk memberikan salam pada kedua orang yang menjadi pemimpin tempat itu. Tidak hanya mereka berdua, ada beberapa werewolf lain yang dia tau memiliki pangkat tinggi di sana.
"Jangan terlalu sopan nyonya Edgar, seharusnya kami yang memberi salam pada anda" ibu Caroline tersenyum, dia tau bahwa keluarga Edgar bukanlah keluarga biasa dan sebab itu juga wanita yang seorang Luna di tempat itu berbicara seperti itu.
"Tidak Luna Berdine, ini tempat kalian dan kami hanya pendatang di sini"
Wanita yang di panggil Luna Berdine hanya bisa tersenyum melirik Alphanya yang terlihat begitu kaku. Sebagai pemimpin tentu sikap berwibawa adalah hal yang umum bagi Alphanya tapi dia kadang juga merasa bahwa sikap Alphanya terlalu berlebihan.
"Jadi di mana mereka?" ucap seorang Alpha yang berdiri di samping Luna Berdine.
Ibu Caroline langsung menatap ke arah mobil di mana Luis yang langsung turun di ikuti Caroline di belakangnya. Tatapan mereka semua mengarah pada Caroline yang terlihat tidak peduli. Dia hanya berdiri tenang di samping Luis yang membungkuk sopan.
Tapi Caroline tidak memberi salam sama sekali, dia hanya berdiri melihat ke arah hutan tanpa peduli tatapan sang Alpha yang terlihat marah.
"Caroline!!" bisik ibu Caroline dengan tangan mencengkram pergelangan tangan Caroline.
Caroline meringis dan langsung menatap pemimpin tempat itu "oh.. kau pemimpinnya bukan, kalau begitu salam kenal" ucapan Caroline membuat semua orang terkejut.
Bagaimana mungkin ada seseorang yang berani bertindak kurang ajar pada pempimpin mereka. Bahkan ini adalah kasus pertama yang mereka temui setelah bertahun-tahun. Luna Berdine langsung mendekat menatap Caroline yang terlihat tidak peduli "tanganmu terluka".
Semua orang tau bahwa Luna Berdine sangat baik hati tapi berbaik hati pada orang yang tidak sopan pada Matenya sendiri adalah hal yang di luar perkiraan mereka.
"Lepaskan!" Caroline menyentak tangan Luna Berdine membuat sang Alpha mendekat.
"Hei.. kau tidak tau sopan santun apa!!"
Satu kalimat yang keluar dari sang Alpha membuat yang lainnya terdiam di tempat. Tekanan yang di rasakan mereka membuat mereka tidak berani mendongak, tapi Caroline berbeda dia adalah Omega yang paling membenci Alpha. Dan itu juga termasuk Alpha yang ada di hadapannya ini.
"Menyebalkan"
Tangan sang Alpha terangkat "tenang Mate"
Sang Alpha berdecak dan langsung meninggalkan tempat itu. Ibu Caroline hanya bisa menghela nafas melihat apa yang baru saja terjadi tapi bukannya diam Caroline semakin menjadi.
"Jangan pedulikan aku, pergi kau!!" ucap Caroline menatap tajam ke arah Luna Berdine sampai terdengar suara geraman dari arah depan.