webnovel

Apapun Yang Menyangkut Arsyilla, Adrenaline Pria Itu Selalu Berpacu

Arsyilla berjalan mengendap-endap seperti maling di penthousenya sendiri, setelah sampai di depan pintu dengan cepat dirinya menekan sandi namun sialnya pintu tersebut tak kunjung terbuka.

"Nggak mungkin pintu sebagus ini rusakkan? Rapuh amat," gumamnya, gadis itu masih terus sibuk mencoba membuka pintu.

"Sampai kiamat pun pintu itu tidak akan terbuka." Suara Dhika mengintrupsi Arsyilla.

'Kan bener pasti dia ni yang punya kerjaan' batin Arsyilla.

"Berapa sandinya?" Tanya Arsyilla tanpa menoleh.

"Jangan membelakangi lawan bicaramu Syilla," ucap Dhika.

'Ya Tuhan, ribetnya orangtua satu ini' batin Arsyilla geram.

"Ya udah sih Pak, saya buru-buru ini, berapa sandinya?" Tuntut Arsyilla tanpa berniat menoleh.

"Syilla!" Tegur Dhika tegas.

Arsyilla menghela nafas sambil mengatur emosi, ia berbalik dan mendapati gurunya tersebut masih mengenakan pyama, dangan secangkir kopi di tangannya.

Darimana Arsyilla tau yang diminum Dhika itu kopi? Tentu dari aromanya.

"Buru deh Pak, nanti bubur ayamnya habis." Dhika menatap tajam Arsyilla namun gadis itu tidak peka akan emosi suaminya.

Karena Arsyilla tidak pernah peka pada Dhika yang ada pekak alias tuli.

"Duduk." Perintah Dhika.

"Bapak hobi kali ya nyuruh orang duduk, nggak disekolah nggak disini, saya nggak minat duduk untuk sekarang Pak." Arsyilla melihat jam yang melingkar di tangannya dengan wajah gelisah.

"Bisa untuk tidak mendebat saya?" Mata Dhika semakin tajam.

"Gini ya Pak, kalau mau marah ntar malem aja, sekarang saya buru-buru, bubur ayamnya keburu habis kalau Bapak marah sekarang."

'Tarik nafas, buang perlahan, tarik nafas buang perlahan, ayo Cia atur emosimu, ini masih pagi' tutur dewi batin Arsyilla.

"Kamu tidak akan kemanapun, sekarang duduk!" Dhika mengatur nafas agar tidak emosi, ini masih pagi pikirnya.

"Jangan ngatur saya dong Pak," jawab Arsyilla ketus.

"Apa susahnya menurut Syilla?" Dhika meremas kuat gagang cangkir kopinya.

"Demi apa saya harus menurut?" Sebenarnya kaki Arsyilla juga mulai pegal.

"Duduk sendiri atau saya gendong?" Ancam Dhika.

"Mulai mesum ya?" Arsyilla berjalan menuju sofa, bukan dia takut tapi kakinya sudah sangat pegal.

"Nggak usah ngancem saya Pak, nggak guna," ucapnya sambil duduk.

"Keras kepala," cibir Dhika.

"Kalau nggak keras namanya klepon Pak, kepala itu memang seharusnya keras," ucap Arsyilla.

"Kemarin kamu pergi jam berapa?" Arsyilla mengerutkan alisnya bingung, Dhika mengabaikan jawaban istrinya.

"Jam berapa kamu keluar dari sini kemarin pagi," ucap Dhika ketus.

"Oh, ya jam segini la Pak, tapi buat apa Bapak nanyak? Kepo ih," ucap Arsyilla acuh.

"Syilla kamu itu tanggung jawab saya, jadi sudah sewajarnya saya tau apa yang kamu lakukan."

"Nggak usah terlalu mendalami peran Pak, risih saya." Pembuluh darah Dhika mulai merambat naik.

"Say tau kamu membenci saya, tapi hargai saya."

"Sebagai guru saya hargai Bapak, buktinya semua perkataan Bapak saya ikuti, terus apalagi yang kurang?" Hantu singa betina Arsyilla perlahan bangun dari tidurnya.

Dhika tidak mengerti apa yang ada dalam otak Arsyilla, gadis ini selalu bisa menjawab ucapannya.

"Ada lagi nggak Pak?" Arsyilla menghitung waktu, dia takut langganannya tutup, ia tidak mau memesan online karena pasti isinya tidak akan sesuai keinginannya.

Kalau dirinya langsung, si penjual harus menuruti kata-katanya.

"Hari ini kamu tidak kemanapun." Mata Arsyilla melotot sempurna.

"Oh nggak bisa Pak, jangan ngatur saya ya." Mancing keributan nih si Dhika.

"Saya nggak ngatur kamu, lupa kalau kamu di skors? Merenung lebih baik." Dhika mengamati pipi Arsyilla yang masih terlihat memerah.

"Saya udah merenung Pak kemarin sambil betapa malah." Arsyilla mulai menaikkan nada bicaranya.

"Buat apa kamu betapa?" Entah kenapa Dhika menikmati perdebatannya dengan Arsyilla.

"Belajar mengatur emosi biar kalau ketemu manusia macam Bapak darah saya nggak mendidih!" Ok, Arsyilla sudah lepas kendali.

"Jangan menaikkan nada suara kamu Syilla." Ucap tegas Dhika.

"Bapak yang udah bangunin hantu dalam diri saya, suara saya nggak bisa di kontrol kalau hantunya udah bangun." Mata Arsyilla melotot menatap Dhika.

Entah Dhika harus marah atau tertawa sekarang karena mendengar ucapan Arsyilla.

Arsyilla mengehela nafas berat, dia mengambil ponsel dan memesan online bubur ayam dan langsung di delivery kerumah sakit.

Arsyilla bangkit dari duduknya dan ingin kembali kekamar melanjutkan mimpi yang tertunda.

"Mau kemana kamu?" Tanya Dhika.

"Tolong jangan kepo bisa?" Arsyilla menoleh manatap Dhika tak suka.

Dhika memijat pelan pangkal hidungnya, orang di mana-mana pagi hari itu olahraga senam jantung untuk kesehatan, tapi Dhika malah rebus darah sampek mendidih.

"Jangan uji kesabaran saya," desis Dhika.

"Lebih baik uji nyali kalau saya mah," jawab acuh Arsyilla.

"Arsyilla Ayunda, saya belum selesai bicara jangan berani kamu beranjak dari tempatmu!" Menggema suara Dhika diruang tamu mereka.

"Bapak punya masalah apa sih sama saya? Kita kan udah perjanjian untuk nggak mengusik hidup masing-masing!" Suara Arsyilla tidak kalah menggemanya.

"Jangan besar suara!" Bentak Dhika.

"Bapak boleh, saya nggak gitu?!" Arsyilla tidak akan menangis hanya karena bentakkan Dhila yang menakutkan.

"Dengar ya Pak, kita udah sepakat untuk nggak terlibat dalam kehidupan masing-masing, emang saya di skors dan saya sportif menerimanya, dan Bapak ya nggak usah ikut campur, nggak ada tu guru yang kepo sama aktifvitas muridnya yang di skors, nggak penting menurut mereka."

"Tapi saya bukan hanya sekedar guru buatmu Syilla." Ucap Dhika mengingatkan.

"Bagi saya anda nggak lebih dari seorang guru." Tanpa menunggu jawaban Dhika, gadis itu langsung berlari kelantai dua dan masuk kekamarnya, ia membanting pintu dengan keras.

Dhika menghela nafas berat, belum juga sempat bertanya apa yang di makan gadis itu selama seharian di dalam kamar, mereka malah bertengkar.

Dhika bukannya perduli pada gadis itu, dia hanya merasa sudah tanggung jawabnya mengetahui aktifvitas istrinya.

Walaupun hanya sebatas status, tapi ia tidak bisa mengabaikan tanggung jawabnya.

****

"Gila ya tu Pak tua, seenaknya aja main ganti sandi pintu, mau ngurung gue? Oh, tidak bisa." Arsyilla mondar mandir di kamarnya untuk mencari cara agar bisa tau sandi penthouse ini.

Dengan segera Arsyilla kembali keluar kamar, dia akan menanti Pak tua itu pergi kerja.

Dua jam Arsyilla duduk di depan pintu tapi tidak ada tanda-tanda Dhika akan keluar dari kamarnya.

"Nggak mungkin tu orang udah pergi, gue cuma lima menit dalam kamar habis itu keluar lagi," gumamnya pelan.

"Ya Tuhan Syilla ngapain kamu di situ?!" Jantung Dhika hampir copot saat melihat Arsyilla duduk di depan pintu dengan kepala menunduk, rambut tergerai menutupi wajahnya.

Dia pikir itu hantu.

Tidak ingin Arsyilla melihat wajah terkejutnya dengan segera Dhika membalikkan tubuh, menutp mata sambil mengatur nafasnya, ia sangat terkejut tadi.

'Untung nggak lari' batinnya.

"Berapa sandinya Pak? Saya harus tau, Bapak akan pergi dan saya tinggal sendiri, saya harus tau untuk jaga-jaga." Arsyilla hanya menatap punggung lebar Dhika tanpa tau jika wajah pria itu pucat karena terkejut bercampur takut.

"Hari ini saya tidak kemanapun, kamu akan tau sandi setelah skorsmu berakhir," ucap dingin Dhika.

"Bapak berubah profesi jadi harder sekarang?" Tanya Arsyilla mengejek.

Alis Dhika berkedut, pembuluh darahnya hampir meledak, jika dia melayani ucapan Arsyilla maka penthaouse ini akan terbakar, tanpa menjawab gadis itu Dhika pergi ke dapur untuk mengambil minum.

Apapun yang menyangkut Arsyilla, adrenaline pria itu selalu berpacu.

selamat membaca ya, tinggalkan jejak kalian sebagai bentuk suport sayang kalin terhadap kami, agar kita merasa dekat :)

we love u guys....

Ardhaharyani_9027creators' thoughts
Nächstes Kapitel