webnovel

Garis Takdir

BRAK~~~

Pintu ruangan Agasa terbuka tanpa ketukan terlebih dahulu. Membuat pemilik ruangan menghentikan sejenak pekerjaan. Atensinya tertuju sepenuhnya pada wanita berbalut gamis warna maron.

"Kamu kenapa, Li?" tanya Agasa pada Vilia Khaerani sekretaris Agasa.

Vilia tidak langsung menjawab pertanyaan dari sang pemilik Firma Hukum itu. Dia harus mengatur ritme napasnya terlebih dahulu.

"Li, ada apa sih? Kamu kesambet apa?" kelakar Agasa.

"Firman kecelakaan, Pak," pena yang sedari tadi yang digenggam oleh pengacara kondang jatuh terhempas begitu saja.

Matanya membola sempurna, jantung berdegup cukup kencang.

"Jangan asal bicara kamu, Vilia!" sergah Agasa.

Yang membuat Agasa lebih tercengang ketika menyadari wanita di hadapannya ini adalah wanita yang menjunjung tinggi sebuah kebenaran.

Vilia kembali ingin memberikan sebuah pembenaran, tapi Agasa bangkit lalu mengambil jasnya yang dia sampirkan di sandaran kursi kerjanya.

"Di mana?" tanya Agasa. Raut kecemasan terlukis jelas di wajah pengacara dengan jabatan senior partner.

"Rumah Sakit Bakti Husada ....," jawaban Vilia menggantung karena Agasa telah berlalu meninggalkannya.

~~~

"Menurut penelusuran kami di TKP kecelakaan yang dialami korban bukan karena disengaja, tapi murni karena human error," jelas sang polisi.

"Human error?" ulang Akbar.

"Seberapa besar keyakinan anda jika kecelakaan yang dialami sahabat saya ini penyebabnya hanya human error?" tantang Akbar.

"100% kami yakin, apalagi ini diperkuat dengan diagnosa dokter yang mengatakan, bahwa teman anda menderita GDM," penjelasan dari polisi semakin membuat Akbar tak mengerti.

"GDM itu adalah Gangguan Depresi Mayor," Dokter Alhi Jiwa itu mulai mengambil alih waktu untuk memberikan Akbar penjelasan yang lebih jelas.

"Penyebabnya?" tanya Akbar singkat.

"Bisa berupa pengalaman traumatis, seperti kekerasan fisik atau seksual, kematian orang yang dia cintai atau bahkan perceraian," jawab dokter yang memiliki nametag Febry Adi Wansha di sneli dokternya.

Akbar kembali mengingat-ingat ucapan Ayu tadi pagi, "Apakah penyebab lo mengalami trauma ini karena lagi-lagi Yudi merenggut sumber bahagiamu?" batin Akbar.

"Tapi bisa sembuhkan, Dok?" tanya Akbar sambil menatap Firman tanpa kedipan.

"Akan kami usahakan," Dokter dan Pak Polisi pergi meninggalkan Akbar setelah pembicaraan antar ketiganya telah menemukan muaranya.

Tatapan Akbar kembali beralih ketika mendapati Ayu kembali, "Gue udah urus administrasinya, dia akan segera dipindahkan ke ruang rawatnya," jelas Ayu. Akbar hanya mengangguk tanda mengerti atas penjelasan Ayu.

Ruang rawat dengan fasilitas VVIP menjadi pilihan Ayu untuk Firman Afif lelaki yang pernah dia cintai dan dia kagumi secara diam-diam sejak berseragam putih abu-abu.

Ayu dan Akbar duduk bersisihan di sofa yang terdapat dalam ruang rawat inap Firman. Pandangan mereka lurus ke depan menatap Firman, menungguinya yang entah kapan akan membuka matanya.

"Bar, dia nggak akan ninggalin kita lagi, kan?" tanya Ayu. Dengan sekuat tenaga Ayu tak lagi ingin meluruhkan air matanya. Yang dinanti telah kembali tapi apakah rasanya akan tetap sama?

"Dia udah kembali, sekarang tugas lo buat mempertahankan dia, lo dan Zaskia butuh dia untuk bahagia," tegas Akbar.

Akbar merangkul bahu sahabatnya, dia tahu kalau Ayu sedang diselimuti ragu. Dia ragu apakah dirinya bisa membuat Firman kembali ada di tengah mereka.

Akbar dan Ayu kembali dalam keheningan masing-masing. Entah apa yang sedang mereka pikirankan, hanya mereka yang tahu.

Pekik kebahagiaan Ayu terdengar nyaring di kamar perawatan bernuansa putih itu, "Bar, lihat tangannya Firman udah gerak, dia sadar, Man."

Akbar dan Ayu bangkit dari duduk mereka, tapi tujuan mereka berbeda. Akbar keluar untuk memanggil dokter seakan dirinya lupa kalau ruangan ini dilengkapi oleh tombol emergency dan Ayu berjalan cepat menuju brangkar tempat Firman berbaring.

Samar-samar Firman mengerjapkan kedua manik matanya. Pandangan yang dia lihat pertama kali adalah senyum manis dari wanita yang telah dia tinggalkan selama empat tahun.

"A---yu?" terka Firman dengan nada terbata-bata.

Tapi dokter yang dipanggil oleh Akbar memberikan jeda pada keduanya yang mungkin saja akan saling bertukar rindu.

Lima menit berlalu kini tinggallah mereka bertiga di ruangan ini. Kebersamaan yang tak pernah lagi mereka rasakan selama 4 tahun terakhir.

"Kenapa gue ada disini?" tanya Firman dengan nada datar. Kedua manik mata Firman terus menatap netra pekat milik Ayu.

"Lo kecelakaan," jawab Akbar singkat.

Suasana kian mendingin antara mereka, dan belum ada tanda-tanda akan segera mencair.

"Terus kalian?" tanya Firman lagi.

"Zaskia tadi kecelakaan dan ketika dokter selesai menangani dia, lo masuk," Ayu angkat bicara. Dan penjelasan dari ibu satu anak itu berhasil membuat kedua lelaki sebayanya itu terkejut.

"Lo ngak ada bilang ke gue kalau anak lo itu kecelakaan," teriak nyaring Akbar.

Ayu akui dirinya memang salah, dia larut dalam euforia karena telah menemukan sebagian hidupnya. Firman nampak mengepalkan tangannya kuat-kuat bukan karena Ayu melalaikan kewajibannya, tapi setiap merasa disudutkan Ayu selalu menerimanya tanpa sanggahan.

"Yu, bibir lo bisa berdarah kalau lo selalu menggigitnya," sela Firman.

"Zaskia ngak apa-apakan?" tanya Akbar.

Gelengang kepala Ayu berikan dan senyum manis dia sunggingkan di bibir ranumnya.

"Man," Ayu mencakup kedua pipi Firman yang dipenuhi dengan luka lebam.

"Lo janji ama gue nggak akan pergi lagi, ya?" pinta Ayu pada Firman.

"Tempat gue bukan di sini, Yu," jawab Firman tegas.

"Nggak, Man, lo tetap di sini. Gue dan ....,"

"Dia bukan punya gue, Yu," pangkas Firman.

Akbar terbelalak tak percaya atas ucapan pengacara muda itu. Akbar menggeleng samar.

"Man, berapa kalipun lo menyangkal dia bukan punya lo, tapi garis takdir nggak akan bisa lo ubah," Ayu tetap pada teguh pada pendiriannya, dia seakan tidak peduli dengan penolakan yang diberikan Firman.

"Man ....,"

"Gue minta sekarang lo keluar," titah Firman dengan nada tinggi.

"Gue akan tetap disini, gue nggak mau lagi pisah ama lo. Benar kata Akbar, mulai saat ini gue akan mempertahankan rasa gue ke lo. Bahagia gue ada di lo," jelas Ayu dengan berapi-api.

Akbar yang sedari tadi hanya diam segera mencegah aksi Firman yang hendak melepaskan selang infusnya, "Man, lo gila?" sentak Akbar.

"Kalau lo nggak mau pergi, gue aja yang pergi," ultimatum tegas Firman berikan, Ayu menatap Akbar untuk membantunya membela diri.

Bahu Ayu merosot begitu saja ketika Akbar pun nyatanya berpihak pada Firman, "Lo pulang sana, Zaskia lebih butuhin lo sekarang."

Akbar menuntun Ayu untuk keluar dari ruang perawatan Firman.

"Lo percaya ama gue, gue ngak akan ngebiarin dia menghilang lagi," kata Akbar sambil mengusap punggung Ayu naik turun.

Dan pergilah Ayu, mengalah begitu saja karena ultimatum yang Firman camkan beberapa saat yang lalu. Dengan isak tangis Ayu meninggalkan Rumah Sakit terbesar di Ibu Kota.

BRAK~~~

Tanpa Ayu sangka, ada sosok lelaki seusia Papa Galih yang menabraknya, "Kalau jalan tuh pakai mata dong," gerutu Ayu.

"Eh, di mana-mana itu jalan pakai kaki bukan mata," koreksi lelaki tersebut.

Ayu yang masih dilanda gundah gulana tak memperdulikan ucapan lawannya. Meninggalkan lelaki bertubuh kekar itu tanpa sepatah kata.

"Dasar aneh, abis di diagnosa penyakit berat, mungkin," batin lelaki itu.

Bersambung...

Nächstes Kapitel