webnovel

Awal Mula Kebangkitan Liza

Sepuluh menit berlalu, rombongan mereka pun sudah sampai di perbatasan Bernsbergh. Beruntung tidak ada satu kejanggalan atau peristiwa aneh lagi di sepanjang perjalanan. Hanya mungkin sedikit terkendala oleh hujan salju yang sangat lebat. Sudah biasa memang di wilayah sini. Tidak heran kalau jalanan selalu tertutup es yang tebal dan tinggi. Tapi berkat tunggangan dua rusa mereka yang kuat, dinding itu bisa hancur dan jalan pun terbuka. Sehingga mereka bisa lebih cepat sampai dari perkiraan.

"Kalian mau langsung pergi? Kenapa tidak mampir sejenak untuk beristirahat? Kalian pasti lelah, kan?" tawar Liza kemudian.

Peter dan yang lainnya pun menggelengkan kepala. "Terimakasih. Tapi sepertinya tidak perlu. Kami harus secepatnya menyusul rombongan. Karena setelah ini, kami harus pergi melanjutkan tugas resque kami bersama yang lain."

Mereka pun berpisah disana. Liza melanjutkan perjalanan untuk masuk ke Bernsbergh. Sementara Peter dan lainnya menyusul rombongan Rescue Universe Team yang sudah duluan ke Pertisoum.

Berbalik menatap pemandangan Bernsbergh, Liza tersenyum lembut. Begitu merindukan saat-saat dimana ia masih tinggal disini. Begitu damai dan penuh keceriaan.

"Kuharap Bu Rose ada di panti! Sudah lama sekali aku tidak mengunjungi panti!" gumam Liza penuh semangat. Lalu mulai berlarian kecil menuju pondok besar yang selama belasan tahun pernah menjadi tempat tinggalnya itu.

Tapi seketika langkah Liza terhenti. Kaget dengan pemandangan panti yang sangat usang tatkala dilihat dari dekat. Bahkan saljunya sangat tinggi hingga menutupi separuh rumah panti itu. Dan atap-atapnya pun beberapa ada yang bolong, karena tidak kuat menahan beban berat dari salju yang menumpuk. Jelas sekali, kalau rumah panti ini sudah lama ditinggalkan.

"Hei, gadis muda ..."

Disaat Liza masih melihat-lihat keadaan rumah panti, munculah sosok kakek tua yang sedang memegang sekop. Menyapa Liza dengan ramah.

Agak lama Liza menyadari siapa kakek itu. Hingga sekelebat bayangan tentang beliau pun akhirnya muncul di benak Liza.

"Kakek Ten?"

Liza ingat kalau dulu sewaktu kecil, dia sering bertemu dengan beliau. Kakek Ten ini orangnya sangat baik. Kerap kali menolong Bu Rose saat membersihkan jalan dan atap dari salju. Beliau juga sering berkunjung ke rumah, dan telah Liza anggap seperti kakek sendiri. Senang rasanya beliau masih mengingat Liza. Walau kini makin banyak kerutan senja di wajahnya, dan langkah kakinya tidak secepat dulu, rupanya kakek Ten masih sehat.

Kakek itu lantas tersenyum. "Sudah lama sekali aku tak melihatmu. Kau tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik. Aku merindukanmu!" Tangan beliau pun refleks bergerak melingkar dan memeluk Liza dengan hangat. Pelukan seorang kakek yang teramat merindukan cucunya.

Liza membalas pelukan itu sama hangatnya. Sudut kedua bibirnya pun terangkat, dan pelupuk matanya menggenangkan buliran haru. "Liza sama rindunya dengan kakek!"

Kakek Ten kemudian beringsut merenggangkan pelukannya. Menatap cerah Liza. "Ayo, mampir ke rumah kakek dulu. Agar kita bisa saling bercerita!"

Liza tersenyum. Teringat ada sesuatu yang harus ia tanyakan. "Ah, ya. Sebelum itu, aku mau bertanya, Kek. Dimana orang-orang panti? Dan dimana Bu Rose?"

Sorot bola mata Kakek Ten seketika berubah saat Liza menanyakan pertanyaan itu. Yang tadinya cerah, langsung melemah dan sendu. "Anak-anak panti ... mereka sudah dipindahkan ke kota Pertisoum. Karena disini sudah tidak ada yang mengurus."

"Tidak ada yang mengurus? Maksudnya--"

"Bu Rose ..."

**

Disinilah Liza sekarang. Duduk di bukit kecil yang sering dijuluki sebagai 'white valley', karena hampir sepanjang tahun selalu tertutup oleh salju tebal. Kalaupun musim panas tiba, salju disana memang mencair. Tapi entah bagaimana, semua tumbuhan disana berjenis tumbuhan putih, yang mana daun dan kayunya putih. Pemandangan serba putih itu pula yang membuat bukit itu terkesan seperti bukit suci.

Dan dari sekian alasan itu, ada satu hal lain yang menjadi alasan mengapa bukit itu dikatakan serba putih. Karena selain tanamannya yang putih, tanahnya pun putih. Karena tanah disana didominasi oleh ... papan tanda makam.

Ya. Bukit itu adalah pusat tempat pemakaman bagi penduduk Bernsbergh. Ada beberapa desa lainnya yang juga dimakamkan disana, tapi tidak banyak.

Dan dari sekian penduduk Bernsbergh yang namanya telah terpasang di papan tanda makam, nama Bu Rose juga terpampang disana.

Sampai detik ini Liza masih tidak percaya kalau Ibu pantinya yang paling dia sayangi itu pergi terlebih dahulu. Meninggalkannya untuk selamanya. Sedih dan kecewa, karena Liza tidak bisa berada di sisi beliau disaat-saat terakhirnya.

"Aku tidak tahu kalau selama ini beliau memiliki penyakit yang parah ..." ucap Liza dengan derai air mata yang menganak sungai di pelupuk matanya. "... kalau saja aku tahu, pasti Bu Rose sudah aku bawa berobat ..."

Sedih rasanya membayangkan Bu Rose yang selama hidupnya harus menutupi penyakit hatinya. Tidak ingin membuat anak-anak panti beliau sengaja menyembunyikan penyakit itu selama bertahun-tahun. Begitulah cerita pilu yang baru saja Liza dengar dari kakek Ten.

Miris sekali. Liza yang hidup tujuh belas tahun bersama Bu Rose dan anak-anak panti yang lain, baru mengetahui fakta itu ketika beliau sudah tiada.

"Oh iya. Aku menemukan buku diary Bu Rose di laci kamar tidurnya." Kakek Ten kemudian menyodorkan buku diary kecil usang bersampul coklat itu kepada Liza. Beliau ternyata menyimpan buku itu di kantong jubahnya. "Sebelum meninggal, beliau sempat memintaku untuk memberikan ini padamu."

Diambilnya buku diary itu oleh Liza. Kembali air matanya mengalir lebih deras dari yang sebelumnya. Pasalnya, Bu Rose ternyata masih mengingat Liza. Bahkan disaat terakhirnya. Itulah yang membuat Liza tersentuh.

Penasaran dengan isi buku diary itu, Liza pun kemudian mulai membuka lembar demi lembar halaman buku itu. Rata-rata dari isi buku tersebut adalah catatan harian beliau yang sehari-harinya menceritakan polah tingkah anak-anak panti dan segala kegiatan positif yang pernah dia lakukan selama hidupnya.

Liza tidak menemukan satu buah hal lain maupun kejanggalan dari dairy itu, sampai ia menemukan satu lembar diary dengan tanggal kejadian yang jatuh pada tanggal ulang tahunnya.

**

14 Februari 1996

Saat ini hujan sangat lebat disertai petir menakutkan. Aku bahkan khawatir kalau atap rumah panti bakal bocor lagi. Apalagi, saat ini aku sedang sendiri disini. Lampu juga mengalami pemadaman. Aku sangat takut. Beruntung aku masih memiliki perapian yang menyinari ruang tengah.

Hendak merapatkan jendela depan, tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara geraman hewan buas dari luar rumah panti. Nyaris saja aku hampir pingsan, karena melihat sekelebat bayangan putih yang cepat. Kukira hantu atau semacamnya, melainkan sesuatu yang sangat tidak terduga.

Seekor hewan raksasa putih aneh mirip rubah tapi memiliki anatomi yang agak berbeda itu datang. Membuka mulutnya lebar-lebar. Dan di mulut besarnya itu, ternyata ada seorang bayi perempuan mungil.

Ini mungkin terdengar seperti halusinasi atau bahkan mimpi, tapi inilah kenyataan yang kulihat.

Bayi mungil itu diletakkan tepat di depan gerbong rumah panti. Lalu hewan aneh itu pun langsung pergi.

Kulihat bayi itu, tampaknya sudah tidak bernyawa. Pasalnya aku tidak bisa mendengar detak jantung dan deru napasnya sama sekali.

Tapi beberapa menit setelah kuangkat dan hendak kubawa ke tempat pemakaman, aku mendengar guntur yang sangat keras.

Kukira sambaran petir itu mengenaiku. Tapi siapa mengira kalau setelah petir kuat itu, aku merasakan pergerakan pada bayi perempuan itu.

Sangat ajaib. Wajah pucat si bayi pun berubah menghangat. Kembali berseri. Bersyukur bayi itu masih diberi kesempatan hidup kembali.

Dan karena wajahnya berseri bening itulah, kunamai dia Liza. Diambil dari nama Taliza, salah satu batuan mulia yang indah dan langka.

**

Selesai membaca buku itu, Liza langsung menutupnya cepat. Kaget dengan yang baru saja ia baca.

Dalam hatinya bertanya-tanya kebenaran soal apa yang ditulis Bu Rose. Karena yang tertulis disana sangat tidak masuk akal untuk jaman sekarang.

Tapi Liza seketika ingat, kalau belakangan ini dia kan sudah kerap menjumpai hal-hal mistis dan sihir. Dia juga bahkan sudah pernah bertemu Christ, arwah Raul, dan arwah kakek bermata biru. Jadi hal-hal gaib semacam itu bisa saja terjadi, kan?

Melihat apa yang tertulis di buku diary Bu Rose, apakah itu artinya ... Liza sewaktu dulu bayi memang sempat pernah mati lalu bangkit lagi?

Dan kalau ditarik mundur ingatan kebelakang, tepat ketika Raul pernah bicara soal Adera yang mirip dengan Liza, dan mengingat Adera seharusnya sudah mati, dari sini Liza bisa menduga benang merahnya.

Kalau Liza ... dulu mungkin memang benar pernah hidup di masa lalu sebagai Adera, lalu bangkit kembali sebagai seorang bayi perempuan yang diketemukan Bu Rose. Dan buku diary ini adalah bukti kongkrit bahwa hal itu adalah kebenaran.

**

To be continued.

Nächstes Kapitel