webnovel

MCMM EXTRA 1

Happy Reading ❤

"Yang, kamu nggak papa?" tanya Banyu pada Gladys yang sedari pagi muntah terus. Setiap makan sesuap pasti akan dimuntahkan kembali.

"Nggak papa mas. Cuma lemas dan capek karena harus bolak balik ke kamar mandi." Gladys membaringkan diri di ranjang. "Mas, kamu sudah sarapan? Maaf aku nggak bisa menyiapkan pakaianmu."

"Nggak papa sayang. Kamu istirahat saja. Biar aku ambil sendiri pakaianku. Mau kuminta ibu untuk menemanimu hari ini?"

"Jangan mas. Ibu kan harus mengajar. Antar aku ke rumah mami ya mas. Aku pengen makan rawon buatan mbok Parmi."

"Biar aku minta ibu yang buatin untuk kamu ya."

"Nggak mau. Aku maunya buatan mbok Parmi." Gladys bersikeras dengan keinginannya.

"Tapi sayang, kamu kan lagi lemas begini. Nanti kalau kenapa-napa di jalan bagaimana?" tanya Banyu khawatir.

"Kalau mas Banyu nggak mau antar aku ke rumah mami, biar aku kesana sendiri. Mas Banyu ke kantornya pakai motor saja atau naik ojek. Aku mau pakai mobil."

"Princess, masa CEO naik motor?"

"Ada masalah? Memangnya ada peraturan yang melarang CEO naik motor ke kantor?" tanya Gladys.

"Tapi kamu kan lagi nggak enak badan sayang. Aku khawatir kamu pusing di tengah jalan."

"Ya kalau begitu kamu antar aku ke rumah mami ya," bujuk Gladys sambil memainkan jari jemarinya di dada bidang Banyu yang hanya mengenakan kaos polos. Banyu langsung menangkap jemari Gladys dan mencium punggung tangannya.

"Kamu jangan mancing-mancing ya," ucap Banyu. "Memangnya kamu bisa melayaniku dalam keadaan seperti ini?"

"Kamu itu bukan ikan, ngapain aku mancing kamu? Kamu ini orangnya sabar, tapi kalau sudah urusan 'itu' kamu tuh nggak bisa menahan diri ya," goda Gladys sambil meniup-niup telinga Banyu.

"Please princess jangan diteruskan. Oke.. oke.. aku antar kamu ke rumah mami."

Tak sampai setengah jam kemudian, mereka tiba di rumah Praditho. Gladys yang sudah terlihat segar berlari ke dalam rumah. Tinggallah Banyu geleng-geleng kepala melihat tingkah Gladys. Perasaan tadi di rumah lemas banget.

"Selamat pagi mas Banyu," sapa pak Gito sambil menyalami Banyu.

"Pagi pak Gito. Apa kabar pak? Saya dengar pak Gito kemarin sakit ya? Bagaimana kondisinya sekarang?"

"Biasa mas, masuk angin. Dikerokin sedikit sama istri sembuh."

"Papi mami ada pak?"

"Tuan papi tadi pagi-pagi berangkat ke Malaysia. Tapi nyonya mami ada kok mas."

"Pak Gito jaga kesehatan ya. Saya masuk dulu pak."

Di dalam rumah dilihatnya Gladys sedang tiduran sambil merebahkan kepalanya di pangkuan Cecile.

"Pagi Mi," sapa Banyu sopan. Ia mencium punggung tangan ibu mertuanya.

"Pagi Nyu. Tumben kalian pagi-pagi kesini? Kamu nggak ke kantor?"

"Habis ini Banyu mau ke kantor, Mi. Gladys bilang dia mau makan rawon buatan mbok Parmi. Makanya dia minta diantar kesini."

"Rawon? Sejak kapan kamu doyan rawon, Dys?" tanya Cecile heran.

"Lho, memangnya Gladys nggak suka rawon, Mi?" tanya Banyu heran.

"Dari dulu dia paling nggak suka rawon. Kalau mbok Parmi masak rawon dia pasti nggak ikut makan," jelas Cecile. "Dys, kamu beneran mau rawon?"

"Iya Mi. Gladys pengen makan rawon setan buatan mbok Parmi. Dari tadi Gladys belum makan."

"Dari pagi tadi Gladys muntah-muntah, Mi. Setiap makan sesuap, pasti muntah. Sampai lemas." Banyu menjelaskan kepada mertuanya.

"Gibraaaan!!" panggil Cecile. Tak lama muncullah Gibran bersama Vania yang kini sudah menjadi istrinya.

"Ada apa Mi? Eh ada elo Nyu. Itu si Gladys ngapain manja-manjaan gitu sama mami?"

"Van, coba deh kamu ajak Gladys ke kamar dan periksa dia. Kata Banyu sejak pagi dia muntah-muntah dan pagi ini mendadak pengen makan rawon buatan mbok Parmi," jelas Cecile kepada Vania yang kebetulan seorang dokter.

"Dek, ayo kita ke kamar. Biar kakak periksa kamu."

"Ngapain diperiksa sih Mi?" tanya Gladys. "Paling-paling masuk angin atau asam lambung naik."

"Sebaiknya tetap diperiksa, dek. Biar jelas treatment-nya," bujuk Vania. "Mami pasti mencurigai sesuatu. Iya kan, Mi?"

Sepeninggal Vania dan Gladys, Gibran mendekati Cecile dengan pandangan penuh tanya.

"Mi, sejak kapan adek suka rawon?"

"Mami curiga ini bukan masuk angin biasa deh."

"Maksud mami?" tanya Banyu tak mengerti.

"Nyu, bulan ini istrimu sudah haid belum?"

"Hmm.. kayaknya belum deh. Tapi bukannya biasa ya Mi kalau jadwal menstruasi itu mundur?"

"Jadwal mundur itu memang biasa. Tapi kalau lebih dari sebulan mundurnya. Apalagi kalian pasangan muda yang sedang hot-hotnya, bukan mustahil kalau ternyata..."

"Aaaah...!!" Banyu langsung berlari masuk ke kamar tamu tempat Vania memeriksa Gladys. Di dalam kamar dilihatnya Gladys menangis dalam pelukan Vania.

"Sayang, kamu kenapa? Van, Gladys kenapa? Dia baik-baik saja kan?"

"Kutinggalkan kalian berdua ya. Dys, jangan lupa apa yang tadi kakak bilang ke kamu ya." Vania meninggalkan mereka berdua.

"Sayang, kamu nggak papa kan?" tanya Banyu khawatir. Ia memeluk erat Gladys yang masih terisak.

"A-aku nggak papa, mas," jawab Gladys disela isakannya.

"Lalu kenapa kamu menangis? Apa ada sesuatu yang serius? Tolong beritahu aku ada apa supaya aku tahu harus bertindak seperti apa." Cup, cup, cup. Gladys mengecup bibir Banyu agar berhenti bicara. Lalu ia menyerahkan semacam alat tes. Banyu menerimanya dan melihat tanda yang tertera di alat tes tersebut. Dua garis merah.

"Sayang... ka-kamu hamil?" tanya Banyu tak percaya. Gladys mengangguk. Banyu langsung memeluk erat tubuh Gladys. Kini Banyu yang menangis sambil memeluk istrinya. Tangisan bahagia tentunya.

"Alhamdulillah ya Allah... Alhamdulillah.. Terima kasih sayang, terima kasih." Tak putus-putus Banyu mengucap syukur. Diciumnya pucuk kepala Gladys.

"Mas, kamu bahagia?" tanya Gladys sambil memandang mesra Banyu. Kini mereka duduk berpelukan di sofa yang ada di kamar tersebut.

"Sangat. Aku sangat bahagia sayang. Akhirnya keinginan kita memberikan cucu untuk ibu terwujudkan." Banyu membelai mesra kepala Gladys yang masih memakai jilbab. Kemudian tangannya beralih mengusap perut Gladys yang masih rata. "Aku bahagia Allah mempercayai kita untuk menjaga titipannya."

Gladys bergelung di dalam pelukan Banyu. Ia juga mengelus perutnya yang masih rata. Tadi saat diperiksa oleh Vania, ia masih berpikir dirinya masuk angin atau maagnya kambuh. Namun saat Vania memberikan testpack kehamilan ia kaget.

"Dek, kapan kamu terakhir haid?"

"Sebulan setelah menikah, kak. Tapi jadwal Adis memang biasa mundur kok."

"Kalian sudah menikah selama 3 bulan, memangnya kamu nggvak curiga gitu?"

"Curiga gimana sih, kak? Itu kan biasa kalau jadwal haid mundur."

"Jadwal yang mundur berarti ada sesuatu pada tubuh kita. Bisa kehamilan, bisa penyakit. Pada pasangan muda seperti kalian, biasanya karena kehamilan." jelas Vania.

"Tapi kak, kami kan baru menikah."

"Adis.. Adis.. kamu kok polos banget sih. Kalian baru menikah. Kalian berdua sama-sama sehat dan pastinya sering melakukan hubungan suami istri. Kakak yakin, pasti tidak pakai pengaman." Gladys menggeleng malu. Memang, Banyu paling tidak mau bila harus memakai ko***m saat bercinta.

"Nah, benarkan tebakan kakak. Jadi wajar saja kalau kamu hamil."

"Sayang, apakah kamu bahagia? Kamu akan menjalani semua kesulitan saat hamil. Mual dan pusing diantaranya."

"Aku sangat bahagia. Bila memang itu yang harus aku lalui, aku ikhlas demi anak kita mas," jawab Gladys mantap.

"Terima kasih sayang. Aku akan selalu mendampingimu. Aku akan menjadi suami siaga untukmu dan anak kita." Banyu mencium lembut bibir Gladys. "Aku siap berkorban untuk kalian."

"Termasuk bila kita tidak bisa bercinta?"

"Itu termasuk? Ya tuhaaaan..." Banyu memijat-mijat kepalanya yang mendadak pening. Membayangkan hanya bisa melihat tubuh seksi sang istri tanpa bisa memasukinya sungguh sebuah siksaan baginya. Gladys tertawa melihat wajah Banyu yang mendadak muram. "Kamu nggak serius kan sayang?"

"Nanti kita tanyakan pada dokter kandungannya ya. Dulu waktu Khansa dan Intan baru hamil, suami-suami mereka juga harus menahan diri. Aku yakin kamu pasti bisa, mas. Sekian tahun membujang saja bisa kok tidak melakukan itu."

"Karena aku belum tahu kalau melakukan itu bersama pasangan halal ternyata salah satu kenikmatan dunia, sayang." jawab Banyu sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Aku tak sabar ingin memberitahu ibu, mas."

"Nanti setelah kita selesai memeriksakan kandunganmu, kita ke rumah ibu dan menyampaikan berita bahagia ini."

⭐⭐⭐⭐

"Nyu kenapa mukamu ditekuk begitu?" tanya Aminah saat dilihatnya Banyu duduk sendiri di teras rumah.

"Gladys lagi ngambek bu gara-gara Banyu salah membelikan martabak." Aminah terkekeh mendengarnya. "Apakah orang hamil selalu menyebalkan?"

"Hush! Jangan ngomong sembarangan. Itu karena pengaruh hormon wanita hamil. Itu juga artinya bumil dan adek bayi minta perhatian dari daddynya."

"Dulu saat ibu hamil Nabila nggak begitu."

"Tiap orang berbeda-beda dalam menjalani kehamilannya. Saat ibu hamil kamu kurang lebih ya seperti nak Adis. Moodian banget. Bahkan dulu ayahmu sempat merasakan tidur di luar kamar karena salah membelikan nasi goreng. Ibu mintanya nasi goreng kambing, ayahmu membelikan nasi goreng ayam."

"Oh jadi menurut mas Banyu, aku menyebalkan?" Tiba-tiba Gladys keluar dari dalam rumah. Setelah meletakkan minuman di hadapan mereka, segera ia menghampiri Aminah dan mencium tangannya. "Ibu baru pulang?"

"Eehh... nggak gitu juga sayang. Aku cuma nggak habis pikir apa bedanya martabak yang di ujung jalan dengan martabak yang di depan rumah sakit. Sama-sama martabak kan?"

"Ya bedalah mas. Tempat jualnya aja beda. Aku kan bilang kalau aku maunya martabak di depan rumah sakit. Aku sudah kirim wa lho buat kasih tahu." Gladys bersikeras.

"Aku cuma baca sekilas karena tadi sedang menyetir, sayang." Banyu membela diri. "Lagipula judulnya sama-sama martabak kan?"

"Aku kan kirim beritanya sejak jam 4 sore. Sebelum kamu pulang kantor. Tuuuh kaaaan... siapa coba yang salah? Kamu memang nggak perhatian sama aku!" Gladys mulai merajuk lagi. Matanya mulai berkaca-kaca. "Bu, Adis masuk dulu ya. Ibu nggak papa kan ngobrol sama mas Banyu aja?"

"Iya nggak papa. Kamu istirahat saja di kamar ya. Tenangkan dirimu. Kasihan bayinya. Kalau kamu stress, sedih atau marah bayinya ikut merasakan perubahan mood kamu."

"Tuh, ibu lihat kan gimana menyebalkannya Gladys saat ini," sungut Banyu.

"Kamu sebagai suami juga harus sabar, Nyu. Dia hamil kan juga karena kamu. Nggak mungkin kan dia hamil sendiri tanpa bantuanmu. Menjadi ibu hamil itu nggak mudah lho Nyu. Trisemester awal dia akan merasakan pusing, mual, lelah. Trisemester dua dan ketiga disaat perut mulai membesar, ia tak lagi bebas bergerak. Tidur juga nggak bisa senyaman saat tidak hamil. Belum lagi harus bolak balik kamar mandi karena kandung kemih mulai tertekan oleh bayi yang terus membesar." Banyu terdiam mendengar ucapan ibunya.

"Apalagi nak Adis dengan tubuh mungilnya harus membawa dua bayi di dalam perutnya. Itu sungguh nggak mudah buat dia. Tapi dia tetap melayani kamu kan? Tuh contohnya dia membuatkan minuman kesukaanmu, kopi. Belum lagi memasak untukmu, menyiapkan pakaian dan pastinya melayanimu di tempat tidur. Jadi bila sesekali dia meminta sesuatu yang absurd, menurut ibu masih wajar. Ada lho orang hamil yang ngidamnya tengah malam minta dibelikan es kelapa muda atau minta dibelikan ketoprak."

"Jadi Banyu salah ya bu?"

"Nggak ada yang salah dalam hal ini. Cobalah kamu lebih pengertian sama nak Adis. Tempatkan dirimu di posisi dia. Nggak ada salahnya kamu bertanya pada Aidan. Walau usianya lebih muda, tapi dia lebih dulu menjadi seorang ayah."

"Bu, menurut ibu kalau Banyu minta Gladys berhenti bekerja bagaimana? Banyu kan bisa memberikan kehidupan yang layak kepada dia. Soalnya Banyu khawatir terjadi sesuatu pada dia dan bayi dalam kandungannya."

"Usul ibu, kamu diskusikan dulu semuanya dengan nak Adis. Jangan gegabah mengambil keputusan."

"Tapi istri kan harus menurut pada suami. Jadi kalau Banyu melarang dia bekerja, ya dia harus patuh."

"Itu memang benar. Kalau memang pekerjaan dia lebih banyak mudharatnya sebaiknya dia berhenti. Tapi lingkungan kerja dia kan hampir semuanya wanita dan toh apa yang dia kerjakan tidak bertentangan dengan agama. Kamu harus ingat, pekerjaan yang dijalaninya kini sudah dia lakukan jauh sebelum dia mengenal kamu."

"Apakah dulu ayah melarang ibu bekerja?"

"Untunglah ayahmu tidak pernah melarang ibu." Banyu merenungi kata-kata Aminah.

"Bu, Banyu susul Gladys dulu ya. Banyu mau minta maaf sama dia. Banyu khawatir dia ngambek dan nggak mau makan malam."

"Nah, itu baru anak ibu. Harus berjiwa besar dan bersikap ksatria. Ibu juga mau istirahat dulu sebelum menyiapkan makan malam."

"Ibu jangan repot-repot. Tadi Gladys sudah memasak untuk makan malam." Banyu kembali terdiam. Ia tersadar betapa besar pengorbanan Gladys. Dalam kondisi hamil anak kembar, dia masih memasak untuk makan malam.

⭐⭐⭐⭐

Nächstes Kapitel