webnovel

MCMM 74

Happy Reading ❤

"Sayang, kita makan malam dulu ya," ajak Lukas. "Kamu doyan sushi kan?"

"Hmm.. nggak terlalu."

"Atau kamu mau makan yang lain? Steak? Makanan italia? Jepang? India? Meksiko? Western? Indonesia?"

"Mas, kamu pernah makan di angkringan?" tanya Gladys tiba-tiba.

"Angkringan? Di pinggir jalan? Pernah, dulu saat jadi mahasiswa. Itu juga terpaksa karena diajak teman," jawab Lukas. "Aku nggak akan mengajak kamu makan di tempat seperti itu. Kotor, panas. Aku nggak mau kamu sakit perut gara-gara makan di tempat seperti itu."

Gladys tersenyum mendengar jawaban Lukas. Sangat berbeda dengan Banyu. Bukan berarti ia merendahkan Banyu. Justru ia merasa bersyukur, mengenal Banyu dan keluarganya mengajarkan bahwa makanan enak bukan hanya di resto-resto mahal. Menikmati makanan dengan nyaman bisa dimasa saja, tidak melulu di resto ber AC. Sepertinya pengalaman seperti itu takkan bisa dialami bila ia jalan bersama Lukas.

"Sayang, besok mama mau ajak kamu dan mami untuk ketemu dengan desainer. Pernikahan kita kan kurang dari tiga bulan lagi. Wedding dress harus segera dipesan."

"Nggak bisa sewa saja?"

"Apa? Sewa?" Lukas terbahak mendengar ucapan Gladys.

"Iya sewa aja. Kan hanya dipakai sekali, mas. Biar nggak buang-buang uang."

"Sayang, kamu nggak usah memikirkan hal itu. Nanti aku akan berikan kartu kreditku."

"Mau nikah kok ngutang." desis Gladys pelan.

"Kalau kamu nggak mau pakai kartu kredit, nanti aku akan berikan ATM ku buat membayar persiapan pernikahan kita. Aku sanggup kok membayar cash semua biaya pernikahan kita. Berapa kira-kira biayanya? 1-2 M cukup?"

"Sombong."

"Bukan mau sombong sayang, tapi aku memang mampu kok. Kamu nggak usah khawatir aku akan jatuh miskin hanya karena membiayai pernikahan kita."

"Kenapa sih harus gede-gedean pernikahan kita? Apa nggak bisa sederhana saja?"

"Sayang, kamu lupa siapa aku? Pewaris tunggal Brama's Corp. Dokter spesialis jantung sekaligus pemilik RS. Sementara kamu anak pengusaha batik terkenal. Nggak mungkin kan kita menikah hanya di KUA. Nggak mungkin juga kita hanya mengundang 500 orang. Kita kan harus mengundang kolega orang tua kita, teman-teman kita, saudara-saudara, partner bisnis dan masih banyak lagi, sayang."

Gladys membayangkan keribetan persiapan acara tersebut. Belum lagi harus tersenyum basa-basi pada orang-orang yang tak dikenalnya. Gladys menginginkan pernikahan yang sederhana dan intim, yang hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat dengan konsep outdoor.

"Mas, aku nggak ingin pernikahan seperti itu. Aku ingin pernikahan yang konsepnya intim, outdoor dan tidak terlalu mewah. Aku ingin pernikahan kita dihadiri oleh orang-orang yang memang kita kenal baik."

"Nggak mungkin sayang. Teman-teman arisan mama dan mami saja pasti banyak. Belum lagi para tetangga. Sudahlah kamu ikuti saja. Untuk persiapannya kamu nggak perlu bingung. Kita kan sudah meminta Ghiffari mengurus segalanya. Kamu tinggal memikirkan wedding dress saja. Kartu ATM yang kuberikan kamu boleh pakai untuk membeli wedding gown. Dan tentunya pakaian untuk bridemaids dan bestmen."

Gladys menghela nafas berat. Lukas dan tante Meisya sama saja. Suka memaksakan kehendaknya. Untung saja mami nggak seperti itu.

"Ya sudah, kita lupakan dulu soal rencana pernikahan kita. Sekarang kita makan malam dulu ya," bujuk Lukas lembut saat dia melihat wajah Gladys yang cemberut.

Tiba-tiba... Cup. Lukas mengecup sekilas bibir Gladys saat mobil berhenti karena lampu merah.

"Ngapain cium-cium?"

"Muka kamu lucu kalau cemberut begitu. Bikin gemas." Kamu kalau cemberut mirip anak kecil. Gladys teringat hal itu, tanpa sadar pipinya terangkat membentuk senyum.

"Aku bukan anak kecil."

"Memang bukan. Kamu wanita dewasa yang bisa menghasilkan anak kecil." Lukas meraih tangan Gladys dan mencium mesra punggung tangannya. "Dan aku nggak sabar menghasilkan anak bersamamu."

"Mesum."

"Biarin. Aku kan calon suami kamu."

"Ingat baru calon suami. Belum jadi suami."

"Kalau aku menghamilimu, kamu nggak akan bisa menolakku sebagai calon suamimu. Kamu harus mau menerimaku," goda Lukas sambil kembali mencium punggung tangan Gladys.

"Pemerkosaan dong."

"Mungkin. Tapi kalau itu bisa membuatmu menikah denganku kenapa tidak."

"Dosa."

"Biarin."

"Nyebelin."

"Biarin."

"Egois."

"Biarin. "

Pada akhirnya Gladys memilih diam karena tak tahu lagi harus berkomentar apa.

"Yang, kita makan disitu aja ya," ajak Lukas sambil menunjuk salah satu restauran steak terkenal di kota ini. Gladys tak menolak, karena ia tahu Lukas pasti selalu punya cara agar keinginannya terwujud.

"Sweetie, kamu mau makan apa? Bagaimana kalau aku pesankan New York Strip khas disini. Aku yakin kamu pasti suka. Untuk minumnya kamu mau wine?" Kening Gladys berkerut melihat Lukas langsung memilihkan menu untuknya. Tapi karena tak ingin ribut, ia memilih diam saja. Pandangannya lebih fokus pada ponselnya.

"Wine? Nggak mas. Aku nggak minum yang kayak begitu." tolak Gladys. Fokusnya kembali pada IG story Nabila yang terdapat foto-foto saat mereka di Malaysia. Gladys tersenyum melihat betapa bahagianya wajah Pramudya saat merayakan ulang tahun bersama anak-anaknya.

"Kamu sibuk lihat apa sih, sayang? Aku nggak suka kalau sedang makan malam begini, kamu lebih fokus pada ponselmu." tegur Lukas dengan suara tajam.

"Maaf." Mood Gladys langsung berantakan setelah ditegur Lukas.

Lukas menyadari perubahan mood Gladys. Ia langsung pindah duduk di samping Gladys.

"Sayang, maafin aku ya. Aku nggak bermaksud seperti itu. Aku cuma nggak suka kamu lebih memperhatikan ponselmu daripada aku. C'mon honey, tonight is our date. Please don't ruin it." Lukas memeluk lembut bahu Gladys dan mencium puncak kepalanya.

Sementara itu di sisi lain ruangan, sepasang mata melihat adegan itu dengan perasaan yang tak dapat diungkapkan.

"Nyu, kamu kenapa?" tegur Agus yang duduk di hadapannya.

"Oh, nggak pa-pa om," elak Banyu sambil fokus pada makanan di hadapannya.

"Jadi apa rencanamu selanjutnya? Apakah kalian mau pindah ke rumah ayahmu?"

"Kayaknya nggak om. Ibu sih tidak pernah melarang kami untuk pindah ke rumah ayah. Tapi kami memilih untuk tetap tinggal bersama ibu."

"Ayahmu menanyakan, kalau kalian memang tidak mau pindah bersamanya, apakah kalian mau pindah ke rumah yang lebih besar dari rumah yang sekarang? Di rumah yang baru kalian bisa memiliki kamar masing-masing."

"Tolong sampaikan pada ayah, kami tidak ingin menjadi benalu dalam kehidupannya."

"Nyu, kalian bukan benalu. Kalian adalah anak-anak mas Pram. Kalian berhak menikmati kehidupan yang lebih baik dari sekarang."

"Terima kasih om atas tawaran ayah. Tapi kami, terutama aku, memperbaiki hubungan ini bukan karena ingin menikmati harta ayah. Biarkan kami hidup seperti saat ini. Tak ada yang berubah kecuali hadirnya kembali sosok ayah dalam hidup kami."

"Lalu bagaimana dengan rencana ayahmu untuk membiayai pendidikan adik-adikmu?"

"Banyu sudah membicarakan hal ini dengan ibu dan beliau tidak keberatan ayah ingin membiayai pendidikan Aidan dan Nabila."

"Bagaimana denganmu? Apakah kamu jadi melanjutkan pendidikanmu ke jenjang S2?"

"Insyaa Allah kalau ada rejeki, Banyu akan melanjutkan S2 om."

"Bagaimana bila ayahmu ingin membiayaimu?"

"Terima kasih om. Tapi Banyu masih sanggup kok membiayai sendiri kuliah S2."

Agus menghela nafas berat melihat betapa kerasnya sifat Banyu. Sifat yang diturunkan dari kedua orang tuanya. Dari Aminah lebih tepatnya.

"Baiklah om nggak akan memaksamu untuk menerima bantuan dari ayahmu. Tapi om harap tolong jangan lagi menjauh dari hidup ayahmu. Kemarin dokter yang di Malaysia menyampaikan kabar yang menurut om adalah kabar gembira. Menurut mereka, bila kondisi emosi ayahmu stabil seperti saat ini, maka lebih besar kemungkinannya untuk sembuh. Karena pikiran sangat mempengaruhi keberhasilan proses pengobatan ini."

"Oh ya? Alhamdulillah kalau memang ada progress dalam penyembuhan ayah."

"Terima kasih ya Nyu, karena kamu mau berdamai dengan ayahmu. Kamu nggak tahu betapa hal itu memberikan impact yang sangat besar bagi ayahmu. Sejak kepergian kalian, hidupnya seolah pincang walau kak Berli mendampinginya. Seolah separuh nyawanya ikut hilang."

"Iya om. Banyu juga mohon maaf karena baru sekarang bisa memperbaiki hubungan ini."

"Kamu tahu Nyu, ayahmu menangis semalaman setelah kamu datang ke rumah bersama Gladys untuk berbaikan dengannya. Dia menangis bahagia karena kamu mau memaafkannya."

Banyu terdiam mendengar penjelasan Agus. Beban perasaannya pun sekarang sudah lebih ringan sejak berbaikan dengan sang ayah. Luka yang telah ditorehkan oleh Pramudya, yang selama ini menganga lebar, kini perlahan menutup dan pulih. Semua itu berkat gadis yang kini hanya dapat ditatapnya dari jauh. Gadis yang tak dicintainya. Namun mengapa hati ini sakit saat melihat seorang pria memperlakukan gadis itu dengan mesra dan lembut. Apakah aku cemburu?

"Nyu, ini buku tabungan untuk adik-adikmu. Mas Pram berharap kamu tidak menolaknya. Terserah kamu atau ibumu yang akan memegangnya. Setiap bulan om akan mentransfer sejumlah uang untuk mereka. Kata ayahmu itu uang saku mereka. Sementara untuk biaya pendidikan mereka, ayahmu sudah menyiapkan tabungan khusus yang nanti juga kamu kelola."

Banyu menerima buku tabungan itu dan membukanya. Matanya terbelalak melihat digit yang tertera disitu.

"Om, apakah ini nggak terlalu banyak? Uang saku mereka perbulan nggak sebanyak ini."

"Ini perintah dari ayahmu. Oleh karenanya, mas Pram meminta kamu atau mbak Ami untk mengelolanya. Oh ya ini satu lagi rekening untuk biaya hidup kalian."

"Om, ini berlebihan. Gaji ibu dan penghasilan Banyu masih bisa kok membiayai hidup kami. Tanpa uang ini kami bisa survive kok."

"Tolong jangan ditolak, Nyu. Mas Pram ingin menebus kesalahannya. Ia tahu kamu dan mbak Ami nggak akan membiarkan Aidan dan Nabila hidup berlebihan atau hedon. Itu sebabnya ia menyerahkan rekening-rekening ini untuk kamu kelola."

Banyu kehilangan kata-kata melihat isi rekening-rekening. Sejumlah angka yang Banyu yakin sampai kapanpun akan sulit ia tandingi dengan penghasilannya dari menjalankan kios, mengajar bimbel dan gaji asisten dosen. Banyu menghadapi dilema. Ia membutuhkan seseorang untuk membantunya mengambil keputusan. Namun ia tak yakin apakah ia masih boleh mengharapkan bantuan dari orang tersebut.

"Baiklah om. Banyu akan terima semua ini. Nanti buku-buku tabungan ini akan Banyu serahkan kepada ibu dan akan Banyu kelola dengan baik."

"Terima kasih ya Nyu. Keputusanmu untuk berbaikan dengan mas Pram Dalah keputusan terbaik. Kini om bisa tenang menjalani study di Australia. Oh ya, kamu juga harus bersiap-siap menggantikan ayahmu bila waktunya tiba."

"Banyu nggak menginginkan itu om." Agus tak merespon jawaban Banyu barusan.

"Ayo habiskan makanannya. Oh ya, om juga sudah order makanan untuk kamu bawa pulang."

⭐⭐⭐⭐

Gladys POV

"Mas, aku mau ke kamar mandi sebentar ya." pamitku pada Lukaa

Setelah keluar dari toilet, aku tak langsung keluar. Kutatap pantulan wajahnya di cermin. Tak banyak berubah. Kata orang-orang tetap cantik. Bahkan Lukas selalu memujiku. Namun saat kulihat bayangan di cermin, yang kulihat adalah seorang wanita yang tak bahagia walaupun senyum selalu terpasang di wajahnya. Mata wanita dalam cermin itu seolah hampa.

Aku tak tahu, haruskah aki bahagia dengan keputusannya menerima Lukas? Tak kupungkiri sikap Lukas yang lembut dan mesra membuatku senang dan hati bergetar. Wanita mana yang tak meleleh saat seorang pria selalu menunjukkan perasaan cintanya, selalu memanggil dengan sebutan mesra dimanapun dan kapanpun. Memperlakukannya laksana seorang putri yang sangat berharga. Wanita lain pasti akan langsung bertekuk lutut dengan sikap Lukas.

Mungkin Lukas itu layaknya tokoh-tokoh dalam novel yang nyaris sempurna. Ganteng, kaya, karir bagus, dan bisa dipastikan memiliki tubuh yang bagus. Pasti enak rasanya bersandar pada dada bidang itu. Namun entah mengapa itu semua tak lantas membuatku termehek-mehek layaknya wanita lainnya.

Ah, apakah gue yang nggak waras ya menolak pria yang nyaris sempurna seperti Lukas. Tapi kenapa debaran jantung ini tak seperti saat ia bersamanya. Bersama seseorang yang jelas-jelas tak mencintainya. BANYU. Lelaki yang telah membuat hidupnya jungkir balik selama beberapa bulan ini. Lelaki yang telah mencuri ciuman pertamanya. Lelaki yang telah mengenalkannya pada kehidupan yang bersahaja.

Ah, lupakan dia. Pria itu sudah menyakiti hatimu. Dia sudah menolakmu. Kenapa aku harus bertemu pria seperti dia? Aku terlalu sibuk dengan pikiranku hingga tak menyadari saat ada sosok yang berdiri di depanku. Kami bertabrakan. Untunglah pria itu dengan sigap menahan tubuhku sehingga aku tak sampai jatuh ke lantai.

"Thanks... mas Banyu?!" Lidahku mendadak kelu saat menyadari siapa pria itu. Pria yang sangat dirindukan sekaligus yang telah mengacak-acak hidupnya.

Demikian pula dengan Banyu. Ia tak tahu harus berkata apa saat tubuh mereka bertabrakan. Ia dengan reflek menahan tubuh wanita itu. Ternyata wanita itu adalah Gladys, wanita yang selama beberapa hari ini selalu hadir dalam pikirannya. Di saat ia mencoba fokus pada hubungannya dengan Senja, entah mengapa gadis mungil ini senantiasa muncul dalam mimpinya.

Bukannya saling melepaskan diri, kami berdua tetap dalam posisi berpelukan. Kami saling menatap dengan kerinduan yang tak mampu diungkapkan namun tergambar jelas di mata kami. Tangan Banyu masih melingkari pinggangku. Sementara tanganku mencengkeram erat kemeja Banyu. Entah setan mana yang menyenggol kami berdua, Banyu menundukkan kepalanya untuk menciumku dengan lembut. Aku pun tak menolak. Aku membalas ciuman Banyu. Selama beberapa menit kami berciuman seolah menyalurkan kerinduan mereka hingga.....

"GLADYS MARIANA PRADITHO!! APA YANG KAMU LAKUKAN?!" terdengar suara menggelegar yang membuat kami melepaskan tautan bibir. Dalam hitungan detik kerah baju Banyu ditarik kasar oleh Lukas dan sebuah bogem mentah mendarat di wajah Banyu. Tentu saja Banyu terjengkang ke belakang mendapat pukulan dari Lukas. Saat ia mencoba berdiri, kaki Lukas sudah menendang badannya. Aku hanya bisa menatap ngeri saat Lukas terus memukuli dan menendang Banyu. Pada akhirnya aku berusaha menahan Lukas dengan cara memeluknya.

"Mas, cukup!" jeritku. "HENTIKAN!!"

"KENAPA AKU HARUS BERHENTI MEMUKUL SI B******K INI? APAKAH AKU HARUS DIAM SAJA MELIHATMU DICIUM OLEHNYA?! DAN KAMU... WANITA MACAM APA KAMU YANG MAU SAJA DICIUM OLEH PRIA LAIN DISAAT KAMU SUDAH MEMILIKI CALON SUAMI?!" Lukas meluapkan amarahnya. Dengan kasar ia menarikki untuk mengikutinya. Aku tak bisa menolaknya. Aku hanya bisa memandang sambil menangis pada Banyu yang masih meringkuk di lantai.

Para pengunjung lain memperhatikan saat Lukas menarikku paksa. Air mata terus mengalir di pipiku. Pihak security mencoba menghentikan Lukas.

"JANGAN IKUT CAMPUR. DIA INI KEKASIH SAYA!" Ucap Lukas dingin dengan pandangan menusuk. "LEBIH BAIK KALIAN URUS SI BA*****N ITU."

⭐⭐⭐⭐

Nächstes Kapitel