webnovel

MCMM 61

Happy Reading ❤

"Assalaamu'alaykum gadisku."

"Wa'alaykumussalaam, Nyu. Please jangan panggil aku seperti itu. Aku masih sah menjadi istri Awan, walaupun dia sudah memperlakukanku seperti ini."

"Apakah aku boleh memanggilmu gadisku bila nanti kamu jadi bercerai dengan Awan?"

"Nyu, jangan lakukan ini. Aku nggak mau menyakiti perasaan Gladys."

"Justru dia yang telah menyakiti dan mengecewakan hatiku dengan memilih dan menerima lamaran dari lelaki itu."

"Kamu mencintai dia?"

"Aku mencintaimu, gadisku."

"Nyu, aku senang mendengarnya. Namun aku sungguh tak pantas mendapatkan cintamu. Ada orang lain yang lebih berhak untuk itu."

"Aku akan menunggumu."

"Tolong jangan mempersulit diriku, Nyu. Kata-katamu malah membuatku merasa semakin bersalah terhadap Gladys. Aku merasa menjadi pelakor di hubungan kalian. Aku nggak mau menjadi orang ketiga yang mengganggu kalian."

"Kamu nggak pernah menjadi orang ketiga dalam hubungan ini. Itupun kalau memang apa yang terjadi di antara aku dan Gladys bisa disebut sebagai hubungan kekasih."

"Nyu, please jangan sakiti hati Gladys. Dia berhak mendapatkan cintamu. Tak ada wanita lain yang berjuang seperti dia untuk mendapatkan cinta. Seorang putri pengusaha terkenal mau merendahkan dirinya demi pria yang dicintainya."

"Aku nggak cinta sama dia."

"Bukan tidak cinta tapi belum."

"Aku serius, gadisku. Aku tak bisa memberikan hatiku sepenuhnya untuk dia karena yang ada dihatiku hanya kamu."

"Tanyakan benar-benar pada dirimu, dan pikirkan baik-baik siapa sebenarnya yang kamu inginkan mendampingimu."

"Apakah sesulit itu mempercayai bahwa perasaannku tulus hanya untukmu?"

"Apakah sesulit itu juga membuka hatimu untuk wanita yang benar-benar mencintaimu?" Senja balik bertanya.

"Sekarang aku bertanya padamu, bagaimana perasaanmu sesungguhnya kepadaku," tanya Banyu pada Senja.

"Tolong Nyu jangan tanyakan itu kepadaku. Kamu tahu aku tak mencintai Awan walau aku menikah dengannya."

"Jawaban itu cukup untukku, sayang. Aku tak butuh jawaban lain."

"Tapi Nyu....."

"Bagaimana keadaanmu? Maaf aku tak bisa menemuimu di pesantren. Thoriq melarangku karena ia tahu Awan pasti mengawasiku." potong Banyu sebelum Senja menyelesaikan perkataannya.

"Alhamdulillah kondisiku semakin membaik. Hasil visum sudah keluar dan dibantu oleh Thoriq, aku sudah membuat laporan ke kepolisian."

"Seandainya saja aku bisa terbang kesana, pasti saat ini juga aku kesana untuk menemui dan memelukmu."

"Nyu..."

"Aku serius, Senja. Bahkan aku sedang berpikir ulang untuk menerima tawaran om Ferdinan untuk bekerja di perusahaannya."

"Apa yang membuatmu melakukan itu?"

"Banyak alasan yang menyebabkan aku ingin melakukan itu, salah satunya adalah kamu."

Nun jauh di sana, perasaan Senja campur aduk mendengar ucapan Banyu. Ya tuhan, salahkah bila aku masih memiliki rasa kepadanya? Dosakah bila alasan gugatan cerai yang akan kulayangkan sebagian karena dia? Haruskah aku egois dengan keinginanku sementara aku tahu ada wanita lain yang juga memiliki perasaan cinta untuknya.

"Gadisku... kamu baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja Nyu. Oh ya disini sudah adzan, sebentar lagi Nyai pasti mengajakku ke masjid untuk shalat berjamaah. Makasih ya Nyu untuk segalanya."

"Everything for you, gadisku. Baik-baiklah kamu disana. Aku akan menunggu hingga kita bersama kembali. Ingatlah aku selalu ada untukmu."

Banyu masih terdiam selama beberapa saat di teras rumah setelah Senja mengakhiri telponnya. Tak lama adzan berkumandang. Banyu melihat jam tangannya. Masih ada waktu untuknya ke kios setelah shalat ashar nanti. Setelah itu jadwal mengajar di bimbel telah menanti.

"Tadi itu siapa, Nyu?" tanya Aminah tiba-tiba ketika Banyu masuk ke dalam rumah. Pandangan Aminah terasa dingin tak seperti biasanya. Banyu merasa serba salah, seperti layaknya seorang pencuri yang tertangkap basah.

"Apakah itu Senja?"

Banyu sadar ibunya pasti telah mendengar percapakannya dengan Senja. Banyu mengangguk. Aminah menghela nafas kesal. Di satu sisi ia ingin anaknya segera menikah dan bahagia dengan wanita pilihannya. Namun terasa ada yang salah bila Banyu memilih menerima kembali wanita yang telah mengkhianatinya. Selain itu ia juga merasa kasihan pada Gladys yang hingga saat ini masih juga tak menyerah memperjuangkan cintanya.

Entah kenapa semakin kecil kemungkinan Banyu bisa bersatu dengan Gladys, maka hatinya semakin menyayangi gadis itu. Apalagi kehadiran gadis itu bukan hanya memperjuangkan cintanya untuk Banyu tapi juga menambah keceriaan kepada Aidan, Nabila dan Pramudya. Bahkan kabar terakhir, Pramudya bersedia menjalani pengobatan lanjutan di Malaysia. Semua itu karena Aidan, Nabila dan tentu saja Gladys yang rajin menyemangati.

Dua hingga tiga kali seminggu mereka akan mengunjungi Pramudya di rumah sakit. Bahkan terkadang di saat weekend Aidan atau Nabila menginap di rumah sakit untuk menemani sang ayah. Tak usah ditanya bagaimana marahnya Banyu saat adik-adiknya melakukan itu.

**Flashback on**

"AIDAN! NABILA!.. untuk apa kalian menghabiskan waktu bahkan sampai menginap di rumah sakit? Buang-buang waktu saja!" sergah Banyu marah.

"Aidan mau menemani ayah. Apa itu salah? Dia itu ayah Aidan, ayahnya mas Banyu juga dek Bila."

"DIA BUKAN AYAH KITA!! AYAH KITA SUDAH MATI!!"

"MAS... KOK BISA SIH MAS BANYU NGOMONG KAYAK GITU?" Nabila mulai tersulut emosinya. "MAS BANYU NGGAK FAIR SAMA ADEK. MAS BANYU SUDAH PUAS MERASAKAN KASIH SAYANG AYAH, SEMENTARA ADEK NGGAK PERNAH MERASAKAN KASIH SAYANG AYAH. APA SALAH KALAU ADEK INGIN MENIKMATI SAAT-SAAT TERAKHIR BERSAMA AYAH? NGGAK ADA YANG TAHU SAMPAI KAPAN AYAH BISA BERTAHAN. DAN ADEK AKAN MENYESAL SEUMUR HIDUP KALAU SAMPAI AYAH KEBURU MENINGGALKAN KITA SEMENTARA ADEK NGGAK PERNAH MENGHABISKAN WAKTU ADEK BERSAMANYA."

"Tapi dek, lelaki itu pengkhianat. Kamu harus tahu bagaimana dia memperlakukan ibu. Kamu harus tahu bagaimana dia menelantarkan kita dan lebih memilih pelacur itu," Banyu melembutkan suaranya dan berusaha memberi pengertian pada Nabila.

"Adek tahu apa yang terjadi. Adek sudah besar. Ayah, ibu, dan om Agus sudah menceritakan semuanya kepada kami. Mas, ibu saja bisa memaafkan perbuatan ayah. Padahal jelas-jelas disini ibu yang menjadi korban. Kalau menurut mas ayah yang telah menelantarkan kita, mas salah besar. Ayah nggak pernah meninggalkan kita. Justru kita yang meninggalkan dia. Ibu yang menolak bertahan padahal ayah tak pernah memiliki keinginan bercerai dengan ibu."

"Selain itu mas lah yang melarang ibu meminta bantuan kepada ayah. Padahal itu adalah kewajiban ayah sebagai orang tua kita walaupun dia telah bercerai dengan ibu. Mas yang selalu melarang kita menemui ayah. Mas yang selalu melarang kita meminta bantuan pada ayah." Aidan ikut bicara. "Apakah mas tahu bagaimana menderitanya ayah karena tak bisa memenuhi kewajibannya sebagai orang tua? Disini maslah yang menjadi orang jahatnya, bukan ayah!!"

Plak!! Tanpa sadar Banyu menampar pipi Aidan. Semua yang ada di ruangan tersebut sangat terkejut melihat hal tersebut, termasuk Gladys yang baru saja datang.

"Mas boleh pukul Aidan, bahkan sampai Aidan mati. Tapi Aidan nggak akan pernah berhenti menemui ayah, hingga tiba saatnya ayah meninggalkan kita semua." Aidan mengucapkan hal tersebut dengan tegas. "Bukan Aidan nggak terima kasih atas apa yang telah mas lakukan buat keluarga ini. Tapi mas Banyu bukan ayah kami. Mas Banyu hanyalah kakak kami yang suatu saat mungkin akan meninggalkan kami."

"Aidan cukup!!" bentak Aminah.

"Mas Banyu perlu mendengar ini bu. Allah sang maha pemilik kehidupan ini saja bisa memaafkan hambanya yang jelas-jelas melakukan kemaksiatan, dosa besar. Kenapa mas Banyu yang hanya manusia biasa tak bisa melalukan itu? Jangan sombong mas. Kita hidup hanya sementara di dunia ini. Apa yang mas lakukan memutus silahturahmi adalah salah satu hal yang Allah benci."

Banyu naik pitam mendengar ucapan Aidan. Ucapan yang menyatakan kebenaran. Ia tak terima sang adik berani melawan dia. Dia sudah mengangkat tangannya saat tiba-tiba Gladys menghalanginya dengan berdiri di depan Aidan. Tak pelak tangan Banyu mendarat di pipi mulus Gladys.

"Gladys, kenapa kamu muncul tiba-tiba seperti itu? Maaf aku tak sengaja memukulmu." Banyu panik, apalagi saat melihat bekas tapak tangannya di pipi mulus Gladys. Ia berusaha mengusap pipi Gladys, namun Gladys menampik tangannya.

"Mas, sadar. Dia adikmu. Jangan kamu rusak sosok yang menjadi idola dan panutan mereka hanya karena keangkuhanmu." desis Gladys marah sekaligus menahan tangisnya. Pipinya terasa sakit namun tak sepedih hatinya melihat Banyu berubah.

"Kamu jangan ikut campur!" balas Banyu. "Mereka adik-adikku. Aku memiliki hak untuk mengatur hidup mereka. Aku tidak suka bila mereka tidak menghormatiku."

"Apakah itu kamu lakukan karena kamu yang membiayai mereka? Kata siapa mereka tidak memghormatimu? Mereka amat sangat menghormatimu. Mereka sangat mengidolakanmu. Selama bertahun-tahun mereka menahan rindu untuk bertemu ayah mereka. Apakah mereka pernah protes saat kamu memisahkan mereka dari om Pramudya? Ingat mas, bahkan ibu yang jelas-jelas melahirkan mereka tidak gila hormat. Ibu tidak menuntut mereka menjadi apa yang ibu mau. Ibu lebih memilih mendampingi mereka, bukan menyetir hidup mereka. Seharusnya kamu meniru ibu. Bukannya malah memaksakan keinginan kamu pada mereka."

"Mas, ayah belum mati. Ayah masih hidup dan beliau sangat merindukan mas Banyu." Nabila mengucapkan hal itu di antara sedu sedannya.

"Terserah kalau memang kalian tidak mau menuruti mas Banyu!" Dengan gusar Banyu pergi meninggalkan mereka. Nabila menangis dalam pelukan Gladys. Sementara itu Aminah sibuk menenangkan Aidan yang masih shock karena perilaku Banyu. Ia tak menyangka Banyu akan bersikap seperti itu.

"Aidan, Nabila, tolong kalian juga mencoba mengerti keinginan mas Banyu. Apa yang dilakukan semata untuk melindungi kalian. Kalian harus mengerti beban mas Banyu sebagai anak pertama tidak ringan. Saat ini dia sedang banyak pikiran. Maafkan kak Gladys, karena kakak ikut andil dalam hal itu. Bu, Gladys minta maaf untuk semuanya."

"Nak Gladys jangan ngomong kayak gitu. Ibu minta maaf atas kelakuan Banyu. Justru ibu sangat berterima kasih sama kamu nak Gladys. Kamu begitu sabar menghadapi Banyu yang terus menghindarimu. Kehadiranmu menumbuhkan semangat bagi Aidan, Nabila bahkan ayah mereka. Mas Pram bilang kalau dia senang kamu sering menemani Nabila dan Aidan menemui dia. Kamu menularkan energi positif bagi keluarga ini."

"Kak Gladys, terima kasih kakak sudah menyelamatkan Aidan. Kakak juga berusaha menjaga image mas Banyu sebagai kakak yang baik." Aidan mengucapkan terima kasih.

"Tolong jangan membenci mas Banyu."

**Flashback off**

"Nyu, boleh ibu bicara?"

"Ibu nggak suka kalau Banyu belum bisa move on dari Senja?" Banyu mendahului bicara sebelum Aminah menyampaikan maksudnya.

"Nyu, itu hak kamu. Tapi tolong kamu ingat. Saat ini Senja belum bercerai dari suami sahnya. Apa yang kamu lakukan malah menambah beban perasaan Senja dan pastinya akan menimbulkan luka di hati Gladys."

"Banyu tidak bisa menghindari itu bu. Perasaan Banyu ke Senja masih kuat. Sampai kapanpun sulit buat Banyu menghilangkan dia dari pikiran dan hati Banyu. Apalagi di saat-saat seperti ini. Banyu yakin Senja membutuhkan Banyu untuk mendampinginya."

"Bagaimana dengan nak Gladys? Ibu yakin ia juga pasti membutuhkanmu."

"Dia nggak butuh Banyu, bu."

"Bagaimana kamu tahu itu sementara kamu selalu menghindari dia?"

"Bu, lalu Banyu harus bagaimana?"

"Nyu, selama ini ibu tak pernah meminta apapun dari dirimu. Kini saatnya ibu meminta sesuatu dari kamu."

"Ibu mau dibeliin apa? Insyaa Allah Banyu akan mencoba memenuhinya."

Aminah tak langsung menjawab pertanyaan Banyu. "Nyu, ada beberapa permintaan ibu. Pertama, temui ayahmu dan maafkan dia. Kedua, selesaikan baik-baik masalahmu dengan nak Gladys. Ketiga, tolong jauhi Senja. Ibu nggak mau, anak ibu dituduh perusak rumah tangga orang lain."

Kali ini ganti Banyu yang terdiam setelah mendengar permintaan Aminah. "Maaf bu, mungkin hanya satu permintaan ibu yang bisa Banyu penuhi. Yaitu menyelesaikan masalahku dengan Gladys, yang kuyakin itu takkan susah. Karena memang tak ada apa-apa diantara kami."

"Nyu, penyakit ayahmu parah. Yang bisa kita lakukan adalah memberinya rasa nyaman."

"Baguslah kalau dia meninggal. Itu pantas dia terima," ucap Banyu sinis.

"Nyu, ibu tak pernah mendidikmu menjadi manusia pendendam seperti ini. Tolong, berdamailah dengan masa lalumu."

⭐⭐⭐⭐

Nächstes Kapitel