webnovel

MCMM 23

"HAH?! BAYI?!" Banyu dan Gladys berseru bersamaan.

😱😱

⭐⭐⭐⭐

Happy Reading ❤

"Banyu, ibu sangat kecewa sama kamu. Ibu pikir kamu lebih baik dari ayah kamu. Ternyata kalian sama saja." ucap Aminah dengan bergetar penuh kesedihan. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Bu, ini nggak seperti yang ibu kira. Banyu nggak pernah melakukan hal seperti itu dengan dia," Banyu berusaha menjelaskan kepada sang ibu yang tampak sangat kecewa dan terluka.

"Nyu, ibu sudah cukup kecewa dengan kelakuan kamu. Ibu nggak mau tambah kecewa dengan sikap pengecut kamu. KAMU HARUS BERTANGGUNG JAWAB." tegas Aminah. "Sesegera mungkin kita temui orang tua nak Gladys."

"Dys, apa maksud kamu dengan semua ini? Tolong jelaskan pada ibu bahwa tak ada yang perlu aku pertanggungjawabkan. Bilang pada ibu bahwa bukan aku bapak dari bayi itu. Mungkin kamu melakukannya dengan orang lain."

"Cuma kamu yang melakukan itu kepadaku. Nggak pernah ada orang lain, mas." jawab Gladys pelan. "Tapi kalau menurut mas Banyu nggak ada hal yang perlu dipertanggungjawabkan, aku mengerti. Mungkin buat kamu itu adalah hal biasa, tapi tidak untukku. Kamu orang pertama dan satu-satunya."

"Tapi aku tidak melakukan apapun terhadapmu. Aku hanya menciummu."

"ASTAGHFIRULLAH BANYU! KAMU BILANG HANYA CIUMAN? KAMU TAU KAN BAHWA ITU AWAL DARI SEMUA KESALAHAN INI. DAN KAMU BILANG HANYA CIUMAN?!" Aminah yang tak pernah berkata keras kepada anak-anaknya, malam ini meradang akibat ucapan Banyu.

"Ibu.. please dengarkan penjelasan Banyu. Tak ada yang terjadi di antara kami. Yang kami lakukan hanya berciuman, tidak lebih. Bagaimana mungkin hal itu bisa membuatnya hamil? Ibu kan pasti tahu bagaimana proses terjadinya kehamilan."

"Maafkan aku kalau sudah menimbulkan kekacauan disini. Kalau memang mas Banyu menolak menjadi suami Gladys, nggak pa-pa. Mungkin aku yang terlalu menaruh harapan tinggi, mas Banyu mau menjaga Gladys." Gladys berdiri dari kursi. Diambilnya jaket Banyu yang dari tadi diletakkan di sampingnya. "Mas, ini jaketnya kukembalikan. Sesuai dengan janjiku di surat. Sekali lagi aku mohon maaf."

"Kamu mau kemana nak?" tanya Aminah sambil menahan tangan Gladys.

"Gladys pamit pulang bu. Maaf dengan segala kekacauan ini. Mungkin kami memang tidak ditakdirkan bersama. Setidaknya Gladys sudah mencoba." Gladys mencium tangan Aminah.

"Ini sudah malam, nak. Nggak baik anak perempuan menyetir malam-malam begini. Apalagi kamu sedang galau. Biar Banyu yang mengantarkanmu pulang. Mengenai masalah itu, biar nanti ibu yang akan mencoba berbicara baik-baik kepadanya. Ibu yakin dia mau menjadi suamimu." Aminah memeluk Gladys erat. "Nyu, antarkan Gladys pulang."

Banyu memegang erat jaket yang tadi diberikan oleh Gladys. Pikirannya kacau. Ia bingung harus bagaimana menjelaskan kesalahpahaman ini kepasa ibunya. Kenapa tiba-tiba Gladys datang kesini dan membuat kekacauan. Banyu benar-benar tak habis pikir.

"Nggak usah, Bu. Biar Gladys pulang sendiri. Kasihan mas Banyu kalau harus pulang malam-malam. Besok pagi dia kan harus ke pasar dan jualan." Tolak Gladys

"Nggak papa nak Gladys. Banyu sudah biasa pulang malam. Paling tidak biarkan Banyu mengantarmu pulang. Di jalan nanti kalian bicarakan lagi baik-baik mengenai masalah ini. Ibu yakin banyak hal yang ingin kalian bicarakan."

"Tapi Bu....."

"Banyu, tolong jangan membantah." Tegas Aminah. Kalau sudah mendengar nada seperti itu, Banyu tak lagi berani membantah. Selain itu ia juga penasaran apa niat Gladys sebenarnya.

"Terima kasih bu. Maaf Gladys sudah merepotkan." Gladys kembali memeluk Aminah yang Balas memeluknya dengan erat.

"Pakai jaket ini." Banyu memberikan kembali jaketnya kepada Gladys yang menatapnya heran. "Baju kamu terlalu terbuka."

Gladys memperhatikan pakaiannya. Apanya yang terbuka? Hari ini dia memakai rok span yang panjangnya dibawah lutut dan blouse lengan pendek. Menurutnya itu sudah cukup tertutup.

"Bu, Banyu pergi dulu. Nanti ibu nggak usah menungguku. Banyu bawa kunci sendiri. Ibu istirahat saja." Banyu berpamitan dan memeluk Aminah.

Di dalam mobil suasana terasa canggung. Banyu fokus menyetir. Dari genggaman tangannya disetir menunjukkan betapa ia menahan perasaan.

"Dys, apa maksud leluconmu tadi? Kamu pikir karena keluargaku miskin seenaknya saja kamu mempermainkan kami?" tanya Banyu kesal. Sebisa mungkin ia berusaha menahan perasaan marahnya.

"Lelucon apa?"

"Ya yang itu tadi. Yang kamu bilang kalau kamu memintaku untuk menjadi suamimu."

"Aku nggak bercanda. Aku serius." jawab Gladys singkat sambil membuka jaket Banyu.

"Pakai saja jaket itu. AC mobilmu cukup dingin. Dengan pakaian seperti itu kamu bisa masuk angin. Selain aurat kamu sedikit lebih terjaga. Lain kali pakai baju yang lebih tertutup supaya aurat kamu nggak dilihat banyak orang."

"Perasaan baju aku hari ini cukup sopan untuk bertandang ke rumah kamu."

"Memang sopan, tapi lihat itu lengan kamu terbuka seperti itu. Aku yakin kamu tahu batasan aurat wanita itu apa saja."

"Terima kasih." jawab Gladys sambil membuang pandangnya ke jendela.

"Kita makan malam dulu. Aku lapar." ucap Banyu sambil membelokkan mobil ke angkringan di pinggir jalan yang tampak ramai pengunjung.

"Makan disini?"

"Iya, kenapa?" Banyu balik bertanya.

"Aku nggak pernah makan di tempat kayak begini." jawab Gladys.

"Kalau menjadi istri tukang sayur ya kayak begini yang namanya makan di luar. Dan itu juga nggak bisa sering-sering." Jawab Banyu sambil memarkirkan mobilnya.

"Kenapa begitu? Kita kan bisa makan di resto. Aku sanggup kok membayar makan di resto." ucap Gladys tak mau kalah. "Lagipula disini nggak pakai AC dan rame banget. Nggak enak buat ngobrol."

"Aku memilih tempat makan karena rasa makanannya bukan karena ber AC atau tidak, nyaman atau tidak. Tapi kurasa angkringan ini cukup nyaman kok." Banyu keluar dari mobil dan menunggu Gladys turun dari mobil. Namun Gladys belum juga turun.

Banyu mengetuk kaca jendela. "Kenapa nggak turun?"

Akhirnya dengan enggan Gladys turun dari mobil mewahnya. Kehadiran mereka menarik perhatian para pengunjung lain karena kendaraan yang mereka naiki terlihat menonjol di antara motor-motor yang parkir berjajar.

"Kenapa tadi nggak langsung turun? Mengharapkan aku membukakan pintu untukmu, Princess?" sindir Banyu sambil menyodorkan lengannya kepada Gladys. "Apa perlu kugandeng juga?"

"Ih, apaan sih?"

"Kita duduk di sebelah sana. Oh ya, kamu makan apa? Tenang, calon suamimu ini masih mampu membayarimu makan disini. Aku jamin makanan disini rasanya nggak kalah dengan makanan di resto-resto yang biasa kamu datangi." Banyu menuju penjual makanan yang terlihat sibuk.

"Eh ada mas Banyu. Makan apa mas?" tanya pakdhe Toro, pemilik angkringan. "Menu biasa?"

"Iya pakdhe menu biasa dan nasi kucingnya 2 bungkus ya."

"Pakai apa mas nasi kucingnya?" tanya pakdhe Toro.

"Kamu mau pakai apa? Mie goreng dan ayam suwir atau mie goreng dan ati ampela?"

"Nasi kucing itu apa? Makanan kucing?" tanya Gladys sambil berbisik, namun rupanya masih terdengar oleh pakdhe Toro.

"Oalah mas Banyu kesini sama gandengannya tho. Kalau begitu nasi kucingnya aku bikin spesial. Khusus buat pelanggan setia."

Setelah selesai memesan makanan, Banyu menggandeng Gladys menuju kursi yang tak terlalu ramai. Tanpa protes, Gladys menurut saja digandeng oleh Banyu. Entah kenapa semua terasa natural saja untuk mereka berdua.

"Gerah." Gladys hendak membuka jaket, namun dicegah oleh Banyu. "Kenapa?"

"Aku nggak mau mata para pria itu menikmati kulit mulus CALON ISTRIKU." sindir Banyu.

"Kamu marah?"

"Hmm.. kemana princess yang biasanya galak? Kenapa hari ini kamu terlihat berbeda. Kamu terlihat lebih kalem dan manis. It's not yourself."

"Kata siapa aku nggak bisa kalem dan manis. Bisa kok." balas Gladys ketus. "Kamu aja yang belum kenal siapa aku sebenarnya."

"Oh aku cukup mengenal dirimu. Kamu, princess kesayangan keluarga Hadinoto - Van Schuman. Princess manja yang egois dan temperamen serta sering jutek sama orang-orang disekitarnya."

"Sudah selesai men-judge aku?" Tanya Gladys.

"Aku nggak sembarang men-judge seseorang. Itulah image yang aku dapat sejak kita bertemu." jawab Banyu santai. Tepat pada saat itu makanan mereka datang. "Ayo makan."

"Ini makanan apa? Kenapa kayak gini tampilannya?" tanya Gladys sambil menunjuk piring beralas daun pisang yang berisi sedikit nasi dan lauk pauknya.

"Itu yang namanya nasi kucing."

"Makanan kucing?" Banyu tertawa mendengar pertanyaan Gladys.

"Kamu belum pernah nyobain makanan kayak gini?" Gladys menggeleng. "Benar-benar princess rupanya. Padahal Bang Ghiffari dan Gibran sering makan disini."

"Masa sih?" tanya Gladys tak percaya.

"Mereka jauh lebih merakyat daripada kamu, princess."

"Berhenti memanggilku seperti itu." omel Gladys.

"Kamu memang seorang princess. Sikap dan tingkah lakumu seperti princess manja yang tidak pernah bertemu rakyat jelata." ejek Banyu. "Marahnya nanti dilanjut lagi. Sekarang makan dulu. Aku yakin kamu pasti belum makan malam. Atau mau aku suapi?"

"Aku nggak makan malam." Tolak Gladys.

"Kenapa? Diet? Takut gendut?" sindir Banyu lagi.

"Kamu yang bilang aku berat." desis Gladys kesal. "Selama ini nggak ada yang pernah bilang kayak gitu ke aku."

"Ya ampun, kamu rupanya memikirkan ucapanku saat itu." Kembali Banyu tergelak. "Sesekali makan malam nggak akan membuat kamu gendut, sayang."

"Jangan panggil aku sayang."

"Lho, jadi maunya dipanggil apa? Princess nggak boleh. Sayang juga nggak boleh. Padahal katanya aku ini calon suami kamu. Atau kamu mau seperti anak-anak muda jaman sekarang yang baru pacaran sudah panggil ayah bunda?" Banyu meledek sambil menarikturunkan alisnya.

"Jangan bercanda deh." sergah Gladys. "Siapa juga yang pacaran sama kamu."

"Oh iya kita bukan pacaran ya, tapi calon pengantin. Kalau begitu aku panggilnya Beib atau honey saja ya?"

"BANYU!!"

"Apa beib? Masa panggil calon suaminya kayak gitu. Panggil aku beib juga dong. Maunya sih dipanggil pake honey, tapi kayaknya panggilan itu nggak cocok untuk tukang sayur kayak aku." sindir Banyu. Sindiran yang mampu membuat mulut Gladys yang tadinya terbuka untuk membalas ucapan, menutup rapat.

"Nyu .... "

"Kok nggak pakai mas lagi panggilnya? Apa itu hanya pencitraan di depan ibu?"

"Please Nyu.. eh mas Banyu. Jangan menyindir aku lagi. Aku capek. Aku akan jelaskan kenapa aku memintamu menjadi calon suamiku."

"Makan dulu, biar kamu punya energi untuk bercerita. Kurasa malam ini bakal panjang."

"Aku nggak lapar." Gladys tetap menolak.

Akhirnya Banyu mengambil sendok dan mengambil makanan lalu menyodorkannya ke mulut Gladys. Tentu saja Gladys terkejut. Namun dengan keras kepala ia tetap menutup rapat-rapat mulutnya. Banyu menghela nafas kesal. Ditaruhnya sendok tersebut dan ia dekatkan wajahnya ke Gladys yang duduk di sampingnya.

"Kalau kamu masih menolak makan, aku akan mengulangi lagi hal itu." bisik Banyu. "Disini. Saat ini. Dan kali ini nggak akan secepat kemarin. Kujamin ciumanku kali ini benar-benar membuat omongan ibu menjadi kenyataan. Bukan hanya sekedar bualan, tapi benar-benar menghadirkan bayi di dalam perutmu."

Gladys menatap kesal Banyu. Akhirnya dengan terpaksa ia mengambil sendok dan mulai menyuap makanan yang ada dihadapannya. Awalnya ia ragu, namun tak lama ia menikmati makanan tersebut. Banyu tersenyum melihat hal itu namun tak berkomentar lebih lanjut. Ia biarkan Gladys menghabiskan makanannya.

"Enak?" tanya Banyu saat dilihatnya makanan dihadapan Gladys habis, hanya menyisakan daun pisang sebagai alas makan. "Mau lagi?"

"Memang boleh? Nanti uang kamu habis," sahut Gladys ragu. "Nanti biar aku yang bayar."

"Tentu saja boleh Princess. Dan jangan khawatir, uang aku masih cukup buat bayarin kamu makan 10 bungkus nasi kucing. Hitung-hitung latihan menghadapi istri yang nafsu makannya besar seperti kamu." Ledek Banyu.

"Jadi menurutmu aku rakus?"

"Aku nggak pernah bilang seperti itu. Tapi buat aku it's okay. Aku nggak keberatan punya ISTRI yang montok." Ucapan Banyu yang mampu membuat wajah Gladys merona malu.

"Jadi menurutmu aku gendut?" Banyu tergelak melihat wajah Gladys yang mulai sewot. "Tenang saja beib, kamu itu nggak gendut kok. Kamu itu imut. Tapi nggak tau juga ya kalau nanti sudah melahirkan anak-anak kita."

"Banyu!!"

"Apa beib?" sahut Banyu sok mesra. "Manggil calon suami yang mesra dong."

"Wah, mas Banyu kelihatan serasi banget sama mbaknya. Calon istri ya mas?" tanya pakdhe Toro.

"Gimana beib aku harus menjawabnya?" Banyu malah melempar pertanyaan itu kembali kepada Gladys. Yang ditanya hanya melengos.

"Waah, mesra banget mas manggil pacarnya. Bikin pakdhe iri aja."

"Praktekin ke budhe Mur dong. Biar tambah mesra pakdhe." sahut Banyu sambil mengerling kepada Gladys. "Kita jangan kalah mesra sama pakdhe Toro, ya Beib."

"Ih lebay." sahut Gladys ketus.

"Oke, sekarang kita sudah kenyang. Saatnya kamu ceritakan yang sebenarnya." pinta Banyu. "Kenapa kamu memintaku untuk menjadi suamimu?"

Mampus gue, sesal Gladys dalam hati.

Nächstes Kapitel