webnovel

Pusat Perhatian

Aku duduk berhadapan dengan kak Yogi, rasanya sungguh canggung. Bukan dari hati, melainkan bisikan dan tatapan yang sejak tadi seolah selalu tertuju padaku.

"Makanlah dengan santai, jangan melihat ke kanan ke kiri apa lagi ke belakang. Kalau pun ingin melihat, tatap ke arah depanmu saja."

Glek!

Kutelan ludah secara paksa. Apakah dia bermaksud menggodaku?

"Kak Yogi lucu juga ya," balasku sekenanya.

"Oh ya? Hem... Senang sekali mendengar pujianmu, Amelie. Itu artinya kau suka dengan laki-laki yang humoris," jawabnya sambil menikmati hidangan makan siang yang baru saja di hidangkan di depan kami oleh seorang pelayan.

Kembali kutarik napasku perlahan, sepertinya dia memang ingin menggodaku, bukankah kami baru saja saling mengenal?

"Mmh... Yah, begitulah. Karena aku sendiri terkadang suka bercanda yang kelewat batas, Kak." aku mencoba sok akrab dengannya. Yah, kuharap aku tidak terkesan kembali menggodanya.

Kak Yogi menatapku sejenak, lantas tersenyum manis. "Makanlah, nikmati makanan di kantin ini. Sangat nikmat."

"Hem, selamat makan..." balasku sambil kembali menikmati makanan di depanku. Memang nikmat, tapi sedikit asin. Mungkinkah si juru pemasak ingin menikah?

Konon, seseorang yang memasak dengan rasa terlalu asin lantaran dia ingin sekali menikah namun tak juga menemukan jodohnya. Ah, aku mulai percaya pada mitos lagi.

Usai makan siang, kami masih duduk sejenak. Menetralisir dan membiarkan makanan serta minuman yang baru saja kami lahap untuk sempurna dicerna.

"Amelie..."

"Ya?" aku menjawa seketika saat kak Yogi memanggilku. Sejak tadi aku sibuk berkutat dengan ponselku, saling bertukar pesan dengan Keysa.

"Kau sudah punya pacar?"

Oh my God! Ini dia, pertanyaan yang sudah kuduga akan terlontar dari bibirnya itu. Pertanyaan ini selalu aku dengar setiap kali berjumpa dengan laki-laki yang baru kukenali.

"Menurut kakak?" balasku berbalik tanya.

"Tsk... Dasar, sepertinya kau pandai membalikkan sebuah pertanyaan yang mematikan, Amelie."

Aku hanya tersenyum menanggapinya. Hal itu memang menjadi ahliku sejak dulu.

"Aku selalu serba salah untuk menjawab setiap pertanyaan dari seorang laki-laki. Karena setiap kali aku menjawan TIDAK, mereka tidak percaya. Jika aku menjawab IYA, mereka lantas berubah."

Kak Yogi menatapku sejenak, dia seolah sedang membaca raut wajah dan apa yang terbersit di dalam pikiranku.

"Memang tidak mudah menjadi wanita cantik," balasnya kembali memujiku.

"Pffttt... Cantik? Hahaha..." aku tertawa lepas tanpa memikirkan dimana aku berada saat ini. Sehingga beberapa dari para staf karyawan yang lain menoleh ke arahku.

"Hihihi... Dia tertawa konyol seperti itu saja cantik ya," bisik salah seorang dari mereka membuatku seketika menarik ujung bibirku untuk berhenti tertawa.

"Maaf, Kak..." ucapku menatap kak Yogi dengan canggung.

"Tidak apa, tawamu barusan sangat renyah..."

Segera aku mengatupkan bibirku rapat-rapat. Dan berpura-pura menatap layar ponselku menahan malu akan godaannya barusan.

"Ayo, kita masuk! Jam istirahat hampir habis." kak Yogi memutus pembicaraan kami sejak tadi. Aku pun mengiyakannya, ini lebih baik. Dengan begitu aku tidak perlu menjawab panjang lebar untuk pertanyaannya tadi.

Kami berjalan beriringan kembali melewati lorong untuk menuju ruang kerja kami masing-masing. Baru saja setengah perjalanan, kami bertemu dengan seorang laki-laki. Mendadak jantungku hampir meledak saat bertatapan wajah dengan laki-laki itu meski hanya sekilas pandangan.

"Hai, Erwin... Ada apa?" sapa kak Yogi padanya.

"Hai, Gi. Aku minta laporan dokumen dari gudang sebelah, kau yang bertugas menyelesaikannya bukan?" jawabnya tanpa menatapku lagi. Dia terlihat acuh, membuatku canggung saja.

"Ah, ya! Kalau begitu ayo ke ruanganku," ajak kak Yogi kemudian melanjutkan langkahnya.

"Kak, aku langsung ke ruanganku ya!" pamitku menyela saat kak Yogi berada satu langkah dariku.

"Oh, ya! Selamat bekerja kembali, Amelie."

"Hem..." jawabku singkat sembari tersenyum, begitupula pada laki-laki yang berada di sisi kak Yogi tersebut.

Dia menatapku tertegun, pandangan mata kami bertemu. Kami saling menatap namun tanpa kata, ketika kak Yogi mengajaknya kembali melangkah, saat itu pula pandangan kami berantakan dan teralihkan seketika.

Ah, ada rasa kesal pada kak Yogi. Laki-laki yang kuketahui bernama Erwin itu, memiliki bola mata hitam pekat dan menenangkan meski terasa dingin ketika aku menatapnya lebih dalam.

Aku bergegas pergi menuju ruanganku dan kembali berkutat dengan tumpukan dokumen yang seolah sudah menyambutku dengan bisikan yang menggoda serta meledekku.

Jarum jam terus berputar, tiba waktu pulang. Aku meregangkan tubuhku pada kepala kursi di belakangku, rasanya memang cukup melelahkan. Bagiku saat ini, tidak ada hal yang mudah dilakukan untuk mendapatkan uang yang sempurna dari hasil keringat sendiri.

Seperi biasa, aku dan Keysa baru bisa bertemu saat langkah kami sudah tiba di depan perusahaan.

"Mel..." panggil Keysa lebih dulu, melambaikan tangannya dan berlari menghampiriku.

"Bagaimana kerja mu?" tanyaku menyapa.

"Yah, sepertinya tidak jauh berbeda denganmu." Keysa menyenggol lenganku dengan kerlingan mata.

"Hah, mencari uang memang tidak mudah!" kami berbicara secara bersamaan setelah terdiam dan saling memandang sejenak.

Kami pun tergelak tawa bersama. Di saat bersamaan, Monalisa baru saja keluar dari pintu utama perusahaan tempat kami bekerja paruh waktu.

"Tsk... Kenapa harus melihat pemandangan yang tidak mengenakkan di hati saat lelah seperti ini," tutur Keysa tak tanggung-tanggung mengeluarkan kata sindiran saat Monalisa melewati kami dengan membusungkan dadanya.

Monalisa menoleh seketika, tentu saja dia mendengar apa yang baru saja Keysa katakan.

"Kau! Tidak bisakah bersikap manis dan berpura-pura baik padaku di perusahaan ini?" tandas Monalisa dengan menunjuk ke arah Keysa.

"Cih, untuk apa aku berpura-pura baik pada orang yang memang jelas tidak baik? Aku bukan wanita munafik sepertimu, Mona."

"Keysa!" pekik Mona seraya melotot.

"Pfffttt..." aku berusaha menahan tawa melihat Keysa lagi-lagi mencari gara-gara pada Monalisa.

"Bisakah kau..."

"Amelie!" panggil kak Yogi tiba-tiba sehingga membuat bicara Monalisa barusan terhenti begitu saja.

Aku menoleh ke arah dimana kak Yogi memanggilku saat ini. Kulihat kak Yogi bersama laki-laki yang bernama Erwin tadi.

"Mas Erwin," panggil Keysa dengan sumringah.

Aku mengerutkan kening melihat Keysa tampak riang gembira menyapa laki-laki itu, mungkinkah Keysa sudah mengenalnya? Aku bertanya-tanya dalam hati.

"Wah, kebetulan sekali kalian bersaudara berkumpul disini. Apakah kalian akan pulang bersama?" tanya kak Yogi begitu sampai di hadapan kami.

Aku dan Keysa saling bertatapan, namun tidak dengan Mona yang seketika membuang muka tanpa menanggapi sapaan kak Yogi.

"Tidak, Kak. Kebetulan kami sedang bertemu saja," jawabku segera.

"Mas Erwin, mau pulang?" tanya Keysa kembali menyapa pada laki-laki itu.

"Hem, kebetulan kontrakanku dan Yogi berdekatan." laki-laki itu memberikan jawaban di sertai dengan senyuman lembut.

Oh, bagaikan busur panah yang tengah berjalan menuju relung hatiku. Senyuman manis dan suara seksinya itu, sungguh membuat hatiku terenyuh.

Nächstes Kapitel