webnovel

PERJANJIAN

David merasa suasana hatinya makin buruk saat ia pulang ke apartemen dan melihat Davila menangis dan Karla tidak ada di apartemen.

"Markonah, Ibu ke mana?" tanyanya.

"Syuting , Tuan Bos," jawab Markonah polos.

David menghela napas panjang, ia seharusnya tidak membiarkan Karla kembali ke dunia entertainment. Tadinya, David memberikan izin karena berharap Karla tidak akan menelantarkan Davila.

"Sudah, bawa Davila pada saya, biar saya yang tidurkan dia," ujar David pada Tuti. Baby sitter Davila itu segera menghampiri tuannya dan memberikan Davila kepada David.

Seolah tau bahwa yang menggendong adalah Daddy-nya. Tangis Davila yang semula melengking langsung berhenti dan bayi munggil itu mulai tersenyum.

"Dari tadi Non Davila tidak mau meminum susunya," lapor Tuti sambil memberikan botol susu Davila.

David mengangguk dan segera meraih botol susu Davila dan memberikan kepada bayi mungil itu. Davila segera menyedotnya dengan rakus dan tidak berapa lama susu itu habis.

"Ini diminum," kata David. Tuti hanya melongo sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Tapi, tadi nggak mau, Tuan."

"Mungkin, Non Davi mau sama Mommy atau Daddy-nya, Tuan Bos," celetuk Markonah.

"Sok tau kamu, emang kamu bisa bahasa bayi?" tanya David sambil mengerutkan dahinya.

"Loh, kan bisa keliatan, buktinya sama Tuan mau minum susu, mau tidur. Bayi itu kan sensitif, Tuan," kata Markonah.

Dalam hati, David membenarkan perkataan Markonah, namun ia tidak banyak bicara lagi dan memilih untuk membawa Davila masuk ke kamar. Setelah menidurkan Davila di dalam cribnya, David pun masuk ke kamarnya sendiri.

Tiba-tiba saja, ia teringat kepada Amelia. "Jika waktu itu Amelia tengah mengandung anakku, saat ini anakku sudah berusia hampir satu tahun," gumam David. Ia menghela napas panjang, ia tiba-tiba merasa sudah menjadi orang yang sangat jahat.

Lamunan David terhenti saat pintu kamarnya terbuka dan Karla melangkah masuk. David langsung melipat tangan di depan dadanya dan menatap Karla dengan tajam.

"Kau tau ini jam berapa?!" hardik David. Karla menoleh dan dengan santai ia mengangguk.

"Tau, ini hampir jam dua belas malam, lalu?"

David terbelalak mendengar jawaban Karla. Ingin rasanya ia menampar wanita di hadapannya ini, tapi tidak, David bukan lelaki yang suka main kasar.

"Kau tau Davila menangis terus tidak mau tidur , tidak mau minum susu. Aku tidak melarangmu syuting, tapi, ingat kewajibanmu sebagai seorang Ibu!" seru David geram.

"Kau tidak berhak untuk melarang aku, Dave. Kita punya surat perjanjian, dan lagi kau bukan suamiku yang bisa mengatur ini dan itu semaumu. Jika kau ingin aku patuh, nikahi aku secara sah!" balas Karla tak mau kalah..

David merasa tertampar, ia sadar apa yang Karla ucapkan benar. Kehidupan macam apa yang saat ini sedang ia ciptakan? Mungkin ada baiknya jika ia mengikuti ucapan Patricia untuk menikah,tapi tidak dengan Karla.

"Kalaupun aku mau menikah, bukan denganmu Karla."

Ucapan David keluar tanpa emosi, tapi terasa begitu menyakitkan bagi Karla. Ia menatap David tak percaya, tapi, bagi Karla sekarang semua sudah cukup jelas. Bahkan amat sangat jelas, bahwa di antara mereka hanya tercipta bisnis asmara, simbiosis mutualisme.

Tanpa banyak bicara lagi, Karla langsung masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka. Setelah itu, tanpa menoleh lagi, ia pun langsung berbaring di atas ranjang dan hanya dalam hitungan menit wanita itu sudah pulas.

***

Siang itu David dengan semangat menjemput Patricia di bandara. Ia sangat berharap sepupunya itu membawa kabar gembira.

Saat melihat sosok Patricia ia langsung melambaikan tangan.

"Aku tersanjung, sepupuku yang super sibuk yang menjemput aku langsung ke bandara," ujar Patricia mengejek.

"Tidak usah meledek begitu, bagaimana dengan Jasmine? Dia mau?"

Patricia mendelik, "Dave, bisakah kau memiliki sedikit akhlak yang baik? Aku ini baru sampai kau sudah memberondongku dengan pertanyaan ini dan itu," gerutu Patricia.

"Aku penasaran, bagaimana?"

Patricia berdecak, David memang tidak bisa dialihkan lagi.

"Jasmine bersedia menerima kerjasama denganmu dengan banyak syarat."

"Apa saja, kau bilang padanya apa saja akan aku lakukan?"

"Karena itu dia mau, Jasmine meminta satu unit apartemen lengkap untuk tempat tinggalnya. Ia mau memiliki tim sendiri yang ia pilih sendiri, mulai dari tim make up, backing vokal, pemain musik, dan juga setiap lagu yang akan dia nyanyikan harus sesuai dengan apa yang dia mau. Dia berhak menolak jika merasa tidak sreg dengan syair lagu atau aransemennya."

"Hanya itu?"

Patricia menggeleng dengan cepat. "Ia juga mau kostum yang ia pakai sesuai dengan yang ia mau dan designer yang ia pilih sendiri."

"Aku tidak boleh mengatur sama sekali?"

"Sama sekali?"

"Iya, tapi dia juga tidak mau semena-mena. Jika apa yang dia pilih kurang sesuai dengan management kita, kita bisa diskusikan."

"Deal!"

Patricia menepuk dahinya , dalam hati ia merasa berdebar-debar. Bagaimana saat David bertemu dengan Amelia nanti. Apakah David akan menyadari jika itu adalah Amelia.

Tapi, Patricia sudah berjanji kepada Amelia untuk membantunya. "Kapan dia akan datang?" tanya David.

"Siapkan semua fasilitas untuknya dulu!" perintah Patricia.

"Secepatnya akan aku siapkan," ujar David sambil tersenyum. Ia tidak sabar untuk segera menyiapkan segala sesuatunya untuk Jasmine.

"Unit apartemen yang dulu aku berikan pada Amelia, apa Jasmine mau menempatinya?" ujar David.

"Apartemen itu cukup layak, tapi, aku akan menyampaikan dulu hal ini kepada Jasmine."

"Aku akan mempersiapkan apartemen itu terlebih dahulu," kata David.

Patricia memicingkan matanya menatap David.

"Kau ini seperti sedang mempersiapkan kedatangan calon istri," komentar Patricia.

"Bicara soal calon istri, mungkin aku akan mulai memikirkan untuk mencari calon istri. Tapi, dia harus bisa menerima Davila ,karena aku dan Karla memiliki perjanjian. Karla tidak akan mau repot mengurusi Davila jika memang kami berpisah."

Patricia mengerutkan dahinya, "Menikah?" tanyanya.

"Iya, menikah. Aku berencana untuk menikah."

Tawa Patricia meledak seketika, "Aku hanya pergi selama beberapa hari, lalu kau tiba-tiba mempunyai pikiran untuk menikah. Apa kau sudah menemukan Amelia dan akan menikahinya?"

"Amelia? Kau gila? Bertemu dengannya saja belum. Dua hari lalu Karla pulang larut, dan dia sama sekali tidak peduli saat aku marahi. Dia bilang aku tidak berhak untuk mengaturnya. Bahwa apa yang sekarang kami jalani hanya simbiosis mutualisme," tukas David kesal.

Patricia menepuk pundak David, "Kalau begitu, bebaskan Karla. Biarkan dia mencari kebahagiaannya sendiri, jika dia memang menemukan kebahagiaan dengan orang lain, kau tidak bisa terus menahannya."

"Tapi ...."

"Jika kau berat untuk melepasnya, nikahi dia," tukas Patricia.

"Dia ? Tidak!"

"Terserah, aku sudah pusing dengan urusan pekerjaan yang kau limpahkan kepadaku, jangan suruh aku untuk mengurus masalah percintaanmu."

Nächstes Kapitel