Setelah jam makan siang bersama Ferry dan Charles selesai, Andin kembali ke gedung yang merupakan kantor milik Pak Malik untuk mengambil mobilnya. Dalam perjalanan pulang ia terus memikirkan tentang masalah yang dihadapi Tommy dan Sherly. Ia ingin tahu apakah gadis yang disebut Charles bernama Jovita itu, apakah Jovita temannya atau bukan? Tapi di satu sisi jika dikaitkan dengan masalah yang dihadapi Tommy, Jovita tidak mungkin melakukan hal itu sehingga menyebabkan Sherly melakukan aborsi dan mengirim video tersebut pada Tommy. Toh Jovita temannya itu tidak punya kontak Tommy dan dia juga tidak mengenal Sherly.
Tak terasa pikiran Andin telah membuatnya sampai di gedung itu. Suara Ferry yang menanyakan apakah ia tidak akan turun membuat Andin terkejut. "Kalau begitu aku pulang dulu, Pa. Aku harus mempersiapkan semua keperluanku agar besok saat masuk kerja di sini, aku takkan kesulitan."
Mereka bertiga sekarang sedang berdiri di depan mobil Andin. Charles sedang berdiri di samping ayahnya, sedangkan Ferry sedang bersandar di mobilnya. "Kau hanya butuh laptop saja. Selebihnya, nanti Pak Malik akan memberitahukanmu apa saja yang harus kau siapkan," jelas Ferry.
"Om senang kau bisa bekerja di kantor ini. Di samping kau bisa dekat dengan ayahmu, Tommy pasti akan senang jika tahu kalau kalian memiliki Bos yang sama."
Andin tersenyum. "Kalau begitu aku permisi dulu, Om, Pa."
"Hati-hati, Sayang. Telepon Papa kalau perlu sesuatu."
Andin masuk ke dalam mobilnya. Setelah berpamitan pada kedua pria tampan itu, ia pun menginjak pedal gas untuk menemui Jovita. Dalam perjalanan Andin meraih ponsel dari dalam tas dan menghubungi sahabatnya itu. Sambil fokus di kemudi, gadis itu menempelkan ponselnya ke telinga untuk menunggu panggilannya terhubung. Karena panggilannya tak di jawab, Andin mencoba lagi. "Sedang apa sih ni anak," gerutu Andin karena panggilannya tak direspon Jovita.
Karena sudah lima kali ia menghubungi Jovita dan tidak ada respon, ia pun melajukan mobilnya untuk pergi ke sebuah toko elektronik untuk membeli laptop baru. Meski saat kuliah ia sudah punya laptop yang lumayan canggih, Andin tidak ingin memakai benda itu lagi untuk bekerja. Ia ingin dalam pekerjaan ini semuanya harus serba baru. Setidaknya sebagai sekertaris pribadi pemilik perusahaan, Andin harus terlihat sempurna baik dalam penampilan maupun pekerjaannya. Jadi, karena Jovita tidak merespon panggilannya, Andin pun memutuskan untuk membeli semua keperluan, baik pakaian kantor dan lain sebagainya.
Saat gadis itu hendak menepikan mobil di tepi jalan untuk mampir di sebuah toko elektronik ternama di kota Suwawesi, Andin tak sengaja menangkap sosok gadis berambut panjang yang sedang berpegangan di pohon tepat di depan mobilnya. Gadis itu terlihat lemas dan masih memakai pakaian tidur. Karena memiliki hati yang baik, Andin segera memarkirkan mobilnya lalu turun untuk menemui gadis itu. "Permisi, apa Anda baik-baik saja?"
Gadis itu menunduk sambil memegang perut. "Aku tidak apa-apa. Aku hanya sedikit pusing dan mual," katanya pelan.
Andin mengerutkan dahi. "Apa Anda butuh bantuan?"
Gadis itu mendongak menatap Andin. "Kau?" Matanya melotot saat menatap Andin.
Andin yang juga sangat mengenali gadis itu ikut terkejut. "Sherly? Sedang apa kau di sini?" Ia memborong semua tubuhnya dari atas hingga bawah. Sherly terlihat acak. "Kau kabur dari rumah, ya?" tanya Andin yang pura-pura tidak tahu, padahal ia masih ingat saat makan siang tadi, Charles berkata bahwa Sherly menghilang. Bahkan Andin sangat ingat, betapa emosinya Charles saat menuduh gadis bernama Jovita yang telah menculik Sherly. "Kau kenapa? Apa kau perlu bantuan?"
Sherly hendak menghindar, tapi saat ia ingin bergerak untuk meninggalkan Andin, tubuhnya lemas dan kegelapan melenyapkan kesadarannya.
Buk!
Sherly pingsan dan Andin terkejut. "Sherly!" Ia berjongkok untuk memeriksa keadaan gadis itu. "Sherly? Sherly?" Andin meletakkan kepala gadis itu di lengannya. "Sherly bangun, Sherly?" Karena yakin kalau gadis itu pingsan, Andin pun segera menoleh untuk mencari bantuan. "Pak!" pekiknya saat sosok pejalan kaki yang kebetulan lewat di trotoar depan toko.
Karena melihat Andin butuh bantuan, pria yang usianya seumuran Ferry berlari menemui Andin. "Ada apa, Nak? Apa yang terjadi?"
"Temanku pingsan, Pak. Bisa bantu saja untuk menggendongnya masuk ke dalam mobil?" titahnya dengan nada khawatir.
Lelaki itu pun membantu Andin dan membopong tubuh Sherly ke dalam mobil. Andin membuka pintu bagian penumpang agar lelaki itu bisa membaringkan Sherly di bangku belakang. Setelah Sherly sudah berada di dalam mobilnya, Andin pun segera mengucapkan terima kasih pada lelaki itu, kemudian masuk ke bangku kemudi. Karena merasa Sherly jauh lebih penting dari pada kepentingannya, Andin mengabaikan untuk belanja dan membawa Sherly ke rumah sakit.
Dalam perjalanan Andin bertanya-tanya, apakah ia harus menghubungi keluarga Tommy dan memberitahukan keberadaan Sherly atau bagaimana? Tapi di satu sisi ia juga tidak enak hati pada Sherly. Karena jika dalam posisi seperti itu__ Sherly hilang bukan karena diculik oleh gadis yang disebut-sebut bernama Jovita__ berarti gadis yang kini terkulai lemas di bangku belakang itu sengaja kabur dari rumah. Mungkin dia sedang ada masalah dengan Tommy. Dan sebagai sesama perempuan, Andin pun mengerti akan hal itu.
Andin meletakkan kembali ponselnya di bangku sebelah dan tidak jadi menghubungi keluarga Fabian maupun ayahnya untuk memberitahukan keadaan Andin. Ia yakin, pasti kaburnya Sherly ada sangkut pautnya dengan masalah yang diceritakan Charles. Dan yang penting baginya sekarang adalah menyelamatkan nyawa Sherly.
Saat mobil Andin sudah mendekati lokasi rumah sakit, tiba-tiba Sherly mulai sadar. Gadis itu mulai membuka matanya pelan-pelan dan mengembalikan kesadarannya. Saat melihat langit-langit mobil yang sangat asing baginya, Sherly segera menoleh dan melihat sosok di bangku kemudi. Ia hanya menatap seraya mengingat-ingat kembali apa yang sedang terjadi sebelumnya. Ketika ingatannya kembali pada kejadian sebelum pingsan saat bertemu Andin, Sherly langsung terkejut dan beranjak bangun. "Kau mau membawaku ke mana?"
Andin terkejut dan segera melirik wajah Sherly dari balik spion. "Kau tadi pingsan, jadi aku hendak membawamu ke rumah sakit," jelas Andin sambil sesekali melirik wajah Sherly, "Kau kenapa? Wajahmu pucat sekali."
Sherly tak menggubris pertanyaan Andin. Sejak awal bertemu ia memang sudah membenci Andin, apalagi saat tahu kalau gadis itu menyukai Tommy. "Turunkan aku di sini. Aku ingin pulang."
Andin hanya melirik Sherly dari spion sambil terus mengemudikan mobilnya. "Kalau begitu aku akan mengantarmu pulang."
Sherly terkejut. "Tidak, jangan! Turunkan aku di sini saja."
Andin tak menggubris perkataan Sherly. Ia malah semakin menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya. "Kau harus ke rumah sakit, kau kelihatan tidak sehat. Aku takut kau kenapa-kenapa, Sherly."
Sherly menolak. Ia hendak membuka pintu mobil, tapi untunglah Andin telah menguncinya. "Turunkan aku di sini! Aku tidak ingin ikut bersamamu," katanya dengan nada meninggi.
Lagi-lagi Andin tak menggubris. Ia hanya melirik Sherly dari spion lalu berkata, "Kalau kau tidak mau mendengarku, aku akan menghubungi Om Charles dan memberitahukan keberadaanmu," ancam Andin, "Aku tahu kau kabur dari rumah, kan? Jadi kalau kau ingin aku tidak membocorkan keberadaanmu, sebaiknya kau ikuti saja apa yang kukatakan."
Sherly pun terdiam. Ia menatap tubuh Andin dari arah belakang. "Da-dari mana kau tahu?" Ia tergagap karena tebakkan Andin benar.
"Aku akan menceritakannya nanti. Sekarang kita ke rumah sakit saja dulu untuk memeriksa keadaanmu. Aku tidak mau dimusuhi Tommy hanya karena mengabaikanmu saat bertemu dan membiarkan kau pingsan di jalanan."
"Aku tidak apa-apa. Aku sudah sehat," balas Sherly yang suaranya terdengar dibuat-buat. Meski ia tahu kalau Andin sangat menyukai Tommy dan hendak memusuhinya, tapi ia yakin kalau Andin tidak akan menyakitinya. "Aku tidak mau ke rumah sakit."
"Kalau begitu ke mana? Yang jelas aku tidak akan menunrunkanmu di tepi jalan dalam keadaan seperti ini."
"Pokoknya aku tidak mau ke rumah sakit," kata Sherly dengan nada kesal.
"Kalau begitu aku akan mengantarmu ke rumah keluarga Fabian."
"Jangan!" bantahnya, "Baiklah, terserah kau saja. Yang jelas aku tidak ingin bertemu mereka."
Andin menahan tawa, karena berhasil mengancam Sherly. "Jika kau tidak ingin ke rumah sakit, aku berharap kau tidak akan keberatan jika aku membawamu pulang ke rumahku. Aku harus mendengarkan alasanmu sampai kenapa kau kabur dari rumah."
Sherly melemah. "baiklah, asalkan kau jangan memberitahukan keberadaanku pada mereka semua."
"Kau tenang saja, Sherly. Sekarang kau berbaringlah dulu, nanti kalau sudah tiba di rumahku, aku akan membangkunkanmu."
Continued____