webnovel

TIPU MUSLIHAT 6

"Pffft.... ndak bermaksud ngejek sih, Kang," kata Mirza. "Cuman njenengan salah paham kelihatannya. Geni itu—apa ya... polos? Ah, bukan... kekanakan? Bukan—bukan juga... penurut? ya... bisa termasuk lah. Tapi intinya dia itu seperti kita-kita kok. Biasa... cuman dari lahir saja matanya begitu. Bentuknya memang tajam," jelasnya hati-hati. "Dan kalau njenengan sudah mengenalnya lebih dekat... pasti nanti berubah pikiran. Saya yakin 100%."

"Sebegitunya, kamu..." kata Yusuf masih tak percaya.

"Nggih, bener.." Kata Mirza meyakinkan. "Saya sama Khilmy saja sering banget marahin dia. Tapi dia ndak pernah mukul kita seperti yang ditakutkan orang-orang. Malahan... paling-paling Cuma nyengir terus nurut."

"Hah? Ngaco kamu..."

"An, daripada ndak percaya terus mending saya nanya hal lain sekarang," kata Mirza. Lalu berusaha mengatur nafasnya agar tak lagi tertawa. "Jadi, njenengan lak sudah tahu kalau Kang Zuhri ada disini, kan?"

"Eh? Iya to?" kaget Yusuf. "Bukannya kemarin—"

"Nggih, Kang," sela Mirza. "Tadi saja beliau ke dapur kantin ngobrol sama saya."

"Begitu..."

"Terus beliau juga titip salam buat Kang Zaki," kata Mirza. "Biasa lah... Kang Zuhri kan memang sungkanan orangnya."

Mendengarnya, Yusuf pun baru tersenyum tipis. "Mungkin beliau memang adil dalam mengurus pesantren ini, Mir. Kan tugas-tugas di keorganisasian banyak sekali..."

"Nggih, Kang. Begitu saja masih menyempatkan datang kesini. Walaupun akhirnya Cuma bisa mengecek beberapa hal..."

"Baiklah. Bilang saja seperti biasa. Kang Zaki itu bisa diandelin kok. Ini saja beliau lagi sibuk ngerjain yang kemarin."

"Sip lah, Kang," kata Mirza. "Njenengan juga lho. Ini sudah hampir akhir bulan. Pasti Abah nunggu laporan pesantren minggu depan."

"Oke, diusahakan. Kalau begitu suwun nasi gorengnya. Sampai diantar segala..."

"Eeeh... disitu ada bonus 2 cangkir kopi lho..." canda Mirza. "Si penyemangat nugas kok dilupain. Hoho..."

Yusuf pun terkekeh. "Iya. Suwun kuadrad ya, Mir..." katanya geregetan.

"Siap. Saya pamit dulu kalau begitu."

"He-em."

"Assalamualaikum..."

"Waalaikum salam..."

Mirza pun kembali menuju gedung dua. Sementara Yusuf meletakkan jatahnya ke meja sekretaris sebelum menyuguhkan milik Zaki ke bagian wakil ketua.

Masing-masing ada satu unit komputer disana. Keduanya menyala dan menampilkan dokumen kerja yang belum selesai.

"Dapat salam dari Kang Zuhri kamu..." kata Yusuf ke Zaki.

Zaki menjawab tanpa menoleh. Tetap fokus ke layar. "Waalaikum salam..." katanya. "Jadi beliau ada disini ya, Suf?"

"Iya, tapi Cuma sebentar untuk mengecek situasi pesantren," jelas Yusuf sembari duduk kembali ke kursinya.

"Semua baik-baik saja, kan?" tanya Zaki. Kali ini pemuda 25 tahun itu memijit pelipis. Tampak pusing. Namun mata tetap memaku di layar tanpa berkedip.

"Ya iya lah... kan kamu yang ngoordinasi."

"Heh, apa?"

Yusuf mendengus geli. Sebab mendadak Zaki langsung salah fokus saat itu. "Alah... jangan pura-pura ndak denger pujian saya lah. Dasar manusia satu ini..."

Zaki pun tertawa. "Haha... apa-apaan kamu itu. Bisa-bisa aja."

"Tapi itu fakta, kan..." kata Yusuf. "Sampai-sampai ndak noleh gitu waktu nasi gorengmu datang. Padahal siapa tadi yang ngeluh lapar."

Zaki baru menoleh paket makan malamnya kali ini. "Wah-wah... pokoknya suwun sudah dibawakan lagi ya," katanya segan. "Padahal tadi aku juga denger suara Mirza, tapi jujur males berdiri gara-gara tugas ruwet ini..."

Nächstes Kapitel