webnovel

Belum Tumbang

Raga : "Ini lawan pertamamu, Er..."

Ya, akhirnya setelah sekian lama hanya bisa melihat orang-orang menghadapi 'Jin' yang merasuki manusia.

"Lainnya jangan panik. Berdiri dipojok dinding sambil merapatkan 'Barisan'. Saling bergandengan tangan."

Seluruh Santri harus mendengar ucapanku dengan jelas! Aku menatap mereka satu-persatu dengan pandangan mantap.

Mereka semua bergegas berdiri mundur ke tepi dinding.

Raga, Susi, Sinta, Malik, dan teman setingkat kami membimbing tingkat bawah dan memastikan mereka semua tetap tenang.

"Bagus juga... Sepertinya kau banyak belajar, Bayi."

Suara Sinta lagi-lagi meraung didalam kelas ini. Tatapan matanya begitu tajam, seolah ingin menghabisiku sewaktu-waktu.

Aku berdiri dengan tegak dan berjalan perlahan mendekatinya dengan tenang : "Bagaimana kau bisa masuk kemari?"

Aku merasakannya. Mereka, teman-temanku, adik-adik tingkatku, memandangi kami, aku dan Santi. Seolah mengatakan : 'Hati-hati!'

Ya! Wajar bagi mereka takut dan khawatir ketika berhadapan dengan kejadian seperti ini. Tak ada orang dewasa, tak ada Asatidz.

Ada beberapa hal yang tidak mereka ketahui tentangku, tentang kelebihanku, yang tak diketahui siapapun.

"Apa urusanmu menanyakan itu, Bayi!"

Suara parau dari mulut Santi itu meledak nyaring, membuat gaduh seisi ruang. Raga, Susi, dan Sinta merupaya keras menenangkan mereka yang panik.

"Uaaaaghhh!!!!"

Santi, atau lebih tepatnya sosok yang ada didalam tubuhnya menjerit.

Nyaris semua yang ada didalam ruangan terkejut, termasuk aku.

Ternyata Malik menarik tangan Santi kebelakang punggung dan menginjak kepalanya.

"Apa yang kau lakukan, Malik?"

Aku berteriak, Santi pasti kesakitan dalam kondisi itu.

Terlihat Santri baru itu semakin kuat menarik kedua tangan Santi dengan kedua tangannya : "Apa yang kau ketahui? Kita tak perlu bicara baik-baik ketika berhadapan dengan 'Mereka'."

"Sebaliknya! Kita harus menyelesaikan ini dengan baik agar kedepannya nggak akan ada lagi perseteruan antara kedua pihak!"

Suaraku menjadi begitu lantang, aku tak sadar emosi mengambil alih kesadaranku.

Aku menoleh ke sekitar dan melihat bagaimana mereka semua memandangku. Mereka tak melihat kearah Malik sedikitpun.

Tubuh Santi akhirnya lemas, Malik melepaskannya : "Begitulah caranya, 'Mas' 'Er'."

Apa? Kenapa ia berbicara dengan ucapan seperti itu? Dengan nada seperti itu?

"Hey! Jika kau lakukan itu, tubuh Santi akan kesakitan setelahnya!"

Lagi-lagi aku mengeluarkan suara lantang, membenahi apa yang tak cocok dengan apa yang kupahami.

Raga : "Tenanglah Er, yang penting ia berhasil mengusir makhluk itu dari tubuh Santi."

Susi : "Benar, kita harus lebih banyak belajar dari Malik bagaimana menangani Jin yang merasuk ke tubuh manusia."

"Bukan begitu Raga, Susi, Makhluk itu tidak sepenuhnya..."

"Er, Kau punya peluang lebih besar jika mau banyak belajar dari Malik. Kami tetap mempercayaimu dan berharap hasil akhir yang baik untuk pelajaranmu ya, Er."

Baiklah... Belum pernah sampai Sinta memotong ucapanku dan menasehatiku seperti barusan. Sepertinya memang Malik lebih banyak memiliki ilmu dan aku harus banyak belajar darinya.

Petang tiba. Kami sudah membubarkan para Santri dari 'Taman Ilmu' kami sejak kejadian Santi tadi berakhir.

Kami mengantar Santi bersama. Aku, Raga, Susi, Sinta, dan Malik setelah berhasil memulangkan para Santri dan meyakinkan mereka bahwa kondisi sudah aman dan tak perlu dikhawatirkan.

"Jadi sekarang Jin sudah bisa menembus Kelurahan kita ya?" Suara Bu Sintia, Ibu Sinta dan Santi yang sedang membalut dahi Santi dengan kompres demam mengawali obrolan kami petang itu.

Raga merespon pertanyaannya dengan cepat : "Benar bu, bertepatan dengan keberangkatan Ustadz Firman, juga Ustadzah Terry."

Wanita paruh baya itu menoleh kearah kami : "Mempercayakan keamanan Kelurahan dari bangsa Jin kepada kalian. Begitu ide dari Ustadz Firman, ya?"

Wajanya menjadi sangat dingin. Kami semasa hidup belum pernah melihat Bu Sintia dengan raut sedingin itu.

Kami semua terdiam, merunduk : "Ini kesempatan pertama kami sebagai Perwakilan Regenerasi dari Kelurahan kita,bu."

Suara Raga seperti biasa, berhasil mewakili ganjalan dalam hati kami.

Bu Sintia menatap kami satu-persatu, masih dengan raut sedingin es itu : "Lalu, dikesempatan pertama kalian barusan, apakah hasil yang didapat dengan membuat anak gadisku pingsan seperti ini..."

Retorika.

Kami terdiam, bahkan Raga sekalipun.

"Uh... Mama... Kok ribut banget..."

Suara Santi memecah sunyi, kami, termasuk Bu Sintia terkejut dan segera melihat kearahnya : "Jangan bangun dulu, Santi... Tubuhmu masih lemas!"

Beliau menahan gerakan tubuh Santi yang seolah ingin segera beranjak dari tempat tidurnya : "Udah nggak apa-apa ma... Badan Santi cuma capek dikit..."

Kami semua saling melempar pandangan mata : 'Capek dikit?"

Tidak, Logikanya setiap Manusia yang dirasuki bangsa Jin, akan mengalami kelelahan hingga sulit baginya bahkan hanya untuk mengangkat kepalanya. Tapi dilihat dari kemampuannya untuk bangkit dari tempat tidur bahkan untuk mendorong tangan 'Mama-nya' dengan perlahan ia masih sanggup.

Aku menoleh kearah Malik dengan pikiran penuh pertanyaan : "Kenapa melihatku seperti itu? Bukankah sekarang jadi tidak ada masalah sama sekali?"

Malik langsung mencerca dengan nada dingin. Susi, Sinta, juga Bu Sintia terlihat bingung melihat kami berdua : "Baiklah, aku dan Er pulang duluan deh bu, semoga Santi bisa segera istirahat dan lekas sembuh."

Raga langsung memotong obrolan kami dan menyeretku keluar dari situasi itu, Bu Sintia tampak kebingungan namun tetap memutuskan untuk tersenyum, senyuman hambar seperti orang yang salah tingkah.

Susi melihat kearah Malik yang melipat dadanya dengan gaya sok keren, bagiku.

Aduh, kenapa juga aku jadi terbawa suasana dan menilainya seperti ini sih.

"Tenanglah, Er, aku mempercayaimu sepenuhnya. Hari ini kau begitu sering kehilangan kendali dan tak lagi tenang seperti biasanya."

Raga tiba-tiba merangkulku dan mendekatkan bibirnya sedekat mungkin ke telingaku, dan membisikkan kalimat itu setenang mungkin.

Aku mendengar hal itu sebagai cambuk yang sangat kuat, namun Raga yang sering bersamaku tahu benar bagaimana mengatakannya dengan baik agar aku bisa tetap tenang dan mengendalikan diri : "B...Benar sekali, Raga..."

Raga berjalan dengan langkah lebih cepat sembari tetap merangkulku hingga tempo langkah kakiku terpaksa mengikuti kecepatan langkahnya : "Dengarkan, Er. Kita sedang berada dalam situasi dimana harus menciptakan kepercayaan yang besar bagi warga. Aku mengandalkan Sikap Tenang, Pengetahuan, dan kelebihanmu dibandingkan siapapun."

Matanya menatapku dan menyiratkan kepercayaan yang besar kepadaku, dalam jarak sedekat ini. Wajahnya yang sebelumnya dekat dengan telingaku, kini tepat persis didekatkan didepan wajahku sehingga aku bisa melihat kedua bola mata berwarna coklat gelap miliknya dalam jarak begitu dekat, sedekat hembusan nafasnya beberapa sentimeter didepan hidungku : "I... Iya Raga. Tapi kau tak perlu mengatakannya dengan wajah sedekat itu padaku..."

Raut wajah Raga tak berubah, ia tetap memandangku dengan serius : "Supaya kau paham seberapa besarnya kepercayaan yang kuletakkan didepanmu, agar kau tak meragukanku dengan melihat kedalam kedua bola mataku, hingga kau bisa mempercayaiku dengan melihat jauh kedalam hatiku seperti melihat kedua bola mataku."

"Buakk!!!"

Aku menghantam wajahnya sekencang-kencangnya, setelahnya kami berdua tertawa bersama. Darah mengalir ringan dari kedua hidung Raga. Tapi aku percaya, ia tak menaruh dendam padaku atas pukulanku barusan : "Nah, itu baru Er, yang kukenal."

Aku tersenyum datar membalas ucapannya barusan. Tapi...

Aku menjadi sangat tenang dan bersemangat! Oke, Raga! Ucapanmu yang menjijikkan dan menjanjikan barusan akan kubuktikan, dan juga kubaktikan!

Aku akan tetap berjalan didalam 'Amanah' yang diberikan kepadaku sampai dicabut hal itu dariku.

Jika sesuatu terjadi setelah ini, aku akan mengingat kata-katamu agar tetap bisa menjaga kepalaku dalam keadaan 'Sejuk'.

Tapi sebentar... Kenapa Raga tiba-tiba mengatakan hal seperti itu?

Nächstes Kapitel